JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan membantah jika legislatif telah melakukan operasi senyap dalam upaya revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menururnya usulan tersebut sudah masuk Badan Legislatif (Baleg) sejak 2017. Dengan demikian, rencana ini sudah terjadwal sejak jauh-jauh hari.
“Membangun logika akal sehat, enggak mungkin lah di DPR ada operasi senyap. karena semuanya terjadwal dan terdokumentasi, secara transparan dan terbuka,” ujar Arteria di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/9).
Selain itu, Arteria tidak sepakat apabila revisi Undang-undang ini untuk melemahkan komisi antirasuah. Dia meminta semua pihak agar memahami secara mendetail draft rancangan perubahan tersebut.
Sebagai contoh, politikus PDI Perjuangan itu membahas terkait kebijakan KPK mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Di aitu disebutkan KPK masih berwenang menetapkan kembali seseorang yang sudah mendapat SP3, menjadi tersangka lagi. Dengan catatan ada kecukupan alat bukti.
“Soal SP3, baca ayat (3) nya. Apabila diketemukan barang bukti baru, seketika itu juga KPK bisa menetapkan tersangka lagi,” jelasnya.
Begitu pula dengan rencanan pembentukan dewan pengawas KPK. Arteria meminta agar tidak dinilai dari cara pandang yang salah. Apabila dianggap penguatan KPK agar bisa menangkap, menahan dan menyadap sewenang-wenang, tentu revisi ini akan banyak ditentang.
“Tapi kalau persektifnya bagaimana penegakan hukum ini penuh ketaatan, akuntabel, terukur, dapat dipertanggungjawabkan, jelas berkapasitian, sata pikir ini bentuk penguatan,” tambahnya.
Dewan Pengawas ini juga dibutuhkan oleh DPR sebagai parameter penilaian terhadap kinerja KPK. Sebab, sebagai wakil rakyat, tidak ada standar penilaian yang pasti untuk KPK. “Jangan terhanyut bahwa kerja bagus KPK hanya menangkap, menahan, meng-OTT,” tekannya.
Sementara itu, Anggota Komisi III lainnya, Nasir Djamil mengatakan, harus ada pengawasan kepada KPK. Supaya tidak terjadi abuse of power atau penyelahgunaan kekuasaan. Sehingga harus diatur sistem pengawasannya.
Hal itu meliputi, pihak yang mengawasi, bentuk pengawasannya, tindak lanjut pengawasan tersebut dan lain sebagainya. Dengan demikian, sebuah lembaga negara dapat dikontrol dengan baik.
“Dalam KUHAP kita juga akan menghadirkan Hakim Komisaris. Hakim Komisaris ini sebebernya untuk mengerem, agar tidak sewenang-wenang aparat penegak hukum menangkap orang, menggeledah orang, menetapkan orang tersangka,” tegas Nasir.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwir