Ganasnya laut bisa ditaklukkan Kartini. Nyalinya tak ciut meski bekerja di ranah maskulin: menjadi nakhoda. Meski kini tak lagi berlayar, dia mengabdikan hidupnya untuk mendidik calon pelaut andal. Cintanya pada samudra tak pernah padam. Seperti ombak yang terus menghantam.
FERLYNDA PUTRI, Labuan Bajo, Jawa Pos
JARI tengah tangan kiri Kartini tak sempurna. Ruas paling atas putus. Jari tengah itu tak lebih panjang daripada telunjuk dan jari manisnya. Dia menunjukkannya kepada Jawa Pos saat sama-sama berlayar dari Labuan Bajo, NTT. Dari sana kenangannya selama menjadi nakhoda berkelebat.
Sekitar 1975 atau tiga tahun setelah mulai berlayar, Kartini mendapat tugas membawa tentara ke Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste).
Waktu itu sedang berlangsung Operasi Seroja. Bukan hanya tentara, peralatan perang lainnya juga dibawa dalam kapal Tampomas I. Waktu itu jabatan Kartini masih mualim pelayaran besar (MPB) IV atau perwira dek.
"Tiba-tiba sling (tali) yang mengikat tank baja putus. Tangan saya terjepit bannya," ucap alumnus Akademi Indonesia Pelayaran (AIP) itu. Akibat impitan tersebut, ujung jari tengah Kartini terluka parah. Tentara membawanya ke rumah sakit militer di Dili.
"Yang amputasi tentara," lanjutnya.
Kejadian itu tak mengecilkan hatinya untuk tetap berlayar. Sejak masuk AIP, Kartini sadar akan berbagai risiko sebagai pelaut. Itu adalah pilihannya ketika dulu memilih sekolah kedinasan pelayaran dan bukan SMA biasa.
"Tidak pernah menyesali itu," ujarnya.
Desember 1965 Kartini mendaftarkan diri ke AIP. Yang dia pikirkan waktu itu adalah mencari sekolah dinas sehingga tidak membayar biaya sekolah dan langsung mendapatkan pekerjaan. Kebetulan sekolah pelayaran tersebut sedang membuka kelas untuk perempuan. Lima tahun setelahnya dia lulus dari sekolah kedinasan itu. Setelah wisuda, Kartini menikah. Suaminya juga pelaut.
"Suami saya yang mendorong untuk tetap berkarir di kapal," ungkapnya.
Satu setengah tahun mereka sama-sama berlayar, Kartini lantas hamil. Dia memutuskan untuk tidak melaut dulu sampai anaknya lahir. Saat-saat terberat dalam hidup dirasakan ketika harus meninggalkan anak pertamanya saat masih berusia 14 bulan. Kartini harus berlayar lagi enam bulan agar memiliki sertifikat MPB. Sayangnya, tak ada masa layar yang hanya enam bulan. Jadi, dia menggenapkan menjadi setahun. Untung, sesekali kapal yang dibawanya bersandar di Jakarta sehingga dia bisa menengok buah hatinya.
"Kalau ditinggal sebulan, ya mungkin anak lupa," candanya.
Speedboat kami yang meninggalkan Labuan Bajo menuju Pulau Padar sesekali bergoyang. Nakhoda mengatakan, ada pusaran air yang harus dihindari. Otoritas pelabuhan setempat sudah mengingatkan kami agar berangkat tak lebih dari pukul 06.00 Wita karena ditakutkan ada ombak. Sayangnya, rombongan baru keluar dermaga pukul 07.30. Perempuan 73 tahun tersebut tampak tenang. Mungkin itu belum apa-apa dibanding pengalamannya 40 tahun silam.
Kartini ingat ketika line kapalnya ke Hongkong. Dia membawa sapi-sapi dari NTT ke negara tersebut. Saat itu sedang musim badai taifun. Ombak sedang tinggi meski kapal yang dibawa Kartini berada di ekor badai tersebut.
Kapal sampai terombang-ambing. Kartini yang sudah menjadi nakhoda selalu memosisikan kapal di depan ombak. Menurut dia, justru berbahaya ketika ombak datang dari samping kapal. Bisa jadi kapal oleng, lalu tenggelam.
"Tidak boleh manja dengan ombak. Awal-awal pasti mabuk laut, tapi lama-lama terbiasa," tuturnya.
Selain cuaca, yang membuatnya khawatir adalah perompak. Jalur pelayarannya yang melewati Penang, Malaysia, lalu ke kawasan yang dinamai Walawali Street adalah yang berbahaya saat itu. Kartini sempat diberi tahu kepolisian laut setempat, tak boleh berlayar pada malam hari. Kapal-kapal disarankan melewati daerah tersebut pagi.
Pada 1980 Kartini kembali minta tugas darat. Kali ini dia ingin lebih punya waktu untuk keluarga. Meski dibolehkan, dia tetap menjadi andalan.
"Jadi ban serep," ujarnya.
Dia kerap diminta menggantikan nakhoda lain ketika berhalangan. Salah satunya membawa KM AWU dari Jerman ke Indonesia. Kartini sangat menyayangkan ketika zamannya dulu banyak yang menolak pelaut perempuan. Alasannya banyak. Mulai banyaknya cuti hingga soal keamanan. Perusahaan tak ingin banyak tanggungan.
Dirjen Perhubungan Laut R Agus H Purnomo mendorong perempuan berkiprah di dunia maritim. Menurut dia, dunia maritim tidak identik dengan kerja bagi laki-laki saja.
"Saat ini sudah banyak yang berprofesi pelaut. Ada juga peran lainnya," ungkap Agus.
Bahkan, di Ditjen Perhubungan Laut pun sudah banyak perempuan yang berkarir. Dengan penguatan peran perempuan di dunia maritim, diharapkan tidak ada dominasi gender. Menurut Agus, di dunia pun telah banyak perempuan yang memiliki peran dalam komunitas maritim.
Salah satu perempuan yang menekuni profesi di dunia kelautan adalah Ni Putu Cahyani. Dia kini menjadi komandan kapal patroli KN Alugara di Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Kelas I Tanjung Priok. Putu tak hanya mengemudikan kapal, tapi juga memegang senjata. Maklum, dia dan anak buah di kapalnya bertugas melindungi kapal yang lewat.
"Waktu kecelakaan Lion Air di perairan Kerawang, saya juga ikut evakuasi," ucapnya.
Salah satu yang dikenangnya adalah evakuasi mayat yang tak utuh. Kisah Kartini (serta Putu) menjadi bukti bahwa karir perempuan di dunia maritim sangat terbuka. Begitu juga halnya di jenis pekerjaan lainnya.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi