JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Dua jenderal Polri, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo telah divonis oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (10/3/2021). Sidang putusan keduanya dilaksanakan terpisah dengan majelis hakim yang sama. Lewat sidang tersebut, majelis hakim menghukum Napoleon empat tahun penjara. Sedangkan Prasetijo mendapat hukuman tiga setengah tahun kurungan.
Keduanya dinyatakan secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus penghapusan red notice Djoko Sugiarto Tjandra. Oleh hakim, Prasetijo dan Napoleon dinyatakan telah bersama-sama melawan hukum. Mengingat Djoko Tjandra merupakan terpidana korupsi buronan Kejaksaan Agung (Kejagung). "Memutuskan, menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Napoleon Bonaparte empat tahun penjara," kata Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis.
Vonis tersebut setahun lebih berat dari tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam sidang sebelumnya, Napoleon dituntut tiga tahun penjara dengan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. Namun, majelis hakim menilai tuntutan tersebut terlampau rendah untuk Napoleon. "Amar tuntutan terlalu ringan untuk dijatuhkan kepada terdakwa (Napoleon)," imbuh Damis. Alhasil majelis hakim sepakat memperberat hukuman Napoleon.
Selain empat tahun penjara, majelis hakim yang menyidangkan perkara Napoleon juga menghukum jenderal bintang dua Polri itu dengan hukuman denda Rp100 juta subsider enam bulan penjara. Putusan itu diambil majelis hakim lantaran fakta-fakta dalam sidang menunjukkan telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Napoleon. Tindakan itu, kata majelis hakim, bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk memerangi korupsi. Tidak hanya itu, Napoleon dianggap telah menurunkan citra Polri sebagai lembaga penegak hukum.
Lebih dari itu, majelis hakim tidak melihat Napoleon menyesali perbuatannya. "Terdakwa sama sekali tidak memperlihatkan penyesalan," imbuh hakim Damis. Sikap Napoleon itu juga dinilai tidak ksatria. "Ibarat lempar batu sembunyi tangan," kata dia.
Itu disampaikan oleh majelis hakim lantaran Napoloen menyangkal perbuatan yang telah dilakukan. "Berani berbuat tetapi menyangkal perbuatannya," tambahnya. Beruntung, hakim masih melihat sisi-sisi baik Napoleon.
Di antaranya telah mengabdi selama lebih dari 30 tahun sebagai personel Polri. Lalu tidak pernah berbuat melawan hukum serta sopan dan menjalani persidangan dengan baik. Namun demikian, semua itu tidak lantas membuat dirinya lepas dari jeratan hukum. Atas putusan kemarin Napoleon tegas menolak. "Saya menolak putusan itu, saya mengajukan banding," ucap dia. Dalam kesempatan yang sama, Napoleon menyampaikan, dirinya merasakan martabatnya telah dilecehkan. "Saya lebih baik mati dari pada martabat keluarga dilecehkan seperti ini," jelasnya.
Dalam sidang putusan yang lebih dulu dilaksanakan, Prasetijo yang pernah duduk sebagai kepala biro korwas PPNS di Bareskrim Polri divonis tiga setengah tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. Berbeda dengan Napoleon, jenderal bintang satu Polri itu menerima putusan hakim. "Saya terima (putusan) yang mulia," jawab dia saat ditanya akan mengambil langkah hukum banding atau menerima putusan hakim.
Vonis untuk Prasetijo pun lebih berat setahun ketimbang tuntutan jaksa. Majelis hakim menilai tindakan yang dilakukan oleh salah seorang perwira tinggi Polri itu layak dapat hukuman yang lebih berat. Prasetijo divonis bersalah lantaran menerima uang dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi. Sedang Napoleon dinyatakan terbukti menerima pemberian uang dari Djoko Tjandra lewat Prasetijo dan Tommy Sumardi. Uang itu diberikan Djoko Tjandra supaya namanya hilang dari data red notice.
Sementara itu, Kepala Divisi Propam Polri Irjen Ferdy Sambo menyatakan bahwa instansinya akan mengambil langkah terkait Napoleon dan Prasetijo setelah putusan hakim berkekuatan hukum tetap. "Harus (putusan) inkracht dulu baru sidang etik," bebernya. Jika sudah dinyatakan bersalah dan tidak ada upaya hukum apapun yang dilakukan, Polri akan melaksanakan sidang etik untuk menentukan nasib kedua jenderal yang terseret perkara korupsi itu.(syn/jpg)
Editor: Eka G Putra