MISI RASUL. Sesungguhnya engkau Aku utus, untuk memuliakan manusia. Demikianlah salah satu misi termasyhur dari kenabian, agar manusia tetaplah sebagai manusia, manusia yang tidak diperhamba oleh manusia lainnya, manusia yang tidak menghambakan dirinya pada manusia lainnya. Bahkan lebih jauh dari itu agar manusia tidak menghamba kepada alam, kepada kekuasaan, kepada jabatan, kepada dunia dan karenanya doktrin utama kenabian, hanyalah menghambakan diri pada sang Pencipta, Allah SWT.
Dalam setiap khutbah Jumat, selalu dinarasikan bahwa semua manusia itu sama derajatnya, dan yang membedakannya adalah seberapa tinggi kualitas takwanya (manfaatnya buat alam, buat hamba-hamba Tuhan yang kekurangan, buat perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran dan lain-lain). Seseorang selalu dimintai pertanggungan jawaban atas amal perbuatannya sebagai pribadi, termasuk ketika menerima amanah dengan menjabat jabatan publik. Ketika melaksanakan jabatan publik, di dalamnya melekat pertanggungan jawaban secara individual, bagaimana dia membuat kebijakan dan keputusan, apakah untuk kepentingan umum ataukah sebaliknya. Dengan demikian, tujuan misi kenabian harus diartikan juga untuk semua jabatan yang ada di manapun. Jabatanpun diseru agar menjadi mulia.
PERSAMAAN. Simbol dalam semua proses ritual dalam Islam memberikan pesan akan kesamaan derajat umat manusia. Berpakaian ihram yang serba putih dan tanpa jahitan, bertawaf 7 x mengelilingi kabah, bersa-i 7x antara bukit Shafa dan Marwah, bermalam di Arafah untuk berdoa dan perenungan diri, selalu dalam narasi yang satu, bahwa umat manusia semuanya adalah sama derajatnya, dan hanya mengakui Ilaah yang satu, Tuhan Yang Esa, sebagai satu-satunya pencipta, the biggest creator.
Namun di lain pihak, karena manusia dibebaskan untuk berikhtiar dan berupaya, dibiarkan dalam keragaman ras, bangsa, negara, maka terciptalah perlombaan, persaingan ataupun kompetisi, dalam mengejar tercukupinya kebutuhan umat manusia. Pada dasarnya, seluruh sumber daya kekayaan alam di bumi ini, akan selalu cukup dan tak akan kekurangan, bilamana hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun manusia tetaplah manusia, mereka mengejar sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya kepuasan manusia. Tentu saja, bumi tak akan sanggup untuk memenuhi keserakahan manusia. Mahatma Gandhi: The world has enough for everyones”s but non enough for everyone’s greed. Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi dunia tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahannya.
Dalam ikhtiar manusia memenuhi kebutuhannya, baik primer maupun sekunder, melahirkan karakter manusia yang serius dan kreatif, namun terdapat juga yang kemampuannya peringkat menengah atau lemah. Di antara proses itu, tak lepas adanya kompetisi, dan hal itu berlangsung antar individu, antar ras, antar golongan, antar nation, antar negara. Keadaan yang demikian ini menghasilkan berbagai lapisan sosial masyarakat: yang sukses, dan yang gagal, yang kaya dan yang miskin, yang berpangkat dan berjabatan serta mereka yang diperintah, tuan tanah dan kaum hamba sahaya, negara maju- negara terbelakang, negara kaya- negara miskin.
Persamaan, sebagai suatu hal yang dimuliakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, telah berubah menjadi ketidak samaan, dan kondisi ketidaksamaan itu memang tak bisa terhindarkan. Negara dan pemimpinnya, akan selalu menghadapi situasi yang demikian, dan menjadi kewajiban negara dan pemimpinnya untuk menciptakan keadilan, memberikan perhatian pada rakyat banyak yang sebagian besar dari kalangan bawah (musthadafin), menerbitkan kebijakan yang memastikan bahwa negara dan pemimpinnya berada pada pihak mereka dan kehadirannya dirasakan oleh mereka, hari demi hari. Itulah makna negara yang harus hadir. Dalam hal sebuah negara memiliki sumber daya alam yang cukup, maka kehadiran negara untuk rakyat banyak menjadi lebih ringan. Namun ada kalanya negara harus berfikir dan menemukan cara agar peran non negara (swasta) bersama-sama menciptakan kemakmuran itu. Namun lahirnya lapisan sosial yang berasal dari kalangan non negara ini (baik pemodal dan kalangan atas lainnya), melahirkan tuntutan baru agar mereka memperoleh sejumlah keistimewaan, karena peran dan jasa/sumbangan mereka bagi negara.
Bagi rakyat banyak, rakyat bawah yang didambakan adalah persamaan, namun bagi mereka yang kaum aghniya, kaum atasan, kaum pemodal, yang diinginkan adalah keistimewaan. Bagi kaum Bilal bin Rabah, tuntutannya adalah persamaan, dihargainya hak-hak asasi manusia, mengakui manusia sebagai manusia seutuhnya. Namun bagi kaum Quraisy, yang perkasa dalam perniagaan, yang diperlukan adalah menjaga hegemoni dan kekuasaan, dan simbolnya adalah adanya lapisan manusia yang menghamba padanya, para budak, kaum pekerja, kaum buruh.
Peradaban manusia selalu menghadapi pertarungan antara prinsip persamaan dan prinsip yang selalu menggerusnya: keistimewaan (privelege). Hal ini pula yang nantinya melahirkan sikap negara, sikap pemimpin.
STANDAR GANDA. Fenomena yang terjadi di banyak negara, yang menjadi tantangan dari risalah kenabian, adalah fenomena ketika penegakan hukum yang berat sebelah, kepada kaum aghniya/pemodal/the have atau bangsawan (pejabat), dirasakan begitu ramah sedangkan kepada kaum lemah dirasakan sangat tegas dan tak kenal kompromi. Dikotomi orang lemah dan orang kuat, dapat diperluas menjadi kelompok aku dan kelompok dia ( MINNA dan MINHUM, our group and your group, partai pendukung dan partai penyeimbang, pendukung pemerintah dan pengeritik pemerintah).
Ketika seorang anak pencuri sandal di mana yang empunya sandal adalah seorang asykar, ketika seorang nenek mengambil/mencuri satu buah kakoa di sebuah perkebunan milik kerajaan, ketika seorang ibu melaporkan buruknya kinerja sebuah rumah sakit yang pemiliknya pemodal besar, alangkah cepatnya respons negara, penuh dengan semangat, semangat untuk menghukum ….
Bandingkan dengan ketika seorang penyuap anggota partai kerajaan kepada sebuah komisi kerajaan, ketika seorang koruptor diperlakukan sangat terhormat baik ketika pengawalan di persidangan ataupun di lembaga pemenjaraan, ketika …..
Bahwa orang-orang Quraisy pernah digemparkan oleh kasus seorang wanita dari Bani Mahzum yang mencuri di masa Rasulullah SAW, tepatnya ketika masa perang Alfath. Lalu mereka berkata:” siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah? Siapa yang lebih berani selain Usamah bin Zaid, seorang yang dicintai Rasulullah. Maka Usamah pun menyampaikan kasus itu kepada Rasulullah. Wajah Rasulullah berubah lalu berkata: apakah kamu hendak memberi syafaah (pertolongan) terhadap seseorang dari hukum Allah? Usamah berkata: mohonkan aku ampunan wahai Rasulullah. Kemudian sore harinya Rasulullah berdiri seraya berkhutbah: Beliau memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, kemudian bersabda : Amma bakdu, Sesungguhnya sebab hancurnya umat sebelum kalian adalah bahwa mereka itu jika ada pencuri dari kalangan terhormat, mereka biarkan. Dan jika ada pencuri dari kalangan orang lemah, mereka tegakkan hukum itu. Adapun aku, demi zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, maka akan aku potong tangannya. Lalu Rasulullah memerintahkan wanita yang mencuri tersebut untuk dipotong tangannya. (Hadis Bukhori, 3475, 4304, 6788: Muslim 1688)
Standar ganda, selalu menjadi tantangan bagi seseorang, sebuah kaum, organisasi, sebuah LSM, sebuah partai, sebuah rezim, sebuah negara. Sebuah organisasi ataupun sebuah negara, juga tak lepas dari perilaku standar ganda atau dalam bahasa Prof. Dr. A. Hamid Awaludin (Menteri Hukum dan HAM, 2004-2007), sebagai kemunafikan yang secara terang benderang diperlihatkan. Saya ingin mengutip sedikit uraiannya tentang hal ini, dari Buku HAM, Politik, Hukum dan Kemunafikan Internasional, hlm. 247, 248.
Suatu ketika dalam kapasitas Menteri Hukum dan HAM RI, saya didatangi oleh sekelompok orang Eropa diantar oleh duta besar mereka. Mereka mengklaim ahli dan pemerhati Hak Asasi Manusia se-dunia. Karena itu mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda termasuk dari Amerika Serikat. Mereka sangat menggebu-gebu menyerang politik hukum Indonesia yang masih memberlkukan hukuman mati. “ Itu amat tidak manusiawi” kata mereka.
Hanya bangsa-bangsa yang hidup di masa silam yang mengenal dan memberlakukan hukuman mati, lanjut mereka lagi. Saya hanya manggut-manggut mendengar mendengar itu semua. Ketika giliran saya bicara, saya hanya berkata singkat: ”Apakah saudara-saudara semua ini sudah pernah ke Gedung Putih di Amerika Serikat. Mendesaakkan hal yang sama dengan Anda semua lakukan ke negara saya ini? Setahu saya di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat, masih mengenal hukuman mati dan melakukan eksekusi, dari zaman dahulu hingga sekarang. Apakah ini juga berarti bangsa Amerika tersebut adalah bangsa bar-bar? Lagi pula jumlah orang yang telah dieksekusi di Amerika Serikat, jauh lebih banyak daripada yang pernah dieksekusi di Indonesia. Mengapa Anda tidak ke Amerika Serikat dulu baru ke Indonesia? Amerika Serikat kan menjadi standard of patron anda semua mengenai demokrasi dan HAM. Karena Anda semua terdiam, lanjut saya lagi, ada baiknyaa kita akhiri pembicaraan dan pertemuan ini. Kita akan lanjutkan lagi setelah Anda kembali dari Amerika Serikat.
Yang membuat saya kian tidak respek adalah sikap mereka dalam hal hukuman mati ini, terutama sikap pemerintah mereka. Kemunafikan mereka kian jelas tatkala pemerintah Indonesia mengeksekusi seorang warga negara keturunan India karena dia adalah bandar narkoba. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa dengan jelas menunjukkan sikap protes dan antipati pada pemerintah Indonesia. Namun tatkala pemerintah Indonesia mengeksekusi sejumlah pelaku bom Bali, tak ada satu pun di antara mereka yang protes. Proses hukum yang dilewati oleh sang bandar narkoba, sama saja dengan proses hukum yang dilewati pelaku bom Bali tersebut. Di mana konsistensi mereka itu ? Di mana kegigihan mereka dalam memperjuangkan HAM dan demokrasi ? Jawabannya hanya satu: kemunafikan asasi. ***