Jumat, 20 September 2024

UUCK Tuntaskan Persoalan Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Penyelesaian terhadap persoalan kebun kelapa sawit yang berada dalam klaim kawasan hutan yang sudah tumbuh sebelum November 2020, dapat diselesaikan dengan cara pengenaan sanksi administratif (ultimum remedium), bukan pidana. Tak terkecuali di Riau.
 
Hal ini diungkapkan sejumlah narasumber pada kegiatan “Sosialisasi Regulasi UUCK besertaTurunannya dan Pencegahan Karhutla” yang ditaja oleh Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW Apkasindo) Riau, dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau, baru-baru ini di Pekanbaru.
 
Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau Dr Mamud Murod, dan Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX, Sofyan, SHut MScm secara tegas juga mengatakan hal tersebut.
 
 “Solusi sawit dalam kawasan hutan ini sudah rinci diatur dalam turunan Udang-Undang Cipta Kerja (UUCK, red). Aturan main soal sanksi administratif itu sudah ada dan tegas di Pasal 110B UUCK, sanksinya juga ultimum remedium, alias tidak ada pidana,” ucap Dr Mamud Murod.
 
Sementara itu, Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX, Sofyan, menyebutkan, teknis penyelesaiannya ada di PP 24 tahun 2021.

“Intinya, kalau kebun sawit yang ada di dalam klaim kawasan hutan produksi, baik itu di HPT, HP maupun HPK sudah punya izin; Izin lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP), atau Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), sesuai Pasal 110A, pekebun diberi waktu tiga tahun sejak UUCK terbit (November 2020, red) untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan,” kata Sofyan.
 
Kalau persyaratan sudah terpenuhi dan lolos verifikasi, ujar Sofyan, maka pekebun akan dapat persetujuan pelepasan kawasan hutan. Tapi kalau di hutan lindung atau hutan konservasi, pekebun cuma bisa melanjutkan usahanya itu selama 15 tahun.
 
Lantas, bagi pekebun yang sudah menjalankan usahanya sebelum tahun 2018, pola penyelesaiannya tetap memakai pasal 110A. Soalnya aturan teknis STDB baru ada pada 2018.
 
“Kalau kebun sawitnya ada setelah tahun 2018 dan sebelum November 2020, maka pekebun wajib membayar denda administratif dan kemudian diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama 25 tahun sejak masa tanam,” terang Sofyan.
 
Sedangkan terkait tumpang-tindih kebun sawit dengan izin perusahaan, kalau izin lebih dulu dari pekebun, maka perusahaan akan merangkul pekebun untuk menjadi mitra. Namun jika sebaliknya, maka luas izin perusahaan dikurangi, jadi semuanya sudah bersolusi dan semua harus memahaminya, tanpa kecuali.
 
“Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus-menerus dan mengelola kebun sawit paling banyak lima hektare, mereka dibebaskan dari sanksi administratif, ini juga harus kita pahami," katanya.
 
Sementara itu, Kabidkum Polda Riau, Kombes Pol Dr Endang Usman MH yang juga menjadi narasumber, mengatakan,  Polda Riau akan segera melakukan sosialisasi ultimum remidium kepada semua jajarannya, hingga ke Polres.

Baca Juga:  PLN Investasikan Rp452 Miliar untuk Perkuat Pasokan Listrik

“Biar tercipta satu pemahaman yang selaras dan berdasarkan regulasi yang sudah diundangkan” katanya.
 
Dzakiyul Fikri SH MH,  Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara yang menjadi pembicara mewakili Kajati Riau, Dr Jaja Subagja SH MH, sepakat untuk mengedepankan pendekatan persuasif, non-ligitasi dalam penyelesaian persoalan kawasan hutan itu.
 
Bagi anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit SH MH CLA, semua pernyataan para narasumber itu sangat realistis dan mengayomi, petani sawit sangat mengapresiasi, karena para pekebun yang tidak punya STDB tetap diberi kesempatan menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan
lewat mekanisme Pasal 110A.
 
“Mudah-mudahan para pekebun yang tak punya STDB paham dan bisa menyelesaikan permasalahan klaim Kawasan hutan tanpa perlu membayar denda administratif seperti yang diatur dalam pasal 110A itu,” katanya.
 
Samuel kemudian meminta supaya semua petani sawit yang ada di 22 DPW Provinsi perwakilan DPP Apkasindo untuk segera mengambil kesempatan ini.

Baca Juga:  Intip Budaya Lokal dan Pesona Sabana

“Ukur dan petakan kebun sawit yang ada di klaim kawasan hutan itu, lalu hubungi tim percepatan paduserasi implementasi UUCK DPP Apkasindo, waktu kita sangat sempit, hanya 3 tahun” pintanya.
 
Sekjend DPP Apkasindo, Rino Afrino ST MM, ketika dihubungi (18/7/2021) mengapresiasi atas penjelasan semua narasumber pada acara tersebut, terkhusus kepada  media yang sudah membantu menginformasikan kepada masyarakat tentang UUCK dan turunannya, terkhusus terkait penyelesaian keterlanjuran sawit yang diklaim dalam kawasan hutan.

- Advertisement -

“Semua ingin ada kepastian hukum, baik itu pekebun maupun korporasi, dan ini adalah solusinya,” ujar Rino.

Laporan: M Erizal (Pekanbaru)
Editor: Erwan Sani

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Penyelesaian terhadap persoalan kebun kelapa sawit yang berada dalam klaim kawasan hutan yang sudah tumbuh sebelum November 2020, dapat diselesaikan dengan cara pengenaan sanksi administratif (ultimum remedium), bukan pidana. Tak terkecuali di Riau.
 
Hal ini diungkapkan sejumlah narasumber pada kegiatan “Sosialisasi Regulasi UUCK besertaTurunannya dan Pencegahan Karhutla” yang ditaja oleh Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW Apkasindo) Riau, dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau, baru-baru ini di Pekanbaru.
 
Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau Dr Mamud Murod, dan Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX, Sofyan, SHut MScm secara tegas juga mengatakan hal tersebut.
 
 “Solusi sawit dalam kawasan hutan ini sudah rinci diatur dalam turunan Udang-Undang Cipta Kerja (UUCK, red). Aturan main soal sanksi administratif itu sudah ada dan tegas di Pasal 110B UUCK, sanksinya juga ultimum remedium, alias tidak ada pidana,” ucap Dr Mamud Murod.
 
Sementara itu, Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIX, Sofyan, menyebutkan, teknis penyelesaiannya ada di PP 24 tahun 2021.

“Intinya, kalau kebun sawit yang ada di dalam klaim kawasan hutan produksi, baik itu di HPT, HP maupun HPK sudah punya izin; Izin lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP), atau Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), sesuai Pasal 110A, pekebun diberi waktu tiga tahun sejak UUCK terbit (November 2020, red) untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan,” kata Sofyan.
 
Kalau persyaratan sudah terpenuhi dan lolos verifikasi, ujar Sofyan, maka pekebun akan dapat persetujuan pelepasan kawasan hutan. Tapi kalau di hutan lindung atau hutan konservasi, pekebun cuma bisa melanjutkan usahanya itu selama 15 tahun.
 
Lantas, bagi pekebun yang sudah menjalankan usahanya sebelum tahun 2018, pola penyelesaiannya tetap memakai pasal 110A. Soalnya aturan teknis STDB baru ada pada 2018.
 
“Kalau kebun sawitnya ada setelah tahun 2018 dan sebelum November 2020, maka pekebun wajib membayar denda administratif dan kemudian diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama 25 tahun sejak masa tanam,” terang Sofyan.
 
Sedangkan terkait tumpang-tindih kebun sawit dengan izin perusahaan, kalau izin lebih dulu dari pekebun, maka perusahaan akan merangkul pekebun untuk menjadi mitra. Namun jika sebaliknya, maka luas izin perusahaan dikurangi, jadi semuanya sudah bersolusi dan semua harus memahaminya, tanpa kecuali.
 
“Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus-menerus dan mengelola kebun sawit paling banyak lima hektare, mereka dibebaskan dari sanksi administratif, ini juga harus kita pahami," katanya.
 
Sementara itu, Kabidkum Polda Riau, Kombes Pol Dr Endang Usman MH yang juga menjadi narasumber, mengatakan,  Polda Riau akan segera melakukan sosialisasi ultimum remidium kepada semua jajarannya, hingga ke Polres.

Baca Juga:  Cari Solusi Perbaiki Harga Garam

“Biar tercipta satu pemahaman yang selaras dan berdasarkan regulasi yang sudah diundangkan” katanya.
 
Dzakiyul Fikri SH MH,  Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara yang menjadi pembicara mewakili Kajati Riau, Dr Jaja Subagja SH MH, sepakat untuk mengedepankan pendekatan persuasif, non-ligitasi dalam penyelesaian persoalan kawasan hutan itu.
 
Bagi anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo, Samuel Hutasoit SH MH CLA, semua pernyataan para narasumber itu sangat realistis dan mengayomi, petani sawit sangat mengapresiasi, karena para pekebun yang tidak punya STDB tetap diberi kesempatan menyelesaikan persoalan klaim kawasan hutan
lewat mekanisme Pasal 110A.
 
“Mudah-mudahan para pekebun yang tak punya STDB paham dan bisa menyelesaikan permasalahan klaim Kawasan hutan tanpa perlu membayar denda administratif seperti yang diatur dalam pasal 110A itu,” katanya.
 
Samuel kemudian meminta supaya semua petani sawit yang ada di 22 DPW Provinsi perwakilan DPP Apkasindo untuk segera mengambil kesempatan ini.

Baca Juga:  Dewas-Direksi TVRI Lama Tidak Harmonis

“Ukur dan petakan kebun sawit yang ada di klaim kawasan hutan itu, lalu hubungi tim percepatan paduserasi implementasi UUCK DPP Apkasindo, waktu kita sangat sempit, hanya 3 tahun” pintanya.
 
Sekjend DPP Apkasindo, Rino Afrino ST MM, ketika dihubungi (18/7/2021) mengapresiasi atas penjelasan semua narasumber pada acara tersebut, terkhusus kepada  media yang sudah membantu menginformasikan kepada masyarakat tentang UUCK dan turunannya, terkhusus terkait penyelesaian keterlanjuran sawit yang diklaim dalam kawasan hutan.

“Semua ingin ada kepastian hukum, baik itu pekebun maupun korporasi, dan ini adalah solusinya,” ujar Rino.

Laporan: M Erizal (Pekanbaru)
Editor: Erwan Sani

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari