JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Petani kelapa sawit berharap pemerintah mampu menjaga stabilitas iklim usaha sawit nasional di tengah gencarnya penertiban kebun sawit yang berada di kawasan hutan. Kepastian hukum dinilai menjadi faktor kunci agar keberlanjutan usaha petani tetap terjaga.
Ketua Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI), Mansuetus Darto, menegaskan bahwa setiap langkah penataan sawit harus didasarkan pada kejelasan hukum, prosedur yang transparan, serta perlindungan terhadap petani sawit rakyat. Menurutnya, tanpa kepastian hukum, stabilitas usaha kelapa sawit nasional akan terganggu.
Ia menjelaskan, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memang memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai sumber daya alam demi kemakmuran rakyat. Namun, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa penguasaan tersebut tidak selalu berarti negara harus menjadi pelaku usaha secara langsung.
“Negara memiliki peran sebagai pengatur, pembuat kebijakan, pengawas, dan penjamin keadilan. Bukan mengambil alih usaha produktif, apalagi ketika status hukumnya belum diputuskan secara final,” ujar Darto, Ahad (28/12).
Darto menyoroti sejumlah kebun sawit yang saat ini ditertibkan, namun masih berada dalam proses penetapan status hukum. Menurutnya, kebijakan pemutihan yang pernah diterapkan menunjukkan bahwa keberadaan sawit di kawasan hutan tidak selalu otomatis dianggap melanggar hukum.
“Jika status lahan masih sengketa dan belum final, lalu negara langsung mengelola dan menikmati hasilnya, hal itu berpotensi menimbulkan persepsi ketidakpastian hukum di lapangan,” jelasnya.
Terkait pengelolaan kebun sawit sitaan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT Agrinas Palma Nusantara, Darto menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan hak petani. Ia menilai, petani tetap harus dilibatkan sebagai pelaku ekonomi yang sah, dengan kewajiban perizinan serta pemulihan lingkungan.
Berdasarkan data per 1 Oktober 2025, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) telah menyita sekitar 3,4 juta hektare lahan sawit yang dinilai masuk kawasan hutan. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,5 juta hektare telah diserahkan pengelolaannya kepada PT Agrinas Palma Nusantara. Sementara itu, petani sawit rakyat menguasai sekitar 6,94 juta hektare dari total 16,38 juta hektare kebun sawit nasional.
Darto juga menyinggung Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 20 Tahun 2025 yang dinilainya masih memerlukan penguatan, khususnya pada aspek transparansi dan partisipasi publik. Ia menilai mekanisme keberatan dan banding administratif penting agar data masyarakat dan pelaku usaha dapat diuji secara adil dengan data pemerintah.
“Dalam negara hukum, harus ada ruang koreksi dan dialog. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan serta kepastian hukum bagi semua pihak,” pungkasnya.





