Jumat, 9 Agustus 2024

Upaya Restorasi Mangrove di Pantai  Desa Teluk Pambang

Demi Keberlangsungan Manusia dan Alam

Kawasan pesisir pantai di bagian utara Riau, mengalami abrasi yang sangat mengkhawatirkan bagi pulau terluar di Indonesia. Kendati digelontorkan dana yang cukup besar melalui badan dan instansi terkait, namun upaya itu belum mampu mengatasi lajunya abrasi di bibir pantai yang berhadapan dengan Selat Melaka.

RIAU (RIAUPOS.CO) – PETANG itu Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan mendampingi tim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) melakukan monitoring program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA).

- Advertisement -

Melalui pembinaan dari YKAN telah mampu menumbuhkan kesadaran serta memotivasi masyarakat Desa Teluk Pambang dan sekitarnya akan pentingnya pemulihan mangrove untuk keberlangsungan kehidupan antara manusia dan alam.

“Alhamdulillah kebera­daan kami melalui program MERA sangat berdampak positif. Tidak hanya terkait lingkungan, tetapi juga perekonomian masyarakat ikut terdampak. Kami ingin YKAN terus membina serta memberikan ilmu pengetahuan tentang tata cara pengelolaan mangrove yang efektif,” ujar Ketua Kelompok Belukap Desa Teluk Pambang Samsul Bahri, Rabu (10/7).

Ia mengaku, melalui program MERA ini juga mampu menumbuhkan kesadaran seluruh masyarakat yang berada di pulau-pulau pesisir lebih peduli terhadap lingkungan hutan mangrove.

- Advertisement -

“Saat ini masyarakat Desa Teluk Pambang mulai sadar, mengenal dan memahami pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan. Karena banyak manfaat yang dapat dilakukan dari menanam mangrove ini, baik itu ekonomi maupun terhadap lingkungan,” jelasnya.

Dia bersama kelompoknya telah memiliki kiprah mengelola kawasan mangrove seluas 40 hektare (Ha) di Desa Teluk Pambang. Berbagai tantangan telah dihadapi, salah satunya menentang usaha keras dan penebangan liar di desanya.

Baca Juga:  Bangunan Berdiri Megah, Belum Ada Aktivitas Pedagang

“Alhamdulillah berkat keyakinan dan kerja keras, akhirnya tanaman mangrove tetap terjaga dengan baik, dan kini usia mangrove tersebut sudah mencapai 20 tahun. Berbagai manfaat yang dapat kami hasilkan dari hutan mangrove ini, seperti kepiting, udang, lokan, dan sejenisnya makanan laut lainnya. Kawasan ini juga berpotensi dijadikan sebagai tempat penelitian dan objek wisata,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, sekarang sudah ada 10 kelompok mangrove. Satu kelompok beranggotakan 20 orang, yang akan bertanggung jawab untuk menanam, membina, merawat, dan melindungi.

Kepada pemerintah daerah, Samsul berharap supaya terus mendukung serta membantu pengembangan program pemulihan mangrove yang ada di Desa Teluk Pambang.

“Kami mohon kepada pemerintah daerah, provinsi, dan pusat supaya dapat membantu kami untuk meningkatkan lagi budidaya dan pemulihan mangrove di daerah ini. Semoga penanaman mangrove dapat mengurangi laju abrasi di Pulau Bengkalis,” jelasnya.

Mangrove Terluas di Bengkalis

Peneliti mangrove YKAN Topik Hidayat mengatakan, kegiatan restorasi sangat memerlukan keterlibatan dan peran aktif masyarakat sekitar. Dalam dunia pemulihan mangrove, istilah ini disebut sebagai Community-Based Ecological Mangrove Restoration (CBEMR).

Melalui konsep ini, masyarakat ditempatkan sebagai subjek. Mereka dilibatkan sejak program awal, mulai dari identifikasi masalah, merumuskan solusi, serta diberi kesempatan untuk memimpin kegiatan dan mengambil keputusan.

Baca Juga:  Yayasan Konservasi Alam Nusantara Rancang Penyelamatan Mamalia

Skema ini juga mengembangkan kapasitas masyarakat lokal untuk belajar bagaimana memperbaiki, merawat, dan mengelola hutan mangrove di sekitarnya secara berkelanjutan.

“Salah satu contoh implementasi CBEMR yang dilakukan YKAN ada di Desa Teluk Pambang ini. Desa Teluk Pambang merupakan salah satu kawasan mangrove terluas di Pulau Bengkalis dengan luas hutan mangrove 951 Ha,” jelasnya.

Topik menjelaskan, tidak hanya intervensi fisik saja, YKAN turut membantu perizinan pengelolaan kawasan hutan mangrove di Desa Teluk Pambang. Sebelumnya, hutan mangrove di desa tersebut berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang saat ini rentan akan eksploitasi dan alih fungsi lahan.

“Untuk mengamankannya, YKAN meminta Pemerintah Desa Teluk Pambang untuk menjadikan hutan mangrove tersebut sebagai area kelola di bawah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Kawasan seluas 1.000 Ha yang didominasi mangrove diajukan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial dengan skema hutan desa. Melalui skema hutan desa, LPHD Desa Teluk Pambang mengajukan zona lindung (800 Ha) dan pemanfaatan (200 Ha),” ungkapnya.

Topik menyebutkan, peran aktif kelompok-kelompok desa mangrove dalam kegiatan restorasi telah menciptakan suatu perbedaan yang berarti. Menjaga mangrove di Desa Teluk Pambang kini tidak hanya urusan satu atau dua orang saja, melainkan menjadi tanggung jawab bersama 10 kelompok desa mangrove yang beranggotakan lebih dari 100 orang.***

Laporan ABU KASIM, Bengkalis

Kawasan pesisir pantai di bagian utara Riau, mengalami abrasi yang sangat mengkhawatirkan bagi pulau terluar di Indonesia. Kendati digelontorkan dana yang cukup besar melalui badan dan instansi terkait, namun upaya itu belum mampu mengatasi lajunya abrasi di bibir pantai yang berhadapan dengan Selat Melaka.

RIAU (RIAUPOS.CO) – PETANG itu Kelompok Pengelola Mangrove (KPM) Desa Teluk Pambang, Kecamatan Bantan mendampingi tim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) melakukan monitoring program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA).

Melalui pembinaan dari YKAN telah mampu menumbuhkan kesadaran serta memotivasi masyarakat Desa Teluk Pambang dan sekitarnya akan pentingnya pemulihan mangrove untuk keberlangsungan kehidupan antara manusia dan alam.

“Alhamdulillah kebera­daan kami melalui program MERA sangat berdampak positif. Tidak hanya terkait lingkungan, tetapi juga perekonomian masyarakat ikut terdampak. Kami ingin YKAN terus membina serta memberikan ilmu pengetahuan tentang tata cara pengelolaan mangrove yang efektif,” ujar Ketua Kelompok Belukap Desa Teluk Pambang Samsul Bahri, Rabu (10/7).

Ia mengaku, melalui program MERA ini juga mampu menumbuhkan kesadaran seluruh masyarakat yang berada di pulau-pulau pesisir lebih peduli terhadap lingkungan hutan mangrove.

“Saat ini masyarakat Desa Teluk Pambang mulai sadar, mengenal dan memahami pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan. Karena banyak manfaat yang dapat dilakukan dari menanam mangrove ini, baik itu ekonomi maupun terhadap lingkungan,” jelasnya.

Dia bersama kelompoknya telah memiliki kiprah mengelola kawasan mangrove seluas 40 hektare (Ha) di Desa Teluk Pambang. Berbagai tantangan telah dihadapi, salah satunya menentang usaha keras dan penebangan liar di desanya.

Baca Juga:  Mengantuk dan Lelah, Petugas KPPS Hitung Surat Suara hingga Lewat Tengah Malam

“Alhamdulillah berkat keyakinan dan kerja keras, akhirnya tanaman mangrove tetap terjaga dengan baik, dan kini usia mangrove tersebut sudah mencapai 20 tahun. Berbagai manfaat yang dapat kami hasilkan dari hutan mangrove ini, seperti kepiting, udang, lokan, dan sejenisnya makanan laut lainnya. Kawasan ini juga berpotensi dijadikan sebagai tempat penelitian dan objek wisata,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, sekarang sudah ada 10 kelompok mangrove. Satu kelompok beranggotakan 20 orang, yang akan bertanggung jawab untuk menanam, membina, merawat, dan melindungi.

Kepada pemerintah daerah, Samsul berharap supaya terus mendukung serta membantu pengembangan program pemulihan mangrove yang ada di Desa Teluk Pambang.

“Kami mohon kepada pemerintah daerah, provinsi, dan pusat supaya dapat membantu kami untuk meningkatkan lagi budidaya dan pemulihan mangrove di daerah ini. Semoga penanaman mangrove dapat mengurangi laju abrasi di Pulau Bengkalis,” jelasnya.

Mangrove Terluas di Bengkalis

Peneliti mangrove YKAN Topik Hidayat mengatakan, kegiatan restorasi sangat memerlukan keterlibatan dan peran aktif masyarakat sekitar. Dalam dunia pemulihan mangrove, istilah ini disebut sebagai Community-Based Ecological Mangrove Restoration (CBEMR).

Melalui konsep ini, masyarakat ditempatkan sebagai subjek. Mereka dilibatkan sejak program awal, mulai dari identifikasi masalah, merumuskan solusi, serta diberi kesempatan untuk memimpin kegiatan dan mengambil keputusan.

Baca Juga:  Bangunan Berdiri Megah, Belum Ada Aktivitas Pedagang

Skema ini juga mengembangkan kapasitas masyarakat lokal untuk belajar bagaimana memperbaiki, merawat, dan mengelola hutan mangrove di sekitarnya secara berkelanjutan.

“Salah satu contoh implementasi CBEMR yang dilakukan YKAN ada di Desa Teluk Pambang ini. Desa Teluk Pambang merupakan salah satu kawasan mangrove terluas di Pulau Bengkalis dengan luas hutan mangrove 951 Ha,” jelasnya.

Topik menjelaskan, tidak hanya intervensi fisik saja, YKAN turut membantu perizinan pengelolaan kawasan hutan mangrove di Desa Teluk Pambang. Sebelumnya, hutan mangrove di desa tersebut berstatus Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang saat ini rentan akan eksploitasi dan alih fungsi lahan.

“Untuk mengamankannya, YKAN meminta Pemerintah Desa Teluk Pambang untuk menjadikan hutan mangrove tersebut sebagai area kelola di bawah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Kawasan seluas 1.000 Ha yang didominasi mangrove diajukan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial dengan skema hutan desa. Melalui skema hutan desa, LPHD Desa Teluk Pambang mengajukan zona lindung (800 Ha) dan pemanfaatan (200 Ha),” ungkapnya.

Topik menyebutkan, peran aktif kelompok-kelompok desa mangrove dalam kegiatan restorasi telah menciptakan suatu perbedaan yang berarti. Menjaga mangrove di Desa Teluk Pambang kini tidak hanya urusan satu atau dua orang saja, melainkan menjadi tanggung jawab bersama 10 kelompok desa mangrove yang beranggotakan lebih dari 100 orang.***

Laporan ABU KASIM, Bengkalis

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari