JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pemerintah tengah menggodok kebijakan tax amnesty jilid kedua. Pro dan kontra mengiringi wacana kebijakan itu.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyatakan, tax amnesty membawa dampak negatif terhadap ekonomi. Pemerintah diimbau mencari solusi lain untuk menaikkan penerimaan negara selain tax amnesty.
"Kepercayaan pembayar pajak bisa turun karena tax amnesty seharusnya diberikan sekali sesuai janji pemerintah tahun 2016. Setelah periode tax amnesty selesai, selanjutnya penegakan aturan perpajakan," ujar Bhima kepada Jawa Pos kemarin (21/5).
Dengan adanya tax amnesty jilid II, psikologis pembayar pajak pasti akan menunggu pengampunan pajak tahap berikutnya. "Ya, buat apa patuh pajak, pasti ada tax amnesty berikutnya. Ini blunder ke penerimaan negara," katanya.
Berkaca pada capaian tax amnesty sebelumnya, Bhima menyebutkan, kebijakan itu tidak terbukti meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Itu tecermin pada periode 2018–2020 rasio pajak terus menurun hingga mencapai 8,3 persen.
Bukannya naik, rasio pajak atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB malah melorot terus. "Berarti ada yang tidak beres dengan tax amnesty," jelas lulusan University of Bradford, Inggris, tersebut.
Selain itu, pemberian pengampunan pajak rawan digunakan untuk pencucian uang lintas negara. Atas nama pengampunan pajak, perusahaan yang melakukan kejahatan keuangan bisa memasukkan uang ke Indonesia. Terlebih, saat ini rawan pencucian uang dari kejahatan korupsi selama pandemi Covid-19.
Pemerintah, kata dia, seharusnya justru menerapkan kebijakan untuk mengejar pajak mereka yang tidak ikut tax amnesty 2016. Data tax amnesty jilid I sudah lengkap. Kemudian, ada pertukaran data pajak antarnegara (AEOI) dan dokumen internasional Panama Papers hingga Fincen Papers. "Idealnya, dari database yang sudah ada itu para pengemplang pajak dikejar, bukan memberikan pengampunan berikutnya. Ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang gagal," jelas Bhima.
Tax amnesty juga dinilai dapat menciptakan ketimpangan antara orang kaya dan miskin. Dia menjelaskan, selama pandemi Covid-19 sudah banyak kebijakan yang pro terhadap korporasi seperti penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen bertahap hingga 2022 sampai diskon PPnBM untuk mobil.
"Sementara bagi masyarakat umum mau dinaikkan pajak PPN-nya. Jadi, kebijakan tax amnesty sangat membahayakan ketimpangan pasca-Covid-19," tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan, belum maksimalnya tax amnesty jilid I membuat pemerintah mengeluarkan wacana merilis kebijakan serupa untuk tahap II. "Atau, kami melihat ini untuk memperluas jangkauan pembayar pajak yang saat ini masih minim. Tax ratio kita terus turun selama beberapa tahun terakhir," ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyatakan, dalam mewacanakan tax amnesty jilid II, pemerintah perlu memperhatikan aspek sosialisasi kepada semua kalangan. Tidak terkecuali pengusaha dan kalangan legislatif.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi