Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Melihat Indonesia dari Sabu Raijua

Hary B Kori’un menularkan pengalamannya tinggal sebulan di Sabu Raijua, NTT, dalam Program Sastrawan Berkarya di Wilayah 3T. Dari sana dia bisa memahami betapa besar dan kayanya Indonesia dalam banyak hal.
Laporan: Fopin A Sinaga
PEMERINTAH Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), memberi ruang yang sangat terbuka kepada seniman dan budayawan Indonesia untuk berkarya. Bahkan Kemendikbud membiayai dan memfasilitasi para seniman dan budayawan tersebut untuk berkarya.
Pembiayaan dan fasilitator tersebut dilakukan oleh beberapa badan, direktorat jenderal (dirjen), maupun komite yang ada di bawah Kemdikbud. Dirjen Kebudayaan, misalnya, memberikan bantuan berupa pembiayaan fasilitas kebudayaan bagi lembaga-lembaga kebudayaan, baik dalam pengadaan alat kesenian maupun pembangunan ruang atau bangunan.
Sementara itu Komite Buku sudah mengirim banyak seniman dan budayawan ke berbagai wilayah Indonesia maupun negara untuk melakukan residensi. Program Residensi ini memungkinkan sang seniman atau budayawan tinggal di sebuah wilayah Indonesia maupun negara lain untuk melakukan observasi, riset, dan sebagainya untuk menghasilkan karya seni, sastra maupun budaya.
Tidak hanya Kemendikbud, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) juga memberikan bantuan untuk pembangunan fisik ruang-ruang budaya dan seni. Hal itu sudah berlangsung beberapa tahun hingga kini.
“Saat ini banyak ruang dan kesempatan yang diberikan pemerintah kepada kita-kita yang bergerak di bidang seni dan budaya untuk ikut program residensi maupun mendapatkan bantuan pengadaan alat kesenian dan pembangunan tempat berkreatif. Tinggal bagaimana kita bisa berjuang mendapatkan peluang tersebut,” ujar Hary B Kori’un dalam acara diskusi bertajuk “Melihat Indonesia dari Sesuatu yang Kecil” di Rumah Suku Seni Riau, Pekanbaru, Sabtu (29/6/2019).
Kelapa Suku Seni Riau, Marhalim Zaini, menjelaskan, acara ini merupakan bagian dari diskusi bulanan Suku Seni Riau. Hary diundang sebagai pembicara dalam acara tersebut untuk menularkan pengalaman setelah mengikuti kegiatan yang sudah tahun ketiga diadakan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud tersebut.
“Berbagi pengalaman ini penting agar generasi muda sastrawan Riau tertarik dan tahu bagaimana kegiatan ini, termasuk bagaimana pengalaman hidup selama di daerah penempatan,” ujar Marhalim.
Acara diskusi tersebut dihadiri sekitar 20-an peserta. Beberapa nama sastrawan muda yang ikut hadir adalah Maymoon Nasution, Boy Riza Utama, Reky Arfal, Ajik Bahar, Kevin Kanza, Eko Ragil, Anju Mahendra, Julisman, Joni Hendri, Ardilo Indragita,  dan beberapa seniman dan sastrawan lainnya, termasuk anggota Suku Seni Riau.
Hary sendiri adalah sastrawan Riau yang menjadi satu dari 8 sastrawan Indonesia yang mendapatkan kesempatan dari Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan untuk ikut Program Sastrawan Berkarya ke Wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) 2019. Dia dikirim  untuk tinggal menetap selama sebulan penuh, 1-30 Mei 2019, di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sedang tujuh sastrawan lainnya adalah Agit Yogi Subandi (Lampung ditempatkan di Sampang, Jawa Timur), Mutia Sukma (Yogyakarta ke Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat), Eko Triono (Yogyakarta ke Parigi Moutong, Sulawesi Tengah), Setia Naka Andrian (Jawa Tengah ke Polewali Mandar, Sulawesi Tengah), Faisal Syahreza (Jawa Barat ke Boalemo, Gorontalo), Aksan Takwim (Banten ke Seruyan, Kalimantan Tengah), dan Suparlan (Jawa Timur ke Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat).
Dalam diskusi tersebut Hary menjelaskan secara teknis bagaimana mengikuti proses seleksi untuk bisa lolos. Tahun 2019 ini, ada sekitar 80 sastrawan dari seluruh Indonesia yang ikut seleksi, dan hanya 20 sastrawan yang lolos seleksi administrasi.
Kata sastrawan yang sudah menulis 7 novel dan 1 buku kumpulan cerpen (kumcer) tersebut, seleksi administasi ini merupakan syarat mutlak yang harus diikuti. Para sastrawan harus mengirim buku sastra (kumcer tunggal, novel, maupun kumpulan puisi) dan beberapa karya sastra yang dimuat di media cetak dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Karena hasil akhirnya nanti para sastrawan diharuskan membuat laporan dalam bentuk buku tentang pengalaman selama tinggal di daerah penugasan, maka, kata Hary, akan lebih baik kalau para sastrawan  –terutama yang tunak di bidang puisi– juga belajar menulis prosa.
“Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan meminta agar laporan tersebut ditulis dalam bentuk jurnalisme sastrawi. Padahal sebenarnya genre ini masih jarang dipelajari, baik oleh wartawan maupun sastrawan,” kata Pemimpin Redaksi riaupos.co tersebut.
Namun, paling tidak, kata Hary, dengan belajar menulis prosa, terutama cerpen atau novel, para sastrawan nantinya akan bisa menulis laporannya dengan gaya cerpen atau novel, tetapi dengan bahan dan data nyata, yakni pengalaman selama di daerah penugasan.
Kehidupan Masyarakan Sabu Raijua
Di bagian lain, Hary menceritakan bahwa  tinggal di daerah 3T (terpencil) tersebut memberikan pengalaman yang luar biasa kepada dirinya. Dia menjadi paham bahwa Indonesia ini sangat luas, besar, perpenduduk banyak, perlu sumber ekonomi yang besar, perlu pertahanan yang kuat, dan perlu kecintaan yang tinggi seluruh rakyatnya.
Dia menjelaskan, masyarakat di Sabu Raijua, hingga kini harus menghadapi kehidupan ekonomi yang sangat sulit tetapi keadaan alam membuat mereka kesulitan meningkatkan pendapatan ekonomi mereka. Mereka tinggal di pulau yang tandus, gersang, berkarang, yang menyulitkan untuk mengembangkan sektor pertanian. Ditambah lagi, dalam setahun mereka hanya mendapatkan dua bulan musim hujan, yakni November-Desember. Selebihnya, 10 bulan, adalah musim kemarau.Kondisi alamnya juga panas menyengat sepanjang hari.
Dalam kondisi tersebut, kata Hary, kebutuhan ekonomi masyarakat Sabu Raijua banyak tergantung dari daerah lain. Misalnya beras, sayur, dan lainnya,  harus menunggu kapal dagang dari Makassar, Ende, Manggarai, Maumere, Kupang, Sumba, dan beberapa daerah lainnya. Jika gelombang tinggi, alamat di Pulau Sabu dan Raijua akan krisis makanan. Harga pangan di sana tinggi, sedangkan penghasilan sebagian besar warganya sangat rendah.
“Saya pernah merasakan bagaimana saat gelombang tinggi dan selama seminggu kapal tak bisa merapat ke Seba (ibu kota Sabu Raijua, red). Selama seminggu itu kami tak makan sayur. Jika ada pun harus dihemat,” ujar penulis novel Luka Tanah tersebut.
Masalah utama di Sabu Raijua, kata Hary, bukan hanya itu. Karena mendapatkan musim kemarau selama 10 bulan setahun, masalah air bersih menjadi persoalan yang sulit dicari jalan keluarnya. Di dua pulau tersebut tak banyak sumber air. Mengebor air tanah juga untung-untungan. 
Maka, saat musim kemarau tiba, dari Januari dan berpuncak di Oktober, sebagian masyarakat harus membeli air bersih dari mobil-mobil tangki keliling. Jika orang berada dia bisa membeli banyak, tapi banyak yang hanya membeli secukupnya dengan mengurangi intensitas untuk mandi.
“Bahkan di Pulau Raijua, air sumur bor di sana rasanya bukan payau lagi, tapi asin. Di pedalaman di sana, saat puncak musim kemarau, banyak masyarakat yang kesulitan air besih. Pengakuan penduduk di sana, bisa mandi seminggu sekali sudah lumayan,” jelas Hary lagi.
Namun, Hary merasa salut dengan apa yang dilakukan masyarakat di sana. Meski serba terbatas, kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak luntur. Padahal, jika saja sejak zaman Orde Baru daerah mereka dibangun seperti sekarang, bisa jadi kondisi mereka tak separah ini.
Sejak dimekarkan dari Kabupaten Kupang tahun 2009, pembangunan di Sabu Raijua sudah mulai terlihat, baik infrastruktur maupun sumber daya manusianya. Selain membangun jalan lingkar yang mengelilingi Pulau Sabu dan beberapa jalan di Pulau Raijua, Pemkab juga sudah mulai membangun embung (semacam waduk) di beberapa tempat untuk menampung air hujan. Embung ini mampu menyediakan air minimal hingga puncak musim kemarau datang.
Pemkab Sabu Raijua juga sedang mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang berpotensi menyedot banyak tenaga kerja. Misalnya, mereka kini sedang membangun tambak garam dengan skala besar di beberapa tempat. Hasilnya, garam dari sana sudah banyak yang dijual hingga ke Jawa. Pengembangan potensi rumput laut juga sedang ditingkatkan, terutama di Pulau Raijua. Sabu Raijua juga menjadi salah satu daerah penghasil gula curah dan gula semut dengan potensi pohon lontar yang sangat banyak dan sangat cocok dikembangkan di sana.
“Dari pengalaman hidup di sana saya menjadi sadar secara pribadi, bahwa apa yang saya dapatkan selama ini, ternyata sudah sangat luar biasa dibanding mereka. Terutama dalam memahami pentingnya air bagi kehidupan saya dengan melihat mereka sangat susah mendapatkan air,” kata salah seorang pendiri Komunitas Paragraf tersebut.
Hary juga menceritakan besarnya potensi wisata di kedua pulau tersebut memiliki keindahan alam dan budaya yang tak kalah dari Bali atau Lombok, ikon wisata Indonesia saat ini. 
“Jika Pulau Sabu dan Raijua letaknya dekat dengan Jawa, Bali dan Lombok bisa kalah,” ujar Hary sambil berseloroh.
Seluruh pengalaman selama tinggal di Sabu Raijua itu nantinya akan dituangkan dalam sebuah buku yang rencananya akan diluncurkan oleh Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan pada Oktober 2019 bersamaan dengan karya 7 sastrawan lainnya yang ikut program tersebut.
“Semoga buku tersebut nantinya bisa menginspirasi banyak orang,” jelas penulis Kumpulan Cerpen Tunggu Aku di Sungai Duku tersebut.***
Baca Juga:  Jenis Vaksin Mandiri Harus Dibedakan
Hary B Kori’un menularkan pengalamannya tinggal sebulan di Sabu Raijua, NTT, dalam Program Sastrawan Berkarya di Wilayah 3T. Dari sana dia bisa memahami betapa besar dan kayanya Indonesia dalam banyak hal.
Laporan: Fopin A Sinaga
PEMERINTAH Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), memberi ruang yang sangat terbuka kepada seniman dan budayawan Indonesia untuk berkarya. Bahkan Kemendikbud membiayai dan memfasilitasi para seniman dan budayawan tersebut untuk berkarya.
Pembiayaan dan fasilitator tersebut dilakukan oleh beberapa badan, direktorat jenderal (dirjen), maupun komite yang ada di bawah Kemdikbud. Dirjen Kebudayaan, misalnya, memberikan bantuan berupa pembiayaan fasilitas kebudayaan bagi lembaga-lembaga kebudayaan, baik dalam pengadaan alat kesenian maupun pembangunan ruang atau bangunan.
Sementara itu Komite Buku sudah mengirim banyak seniman dan budayawan ke berbagai wilayah Indonesia maupun negara untuk melakukan residensi. Program Residensi ini memungkinkan sang seniman atau budayawan tinggal di sebuah wilayah Indonesia maupun negara lain untuk melakukan observasi, riset, dan sebagainya untuk menghasilkan karya seni, sastra maupun budaya.
Tidak hanya Kemendikbud, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) juga memberikan bantuan untuk pembangunan fisik ruang-ruang budaya dan seni. Hal itu sudah berlangsung beberapa tahun hingga kini.
“Saat ini banyak ruang dan kesempatan yang diberikan pemerintah kepada kita-kita yang bergerak di bidang seni dan budaya untuk ikut program residensi maupun mendapatkan bantuan pengadaan alat kesenian dan pembangunan tempat berkreatif. Tinggal bagaimana kita bisa berjuang mendapatkan peluang tersebut,” ujar Hary B Kori’un dalam acara diskusi bertajuk “Melihat Indonesia dari Sesuatu yang Kecil” di Rumah Suku Seni Riau, Pekanbaru, Sabtu (29/6/2019).
Kelapa Suku Seni Riau, Marhalim Zaini, menjelaskan, acara ini merupakan bagian dari diskusi bulanan Suku Seni Riau. Hary diundang sebagai pembicara dalam acara tersebut untuk menularkan pengalaman setelah mengikuti kegiatan yang sudah tahun ketiga diadakan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud tersebut.
“Berbagi pengalaman ini penting agar generasi muda sastrawan Riau tertarik dan tahu bagaimana kegiatan ini, termasuk bagaimana pengalaman hidup selama di daerah penempatan,” ujar Marhalim.
Acara diskusi tersebut dihadiri sekitar 20-an peserta. Beberapa nama sastrawan muda yang ikut hadir adalah Maymoon Nasution, Boy Riza Utama, Reky Arfal, Ajik Bahar, Kevin Kanza, Eko Ragil, Anju Mahendra, Julisman, Joni Hendri, Ardilo Indragita,  dan beberapa seniman dan sastrawan lainnya, termasuk anggota Suku Seni Riau.
Hary sendiri adalah sastrawan Riau yang menjadi satu dari 8 sastrawan Indonesia yang mendapatkan kesempatan dari Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan untuk ikut Program Sastrawan Berkarya ke Wilayah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) 2019. Dia dikirim  untuk tinggal menetap selama sebulan penuh, 1-30 Mei 2019, di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sedang tujuh sastrawan lainnya adalah Agit Yogi Subandi (Lampung ditempatkan di Sampang, Jawa Timur), Mutia Sukma (Yogyakarta ke Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat), Eko Triono (Yogyakarta ke Parigi Moutong, Sulawesi Tengah), Setia Naka Andrian (Jawa Tengah ke Polewali Mandar, Sulawesi Tengah), Faisal Syahreza (Jawa Barat ke Boalemo, Gorontalo), Aksan Takwim (Banten ke Seruyan, Kalimantan Tengah), dan Suparlan (Jawa Timur ke Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat).
Dalam diskusi tersebut Hary menjelaskan secara teknis bagaimana mengikuti proses seleksi untuk bisa lolos. Tahun 2019 ini, ada sekitar 80 sastrawan dari seluruh Indonesia yang ikut seleksi, dan hanya 20 sastrawan yang lolos seleksi administrasi.
Kata sastrawan yang sudah menulis 7 novel dan 1 buku kumpulan cerpen (kumcer) tersebut, seleksi administasi ini merupakan syarat mutlak yang harus diikuti. Para sastrawan harus mengirim buku sastra (kumcer tunggal, novel, maupun kumpulan puisi) dan beberapa karya sastra yang dimuat di media cetak dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Karena hasil akhirnya nanti para sastrawan diharuskan membuat laporan dalam bentuk buku tentang pengalaman selama tinggal di daerah penugasan, maka, kata Hary, akan lebih baik kalau para sastrawan  –terutama yang tunak di bidang puisi– juga belajar menulis prosa.
“Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan meminta agar laporan tersebut ditulis dalam bentuk jurnalisme sastrawi. Padahal sebenarnya genre ini masih jarang dipelajari, baik oleh wartawan maupun sastrawan,” kata Pemimpin Redaksi riaupos.co tersebut.
Namun, paling tidak, kata Hary, dengan belajar menulis prosa, terutama cerpen atau novel, para sastrawan nantinya akan bisa menulis laporannya dengan gaya cerpen atau novel, tetapi dengan bahan dan data nyata, yakni pengalaman selama di daerah penugasan.
Kehidupan Masyarakan Sabu Raijua
Di bagian lain, Hary menceritakan bahwa  tinggal di daerah 3T (terpencil) tersebut memberikan pengalaman yang luar biasa kepada dirinya. Dia menjadi paham bahwa Indonesia ini sangat luas, besar, perpenduduk banyak, perlu sumber ekonomi yang besar, perlu pertahanan yang kuat, dan perlu kecintaan yang tinggi seluruh rakyatnya.
Dia menjelaskan, masyarakat di Sabu Raijua, hingga kini harus menghadapi kehidupan ekonomi yang sangat sulit tetapi keadaan alam membuat mereka kesulitan meningkatkan pendapatan ekonomi mereka. Mereka tinggal di pulau yang tandus, gersang, berkarang, yang menyulitkan untuk mengembangkan sektor pertanian. Ditambah lagi, dalam setahun mereka hanya mendapatkan dua bulan musim hujan, yakni November-Desember. Selebihnya, 10 bulan, adalah musim kemarau.Kondisi alamnya juga panas menyengat sepanjang hari.
Dalam kondisi tersebut, kata Hary, kebutuhan ekonomi masyarakat Sabu Raijua banyak tergantung dari daerah lain. Misalnya beras, sayur, dan lainnya,  harus menunggu kapal dagang dari Makassar, Ende, Manggarai, Maumere, Kupang, Sumba, dan beberapa daerah lainnya. Jika gelombang tinggi, alamat di Pulau Sabu dan Raijua akan krisis makanan. Harga pangan di sana tinggi, sedangkan penghasilan sebagian besar warganya sangat rendah.
“Saya pernah merasakan bagaimana saat gelombang tinggi dan selama seminggu kapal tak bisa merapat ke Seba (ibu kota Sabu Raijua, red). Selama seminggu itu kami tak makan sayur. Jika ada pun harus dihemat,” ujar penulis novel Luka Tanah tersebut.
Masalah utama di Sabu Raijua, kata Hary, bukan hanya itu. Karena mendapatkan musim kemarau selama 10 bulan setahun, masalah air bersih menjadi persoalan yang sulit dicari jalan keluarnya. Di dua pulau tersebut tak banyak sumber air. Mengebor air tanah juga untung-untungan. 
Maka, saat musim kemarau tiba, dari Januari dan berpuncak di Oktober, sebagian masyarakat harus membeli air bersih dari mobil-mobil tangki keliling. Jika orang berada dia bisa membeli banyak, tapi banyak yang hanya membeli secukupnya dengan mengurangi intensitas untuk mandi.
“Bahkan di Pulau Raijua, air sumur bor di sana rasanya bukan payau lagi, tapi asin. Di pedalaman di sana, saat puncak musim kemarau, banyak masyarakat yang kesulitan air besih. Pengakuan penduduk di sana, bisa mandi seminggu sekali sudah lumayan,” jelas Hary lagi.
Namun, Hary merasa salut dengan apa yang dilakukan masyarakat di sana. Meski serba terbatas, kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak luntur. Padahal, jika saja sejak zaman Orde Baru daerah mereka dibangun seperti sekarang, bisa jadi kondisi mereka tak separah ini.
Sejak dimekarkan dari Kabupaten Kupang tahun 2009, pembangunan di Sabu Raijua sudah mulai terlihat, baik infrastruktur maupun sumber daya manusianya. Selain membangun jalan lingkar yang mengelilingi Pulau Sabu dan beberapa jalan di Pulau Raijua, Pemkab juga sudah mulai membangun embung (semacam waduk) di beberapa tempat untuk menampung air hujan. Embung ini mampu menyediakan air minimal hingga puncak musim kemarau datang.
Pemkab Sabu Raijua juga sedang mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang berpotensi menyedot banyak tenaga kerja. Misalnya, mereka kini sedang membangun tambak garam dengan skala besar di beberapa tempat. Hasilnya, garam dari sana sudah banyak yang dijual hingga ke Jawa. Pengembangan potensi rumput laut juga sedang ditingkatkan, terutama di Pulau Raijua. Sabu Raijua juga menjadi salah satu daerah penghasil gula curah dan gula semut dengan potensi pohon lontar yang sangat banyak dan sangat cocok dikembangkan di sana.
“Dari pengalaman hidup di sana saya menjadi sadar secara pribadi, bahwa apa yang saya dapatkan selama ini, ternyata sudah sangat luar biasa dibanding mereka. Terutama dalam memahami pentingnya air bagi kehidupan saya dengan melihat mereka sangat susah mendapatkan air,” kata salah seorang pendiri Komunitas Paragraf tersebut.
Hary juga menceritakan besarnya potensi wisata di kedua pulau tersebut memiliki keindahan alam dan budaya yang tak kalah dari Bali atau Lombok, ikon wisata Indonesia saat ini. 
“Jika Pulau Sabu dan Raijua letaknya dekat dengan Jawa, Bali dan Lombok bisa kalah,” ujar Hary sambil berseloroh.
Seluruh pengalaman selama tinggal di Sabu Raijua itu nantinya akan dituangkan dalam sebuah buku yang rencananya akan diluncurkan oleh Badan Pembinaan Bahasa dan Perbukuan pada Oktober 2019 bersamaan dengan karya 7 sastrawan lainnya yang ikut program tersebut.
“Semoga buku tersebut nantinya bisa menginspirasi banyak orang,” jelas penulis Kumpulan Cerpen Tunggu Aku di Sungai Duku tersebut.***
Baca Juga:  Jenis Vaksin Mandiri Harus Dibedakan
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari