JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Saat patah hati dalam urusan asmara, seseorang biasanya mengalami suasana yang remuk redam. Ketika cinta padam, bukan hanya sedih atau luka di hati, seseorang bisa mengalami sakit fisik seperti nyeri dada, kram perut, dan kelelahan yang tidak menentu.
Sejumlah penelitian sedang berlangsung untuk mengetahui efek putus cinta dan mencinta tak berbalas pada tubuh. Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Psychology meneliti kesehatan mental dan fisik orang Denmark yang bercerai. Studi tersebut mencatat bahwa tidak ada stigma masyarakat terkait dalam hal perceraian. Faktanya, masyarakat mulai bisa meberima perceraian.
Namun, penerimaan di masyarakat tidak membuat perceraian menjadi lebih mudah bagi kedua belah pihak. Sebanyak 1.856 peserta yang bercerai dilaporkan menunjukkan kesehatan mental dan fisik yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan kelompok yang tidak bercerai bahkan ketika faktor sosio-demografis dinilai. Hal ini terutama berlaku untuk pasangan yang memiliki konflik tingkat tinggi.
“Lebih banyak tekanan dan emosi negatif ke dalam situasi yang sudah membuat stres,” kata penulis utama dan psikolog di University of Copenhagen Soren Sander, seperti dilansir dari Science Times, Senin (8/2/2021).
Dia menyatakan bahwa emosi dan tekanan negatif tambahan cenderung menyebabkan kelelahan dalam proses perceraian. “Putus bukan peristiwa terpisah melainkan proses selama setahun yang menyebabkan beberapa pemicu stres dan meningkatkan risiko kesehatan mental dan fisik yang negatif,” tambah Sanders.
Memahami Efek Putus
Para ilmuwan sekarang mengetahui bahwa wilayah tertentu di otak memproses rasa sakit fisik dan sosial. Diterbitkan di Jurnal Sage pada tahun 2012, penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada kesamaan dalam perspektif saraf antara patah tulang dan patah hati.
Karenanya, perpisahan bisa dirasakan oleh otak sama seperti cedera. Ketika tulang patah, otak memutuskan seberapa tertekannya keadaan itu dan memicu respons perilaku yang sesuai. Sirkuit saraf yang sama menyala ketika otak memproses tekanan emosional.
Penelitian yang diterbitkan pada 2016 menemukan perasaan cinta yang intens memicu wilayah sistem otak termasuk area ventral tegmental yang kaya dopamin. Salah satu penulis studi dan ahli saraf Lucy Brown, menjelaskan bahwa alasan mengapa cinta bisa menyakitkan. Itu karena cinta terhubung pada DNA kita. Dahulu kala, sangat penting untuk memiliki pasangan pelindung untuk bertahan hidup. Karenanya dorongan untuk menyelamatkan hubungan saat ini sangat kuat.
“Kami selalu mengatakan bahwa alam terlalu berlebihan dan membuat stigna bahwa perpisahan itu terlalu menyakitkan,” jelas Lucy.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra