JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Usai dua dekade berlalu, kini sejarah kelam pertumbuhan ekonomi minus kembali terulang. Badan Pusat Statistik (BPS), kemarin (5/8) melaporkan pertumbuhan ekonomi RI kuartal II 2020 tercatat -5,32 persen.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, pertumbuhan ekonomi minus tersebut merupakan yang terendah sejak momen krisis moneter pada medio 1998-1999 silam.
"Pertumbuhan kuartal ini kalau dilacak terendah sejak kuartal I 1999 waktu krisis ekonomi. Saat itu pertumbuhan kontraksi sebesar 6,13 persen," ujarnya di Jakarta, kemarin (5/8).
Sejarah mencatat, krisis ekonomi dua dekade silam membawa pertumbuhan ekonomi RI berada di titik terendah sepanjang sejarah yakni -13,13 persen pada 1998. Masa-masa suram itu mulai terasa sejak krisis moneter 1997. Padahal, pada 1996, ekonomi RI masih mampu tumbuh 7,8 persen, namun setahun berselang ekonomi hanya tumbuh 4,7 persen. Tren pemburukan itu puncaknya terjadi pada 1998 yang membuat ekonomi kala itu terjun bebas ke -13,13 persen. Dilihat dari data yang ada, ekonomi RI mulai bisa berada di kisaran 5 persen pada 2004 lalu. Hingga puncaknya pada 2007, pertumbuhan ekonomi RI pernah ada di level 6,35 persen. Booming harga komoditas yang saat itu menjadi primadona membuat ekonomi domestik melejit.
Namun, usaha perbaikan ekonomi yang terus dilakukan pemerintah dan seluruh pihak harus pupus sejak pandemi Covid-19 muncul. Tak hanya Indonesia, seluruh dunia pun mengalami tekanan akibat badai pandemi. "Kontraksi kita cukup dalam. Kemarin pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2020 sudah tumbuh melambat. Ini dampak pandemi Covid-19 yang luar biasa buruknya," tutur Suhariyanto.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 itu dipicu berbagai kontraksi hampir di seluruh komponen. Mulai dari konsumsi rumah tangga, Pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB) atau indikator investasi, ekspor-impor, hingga konsumsi pemerintah juga seluruhnya mencatat rapor merah.
Adapun sektor transportasi dan pergudangan jatuh paling dalam pada kuartal II 2020. "Moda transportasi yang paling terpukul angkutan udara, kontraksi 80,23 persen, kemudian diikuti angkutan rel 63,75 persen. Kontraksi terjadi pada semua moda transportasi," imbuhnya.(dee/agf/jpg)