TAIPEI (RIAUPOS.CO) – Hubungan Taiwan dan Cina kian memanas. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen memperingatkan dunia bahwa akan ada konsekuensi malapetaka jika Taiwan jatuh ke tangan Cina.
"Mereka harus ingat bahwa jika Taiwan jatuh, konsekuensinya akan menjadi malapetaka bagi perdamaian kawasan dan sistem demokrasi," ujar Tsai dalam artikel opininya di Foreign Affairs, sebagaimana dikutip Reuters, Selasa (5/10/2021) lalu.
"Ini akan menjadi sinyal bahwa tantangan akan nilai-nilai global sekarang ini, yaitu otoritarianisme, dapat mengalahkan demokrasi," ia melanjutkan
Lalu, siapa sebenarnya Tsai Ing-wen? Melansir Britannica, Tsai adalah presiden perempuan pertama Taiwan sejak 2016.
Tsai merupakan keturunan Hakka, adalah satu dari sembilan anak yang lahir dari keluarga bisnis kaya.
Tsai meraih gelar sarjana hukum (1978) dari Universitas Nasional Taiwan di Taipei. Selanjutnya, ia kuliah di Cornell University (1980) dan London School of Economics (1984), dengan masing-masing memperoleh gelar master dan doktor dalam bidang hukum.
Sebagai ahli taktik yang cerdik, Tsai menghabiskan 15 tahun sebagai negosiator perdagangan sebelum memimpin Dewan Urusan Daratan Taiwan, yang menangani masalah dengan Cina daratan. Ia juga menjadi Ketua Partai Progresif Demokratik.
Walaupun begitu, Tsai dikenal sebagai pemimpin yang introvert. Ia menghargai privasi dan tidak suka keramaian.
"Ketika saya menjadi presiden, saya tampak seperti seseorang yang agak terisolasi dan publik merasa ada semacam jarak antara saya dan mereka," cerita Tsai.
Tak hanya itu, Tsai juga mengungkapkan penyesalannya pada awal menjabat sebagai pemimpin Taiwan. Ia menyesal tidak menghabiskan cukup waktu dengan pemilih Taiwan.
"Banyak orang mengira saya agak terpisah dari mereka," katanya.
Selama kepemimpinannya ini, Tsai menghadapi banyak cobaan. Mulai dari pandemi Covid-19 hingga tekanan dan ancaman perang Beijing. Tsai sebagai pemimpin dituntut kuat untuk menghadapi beragam cobaan itu.
Mengutip laman resmi Universitas John Hopkins, Taiwan dinilai sebagai salah satu negara yang sukses dalam pertempurannya melawan Covid-19.
Melansir The Diplomat, Taiwan menggandakan strategi penanganan Covid-19 seperti memakai masker, karantina, dan pelacakan kontak.
Tak hanya itu, pemerintah Taipei juga telah memberlakukan mandat menggunakan masker di transportasi umum pada April 2020. Pemerintah kemudian memperluas ini dan mewajibkan warganya memakai masker di luar rumah.
Tak hanya harus mengendalikan pandemi Covid-19 di negaranya, Tsai juga berhadapan dengan ancaman Cina yang kian memaksa. Pemerintah Cina seringkali mengirimkan pesawat tempurnya ke wilayah Taiwan.
Tahun lalu, jet Cina melakukan total 380 serangan ke zona pertahanan udara Taiwan. Dalam sembilan bulan terakhir, Cina juga melakukan pelanggaran atas wilayah Taiwan lebih dari 500 kali.
Kementerian Pertahanan Taiwan baru-baru ini melaporkan jumlah serbuan pesawat tempur Cina masuk ke zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ).
Selama dua hari berturut-turut dari Jumat (1/10) hingga Sabtu (2/10) malam tercatat ada 77 pesawat tempur yang masuk ke ADIZ.
Meskipun Taiwan memiliki pemerintahan sendiri sejak 1949, Beijing masih memandang pulau itu sebagai provinsi pemberontak dan meningkatkan tekanan untuk bersatu kembali.
"Jika Taiwan hari ini, siapa berikutnya? Negara mana pun di kawasan ini jika tidak lagi ingin tunduk pada kehendak Cina, mereka akan menghadapi ancaman militer serupa," kata Tsai.
Sumber: Reuters/Foreign Affairs/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun