PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – “Memakai” masker sama efektifnya atau bahkan lebih efektif daripada menjaga jarak.” Pernyataan itu dilontarkan penasihat Badan Kesehatan Dunia (WHO) Prof David Heymann CBE. Masker menjadi penting di tengah pandemi Covid-19 setelah beberapa negara yang menerapkan aturan ketat pemakaian masker terbukti mampu menekan angka penularan.
Penelitian di AS juga menyebutkan bahwa cairan yang dikeluarkan saat bersin dan batuk bisa mencapai 6–8 meter.
Padahal, sebelumnya WHO menyarankan agar orang sehat tidak perlu memakai masker. Cukup jaga jarak sekitar 2 meter. Itu diyakini sebagai jarak aman dari penularan ketika ada orang bersin atau batuk.
’’WHO membuka diskusi lagi untuk melihat bukti-bukti baru guna menentukan apakah bakal ada atau tidaknya perubahan dalam rekomendasi penggunaan masker,’’ terang Prof David Heymann seperti dikutip BBC.
Sebuah penelitian yang didukung Harold Varmus mengungkapkan bahwa memakai masker kain bisa menghentikan 99 persen droplet alias percikan cairan saat seseorang bersin atau batuk. Varmus adalah ahli virus yang meraih penghargaan nobel dalam bidang fisiologi dan kedokteran pada 1989. ’’Tapi, saya tidak akan memakai masker bedah karena dokter membutuhkannya,’’ ujar mantan Dekan Harvard School of Public Health Dr Harvey Fineberg.
Ketua Komite Penyakit Menular Darurat dan Ancaman Kesehatan Abad 21 di National Academy of Sciences tersebut menulis surat ke Gedung Putih bahwa penularan Covid-19 tidak hanya melalui batuk dan bersin, tapi juga bisa terjadi saat orang berbicara dan bernapas.
Pusat Pencegahan dan Kontrol Penyakit (CDC) AS meresponsnya dengan mengeluarkan panduan baru pencegahan penularan Covid-19. Mereka merekomendasikan agar semua penduduk memakai masker di tempat umum. Diutamakan yang terbuat dari kain, bukan masker medis.
Sayangnya, orang nomor satu di negara tersebut, Presiden Donald Trump, justru tidak mau patuh. Trump mengaku sang istri sudah memintanya untuk memakai masker, tapi dirinya enggan melakukan. ’’Ini kan sukarela,’’ terang Trump Jumat (3/4) kepada para jurnalis seperti dikutip The Guardian.
Trump tidak bisa menjadi contoh karena AS kini menduduki posisi pertama negara dengan tingkat penularan tertinggi di dunia. Hingga tadi malam, tercatat ada 279.500 kasus korona.
Sementara itu, Trump mengaktifkan UU Produksi Pertahanan yang dibuat saat perang Korea pada 1950. Sesuai dengan aturan hukum tersebut, perusahaan dalam negeri diminta untuk memproduksi lebih banyak masker. Mereka juga dilarang mengekspornya ke luar negeri.
Imbas kebijakan itu adalah pesanan masker milik Jerman. Pasukan Kepolisian Berlin memesan 200 ribu masker FFP2 atau N95 ke perusahaan 3M asal AS. Masker tersebut sudah dikirim dan sampai di Bangkok, Thailand. Namun, dalam perjalanan, masker itu disita dan diyakini dibawa kembali ke AS. ’’Itu adalah tindakan pembajakan modern,’’ ujar Menteri Dalam Negeri Wilayah Berlin Jerman Andreas Geisel.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono juga mengimbau masyarakat agar mulai saat ini menggunakan masker ketika keluar rumah. Covid-19 semakin tak memunculkan gejala pada penderita. Sulit ditebak siapa saja yang sebetulnya menjadi pembawa dan berpotensi menularkan virus kepada yang lain.
Tak perlu masker medis. Masyarakat yang tak sakit cukup menggunakan masker kain. Syaratnya, jangan yang berbahan kaus karena seratnya renggang. Masker harus dibuat dengan dua lapis kain. Cara itu terbukti mengurangi angka penularan di sejumlah negara, seperti Singapura dan Hongkong. ’’Efektif banget. Kalau setiap orang pakai, ketika dua orang berhadapan, perlindungannya empat lapis berarti,’’ ungkapnya.
Pandu juga mengatakan bahwa intervensi pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19 seolah masih setengah hati. Kebijakannya pun cenderung lebih berpihak pada sisi ekonomi ketimbang nyawa manusia. Karena itu, kebijakan yang diambil tidak optimal dalam upaya pencegahan penularan.
Dalam pengambilan kebijakan soal pembatasan sosial berskala besar (PSBB), misalnya, pemerintah seakan tak paham bahwa ada amanat untuk membatasi mobilisasi penduduk. ’’Mereka nggak ngerti. Malah diperbolehkan mudik. Padahal, untuk mencegah penularan, caranya ya cegah masyarakat berpindah,’’ keluhnya.
Pemerintah diminta tegas terkait hal tersebut. Jika tidak, penularan akan masif, terutama di kampung halaman. Risiko kematian pun akan meningkat. Sebab, kebanyakan pemudik akan menemui orang tua di kampung halaman. Sebagian besar orang tua itu memasuki usia senja yang sangat berisiko tertular. Ngerinya, tingkat keparahan juga sangat tinggi pada mereka yang rentan. ’’Bisa-bisa kita seperti Italia. Angka kematian mencapai 14 ribu lebih,’’ tutur alumnus University of California, Los Angeles, tersebut.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman