Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Mantan Komisioner KPK Bisa Menjadi Dewan Pengawas

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Pada saat desakan untuk menerbitkan perppu pembatalan Undang-Undang (UU) 19/2019 tentang KPK belum mereda, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah bersiap membentuk Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Padahal, poin tentang dewas termasuk salah satu pasal yang kontroversial dalam UU itu.

Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyatakan, terlepas dari polemik perppu, proses penyusunan Dewas KPK tetap harus dikawal. Meski UU mengatur bahwa dewas ditunjuk langsung oleh presiden, pihaknya menuntut prosesnya harus melibatkan publik. Apalagi, UU KPK tidak memberikan indikator yang detail.

”Dalam UU KPK yang baru tidak dijelaskan indikator dewan pengawas. Hal-hal itu harus mendapat respons dari publik, apa saja indikator yang diperlukan,” ujarnya kemarin (3/11).

Erwin berharap presiden bisa melibatkan tokoh-tokoh untuk dapat memberikan masukan. Jangan sampai prosesnya sepenuhnya dilakukan istana. ”Namanya bisa presiden yang pilih, tapi indikator dari masyarakat penting diserap,” tegasnya.

Apa indikator yang dinilai penting versi ILR? Erwin mengatakan, yang paling utama adalah integritas dan kredibilitas. Sosok anggota dewas yang dipilih harus bebas dari kepentingan dan afiliasi kelompok tertentu. Kemudian, kasus sekecil apa pun yang merusak integritas tidak bisa ditoleransi. ”Standarnya harus lebih tinggi dari komisioner. Standar komisioner saja tinggi, apalagi pengawasnya,” tutur dia.

Indikator lain yang patut dipertimbangkan adalah pemahaman soal cara kerja KPK. Karena itu, Erwin menyarankan agar sosok yang punya latar belakang atau pernah terlibat dalam kerja KPK perlu dipertimbangkan.

Dengan begitu, proses adaptasi atau pemahaman terhadap kerja KPK lebih mudah dilakukan. Berbeda dengan orang baru yang relatif butuh waktu untuk belajar. ”Mantan Komisioner Pak Amien Sunaryadi, Chandra Hamzah, atau Laode Syarif perlu dipertimbangkan Jokowi sebagai dewan pengawas,” ucapnya.

Meski demikian, seluruh anggota Dewas KPK tak lantas merupakan mantan komisioner. Aspek keberagaman juga diperlukan untuk memberi warna. Perwakilan dari akademisi, profesional, hingga tokoh masyarakat juga perlu dipertimbangkan.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati enggan berkomentar banyak mengenai proses penyusunan Dewas KPK. Menurut dia, bagaimanapun prosesnya, keberadaan dewas tetap saja melemahkan KPK. ”Jadi, percuma siapa pun yang dipilih,” cetusnya.

Baca Juga:  Pelalawan Sumbang 26 Hotspot, di Riau Terpantau 41 Titik Api Pagi Ini

Apalagi, dalam UU KPK, syarat yang diatur dirasa tidak terlalu ketat. ”Pengawas yang wewenangnya lebih dari pimpinan malah syarat dan proses pemilihannya lebih gampang,” katanya.

Asfinawati bersikukuh, sejak awal esensi dewas yang diatur dalam UU KPK sudah keliru. Sebab, kewenangannya dalam penanganan kasus sangat dominan. ”Pengawas kok melakukan tindakan manajemen,” cetusnya.

Sebelumnya Presiden Jokowi mengaku sudah menjaring nama-nama yang akan disiapkan duduk di posisi Dewas KPK. Sebagaimana pasal 69a ayat 1 UU KPK, untuk kali pertama, Dewas KPK ditentukan langsung oleh presiden tanpa perlu membentuk panitia seleksi. Rencananya, Dewas KPK dilantik bersamaan dengan pengucapan sumpah komisioner KPK periode 2019–2023.

Uji Materi UU KPK

Keputusan Presiden Jokowi yang tidak menerbitkan Perppu KPK mendapat sorotan Koalisi Save KPK yang terdiri atas berbagai organisasi antikorupsi. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai sikap tersebut menjawab pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang sejak awal menginginkan KPK lemah. ”Sikap presiden itu menunjukkan tidak mendukung KPK, tidak mendukung pemberantasan korupsi,” tukasnya di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) kemarin.

Menurut Bivitri, pernyataan Jokowi soal alasan tidak mengeluarkan perppu karena ada yang melakukan judicial review (JR) UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah keliru dan menyesatkan. Dia menegaskan, presiden tetap bisa mengeluarkan perppu meski ada proses JR atau uji materi di MK. ”Pernyataan presiden terlalu mengada-ada,” tegasnya.

Jika perppu tidak dikeluarkan, lanjut Bivitri, akibatnya adalah lemahnya KPK. Sebab, banyak pasal dalam UU KPK hasil revisi yang memangkas fungsi penindakan. Nah, bila KPK lemah, dipastikan upaya pemberantasan korupsi terjun bebas. Peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pun berada di ambang kemerosotan. ”Karena semakin gampang orang mau korupsi,” katanya.

Di sisi lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengkritik pernyataan presiden soal sopan santun bernegara saat ditanya alasan tidak mengeluarkan perppu. Menurut dia, justru presiden yang sebenarnya tidak memiliki sopan santun dalam bernegara. ”Saya pertanyakan sopan santun presiden ketika tidak melibatkan KPK dalam pembahasan (UU KPK) ada atau tidak? Kalau sopan, KPK mestinya diajak dong,” tandasnya.

Baca Juga:  Resimen Azov Bertarung Pertahankan Mariupol dari Agresi Rusia

Hal senada disampaikan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM). Direktur Pukat UGM Oce Madril menilai Perppu KPK sebagai solusi paling cepat dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan dari UU KPK. Perppu juga menjadi jalan yang tepat untuk meniadakan kekacauan-kekacauan yang muncul akibat UU tersebut.

Saat mengetahui presiden enggan mengeluarkan perppu dengan alasan menghormati proses yang berlangsung di MK, Oce menganggap itu tidak pas. Sebab, tidak ada kaitan antara perppu dan proses JR. ”Karena sebetulnya antara perppu dan judicial review itu hal yang berbeda,” tuturnya.

Dengan mengeluarkan perppu, kata Oce, komitmen kuat presiden dalam upaya pemberantasan korupsi akan tampak. Sayang, presiden tidak memilih menerbitkan perppu. ”Dan justru melanjutkan kekacauan yang bisa terjadi karena UU KPK yang baru,” imbuh Oce. Padahal, gelombang dorongan dari masyarakat supaya presiden mengeluarkan perppu tidak pernah berhenti.

Pukat UGM pun akan mengambil sikap. Mereka berniat ikut mengajukan uji materi ke MK. ”Mempersoalkan prosedur dan tentu materi-materi yang termuat di dalam UU KPK,” jelasnya.

Oce menyampaikan bahwa JR merupakan salah satu opsi yang harus diambil untuk menyelamatkan KPK. Namun, dorongan agar presiden mengeluarkan perppu akan terus disuarakan. ”Kalau judicial review berjalan dan presiden keluarkan perppu, secara hukum tidak ada masalah,” tegasnya.

Gugatan terhadap UU KPK di MK sudah berdatangan saat UU kontroversial itu disahkan. Berdasar catatan Jawa Pos, sudah ada tiga permohonan yang masuk. Diajukan mahasiswa lintas universitas, mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam As Syafiiyah, dan advokat.

Permohonan gugatan berpotensi terus bertambah. Sebelumnya ICW dan Pusat Studi Konstitusi Andalas juga telah menyiapkan uji materi UU KPK.

Editor : Deslina
Sumber: jawapos.com

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Pada saat desakan untuk menerbitkan perppu pembatalan Undang-Undang (UU) 19/2019 tentang KPK belum mereda, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah bersiap membentuk Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Padahal, poin tentang dewas termasuk salah satu pasal yang kontroversial dalam UU itu.

Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menyatakan, terlepas dari polemik perppu, proses penyusunan Dewas KPK tetap harus dikawal. Meski UU mengatur bahwa dewas ditunjuk langsung oleh presiden, pihaknya menuntut prosesnya harus melibatkan publik. Apalagi, UU KPK tidak memberikan indikator yang detail.

- Advertisement -

”Dalam UU KPK yang baru tidak dijelaskan indikator dewan pengawas. Hal-hal itu harus mendapat respons dari publik, apa saja indikator yang diperlukan,” ujarnya kemarin (3/11).

Erwin berharap presiden bisa melibatkan tokoh-tokoh untuk dapat memberikan masukan. Jangan sampai prosesnya sepenuhnya dilakukan istana. ”Namanya bisa presiden yang pilih, tapi indikator dari masyarakat penting diserap,” tegasnya.

- Advertisement -

Apa indikator yang dinilai penting versi ILR? Erwin mengatakan, yang paling utama adalah integritas dan kredibilitas. Sosok anggota dewas yang dipilih harus bebas dari kepentingan dan afiliasi kelompok tertentu. Kemudian, kasus sekecil apa pun yang merusak integritas tidak bisa ditoleransi. ”Standarnya harus lebih tinggi dari komisioner. Standar komisioner saja tinggi, apalagi pengawasnya,” tutur dia.

Indikator lain yang patut dipertimbangkan adalah pemahaman soal cara kerja KPK. Karena itu, Erwin menyarankan agar sosok yang punya latar belakang atau pernah terlibat dalam kerja KPK perlu dipertimbangkan.

Dengan begitu, proses adaptasi atau pemahaman terhadap kerja KPK lebih mudah dilakukan. Berbeda dengan orang baru yang relatif butuh waktu untuk belajar. ”Mantan Komisioner Pak Amien Sunaryadi, Chandra Hamzah, atau Laode Syarif perlu dipertimbangkan Jokowi sebagai dewan pengawas,” ucapnya.

Meski demikian, seluruh anggota Dewas KPK tak lantas merupakan mantan komisioner. Aspek keberagaman juga diperlukan untuk memberi warna. Perwakilan dari akademisi, profesional, hingga tokoh masyarakat juga perlu dipertimbangkan.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati enggan berkomentar banyak mengenai proses penyusunan Dewas KPK. Menurut dia, bagaimanapun prosesnya, keberadaan dewas tetap saja melemahkan KPK. ”Jadi, percuma siapa pun yang dipilih,” cetusnya.

Baca Juga:  Masyarakat Diimbau Perhatian Kesehatan dan Kurangi Aktivitas Luar Ruang

Apalagi, dalam UU KPK, syarat yang diatur dirasa tidak terlalu ketat. ”Pengawas yang wewenangnya lebih dari pimpinan malah syarat dan proses pemilihannya lebih gampang,” katanya.

Asfinawati bersikukuh, sejak awal esensi dewas yang diatur dalam UU KPK sudah keliru. Sebab, kewenangannya dalam penanganan kasus sangat dominan. ”Pengawas kok melakukan tindakan manajemen,” cetusnya.

Sebelumnya Presiden Jokowi mengaku sudah menjaring nama-nama yang akan disiapkan duduk di posisi Dewas KPK. Sebagaimana pasal 69a ayat 1 UU KPK, untuk kali pertama, Dewas KPK ditentukan langsung oleh presiden tanpa perlu membentuk panitia seleksi. Rencananya, Dewas KPK dilantik bersamaan dengan pengucapan sumpah komisioner KPK periode 2019–2023.

Uji Materi UU KPK

Keputusan Presiden Jokowi yang tidak menerbitkan Perppu KPK mendapat sorotan Koalisi Save KPK yang terdiri atas berbagai organisasi antikorupsi. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai sikap tersebut menjawab pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang sejak awal menginginkan KPK lemah. ”Sikap presiden itu menunjukkan tidak mendukung KPK, tidak mendukung pemberantasan korupsi,” tukasnya di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) kemarin.

Menurut Bivitri, pernyataan Jokowi soal alasan tidak mengeluarkan perppu karena ada yang melakukan judicial review (JR) UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah keliru dan menyesatkan. Dia menegaskan, presiden tetap bisa mengeluarkan perppu meski ada proses JR atau uji materi di MK. ”Pernyataan presiden terlalu mengada-ada,” tegasnya.

Jika perppu tidak dikeluarkan, lanjut Bivitri, akibatnya adalah lemahnya KPK. Sebab, banyak pasal dalam UU KPK hasil revisi yang memangkas fungsi penindakan. Nah, bila KPK lemah, dipastikan upaya pemberantasan korupsi terjun bebas. Peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pun berada di ambang kemerosotan. ”Karena semakin gampang orang mau korupsi,” katanya.

Di sisi lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengkritik pernyataan presiden soal sopan santun bernegara saat ditanya alasan tidak mengeluarkan perppu. Menurut dia, justru presiden yang sebenarnya tidak memiliki sopan santun dalam bernegara. ”Saya pertanyakan sopan santun presiden ketika tidak melibatkan KPK dalam pembahasan (UU KPK) ada atau tidak? Kalau sopan, KPK mestinya diajak dong,” tandasnya.

Baca Juga:  Libur Tahun Baru Naikkan Okupansi

Hal senada disampaikan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM). Direktur Pukat UGM Oce Madril menilai Perppu KPK sebagai solusi paling cepat dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan dari UU KPK. Perppu juga menjadi jalan yang tepat untuk meniadakan kekacauan-kekacauan yang muncul akibat UU tersebut.

Saat mengetahui presiden enggan mengeluarkan perppu dengan alasan menghormati proses yang berlangsung di MK, Oce menganggap itu tidak pas. Sebab, tidak ada kaitan antara perppu dan proses JR. ”Karena sebetulnya antara perppu dan judicial review itu hal yang berbeda,” tuturnya.

Dengan mengeluarkan perppu, kata Oce, komitmen kuat presiden dalam upaya pemberantasan korupsi akan tampak. Sayang, presiden tidak memilih menerbitkan perppu. ”Dan justru melanjutkan kekacauan yang bisa terjadi karena UU KPK yang baru,” imbuh Oce. Padahal, gelombang dorongan dari masyarakat supaya presiden mengeluarkan perppu tidak pernah berhenti.

Pukat UGM pun akan mengambil sikap. Mereka berniat ikut mengajukan uji materi ke MK. ”Mempersoalkan prosedur dan tentu materi-materi yang termuat di dalam UU KPK,” jelasnya.

Oce menyampaikan bahwa JR merupakan salah satu opsi yang harus diambil untuk menyelamatkan KPK. Namun, dorongan agar presiden mengeluarkan perppu akan terus disuarakan. ”Kalau judicial review berjalan dan presiden keluarkan perppu, secara hukum tidak ada masalah,” tegasnya.

Gugatan terhadap UU KPK di MK sudah berdatangan saat UU kontroversial itu disahkan. Berdasar catatan Jawa Pos, sudah ada tiga permohonan yang masuk. Diajukan mahasiswa lintas universitas, mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam As Syafiiyah, dan advokat.

Permohonan gugatan berpotensi terus bertambah. Sebelumnya ICW dan Pusat Studi Konstitusi Andalas juga telah menyiapkan uji materi UU KPK.

Editor : Deslina
Sumber: jawapos.com

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari