Jumat, 22 November 2024
spot_img

Tembus Hongkong, Aktor Laga Willy Dozan: Andy Lau Manggil Saya Guru

JAKARTA (RIAUPOS.CO)  – Indonesia pernah punya aktor yang menembus film laga Mandarin pada era 1970–1980-an. Dialah Willy Dozan. Berkat kemampuan bela dirinya yang mumpuni, aktor kelahiran Magelang, Jawa Tengah, itu dilirik produser film di Hongkong. Setidaknya ada lebih dari lima film laga Mandarin yang menjadikannya sebagai pemeran utama.

Di antaranya, Crystal Fist, Sun Dragon, Shou Zhi Niu Ciu, Kung Fu Beyond the Grave, dan A Fistful of Talons. Kepada Jawa Pos, sutradara sinetron Deru Debu yang tayang pada 1994 itu bercerita perjalanannya membangun karier di industri film yang dimulai dari nol.

HAI Om Willy, dulu ceritanya gimana sih bisa main film laga di Hongkong?

Jadi, pada 1977 proses film saya, Karate Sabuk Hitam dan Petarungan Kera Sakti, itu di Hongkong. Ternyata ada salah satu produser yang menyukai akting saya. Kebetulan juga ada salah satu orang Indonesia yang bekerja di rumah produksi itu, namanya Herman. Nah, dialah yang mencari-cari saya di Jakarta, ngirim surat dan siap memanajeri saya main film di Hongkong.

Masih ingat kapan surat itu Om terima?

Sudah lupa, tapi saya ingat betul surat itu dikirim ke kos-kosan saya di daerah Gajah Mada, Jakarta Pusat. Waktu itu posisinya saya udah pindah dari sana. Nggak tahu kenapa, saya tiba-tiba iseng mau main ke sana sekalian pengin tahu kabar ibu kos. Nah, ibu kos bilang bahwa saya mendapat surat dari Hongkong. Betapa terkejutnya saya bahwa surat itu ternyata sudah sampai tiga bulan lalu. Hahaha.

 

Setelah itu, apa yang Om lakukan?

Ya, saya balas surat itu. Sampai akhirnya kami berkontekan dan saya berangkat ke Hongkong kali pertama pada Maret 1979. Pada saat itu saya cuma bawa tiga baju dan dua celana. Beruntung, di sana saya langsung mendapat peran utama.

Selama syuting di sana, sering ketemu dengan aktor laga ternama seperti Jackie Chan dan Andy Lau?

Oh iya tentu, bahkan hampir setiap hari karena kami syuting di satu lokasi yang sama. Hanya beda studio. Tapi, karena sama-sama sibuk saat itu, jadi cuma say hello.

Baca Juga:  Perlu Uang, Billy Syahputra Jual Mobil ke Iis Dahlia

Jadi kebanggaan tersendiri ya Om bisa bertemu dengan mereka?

Ya itulah perjalanan. Saya ketemu Andy Lau itu waktu dia sebelum terkenal. Awalnya dia sering melihat saya syuting dan akhirnya kenalan. Dan, dia manggil saya guru. Mungkin karena saya punya background bela diri, sedangkan dia kan nggak.

Sekitar 1990-an akhir, Andy Lau datang ke Jakarta. Apa kalian bertemu?

Sayangnya nggak. Tapi, setelah dia datang ke sini, orang EO-nya menemui saya dan bilang bahwa saya dicariin sama Andy Lau. Kami ketika di Hongkong juga nggak saling bertukar kontak, bahkan sampai sekarang. Dia itu memang baik, ramah banget.

 

Di Hongkong, Om Willy punya nama sendiri, yakni Billy Chong. Siapa yang mencetuskan nama tersebut?

Jadi, seorang produser di sana yang bikin nama itu karena berkeberatan dengan nama Willy Dozan. Katanya, agak asing untuk di internasional dan kayak nama orang Filipina.

Dari sekian banyak film Mandarin yang diperankan, momen apa yang paling memorable bagi Om Willy selama syuting di sana?

Waktu garap film A Hard Way to Die atau Sun Dragon karena pemainnya rata-rata juara bela diri semua. Kami syuting di Amerika, Green Canyon, Arizona, Eldorado, Texas, dan Phoenix. Di Phoenix itu kan kaktus tumbuh tinggi-tinggi, pemandangannya indah, tapi banyak ular derik. Pernah saya udah siap fighting, eh ada ular nyamperin, wah pada kabur semua. Akhirnya pindah lokasi sampai empat kali, capek. Sangat terganggu dengan ular derik itu karena bisa mati terkena bisanya. Apalagi, larinya cepat sekali.

Cedera apa saja yang pernah dialami saat berlaga?

Saya pernah pingsan tiga jam ketika syuting A Fistful of Talons. Jadi, waktu itu saya jatuh dari ketinggian 4 meter. Seharusnya aman, tapi saya jatuh tidak pada tempatnya. Terus jidat pernah robek kena sling besi. Nah, kaki kiri saya sekarang rada cacat karena dulu lompat pakai trampolin untuk menendang sebuah pohon. Tapi, lagi-lagi nggak tepat, padahal itu pohon sebetulnya udah digergaji, tinggal ditendang doang. Dan, terkilirlah kaki saya.

Baca Juga:  Orangtua: Berat Ditinggal Hanna Kirana

Apa aja sih perbedaan syuting di Hongkong dan di dalam negeri?

Di sana cerita sejarahnya dibuat mendetail. Properti yang digunakan untuk syuting juga begitu. Misalnya, filmnya bercerita tentang kerajaan 1930, ya beneran bentuk asli dan disesuaikan skenarionya. Kalau di kita kan nggak, rada asal, yang penting hiburan. Kadang aneh, desain rumahnya nggak jelas alias nggak nyambung.

Selain itu apa lagi, Om?

Di sana orang-orangnya sangat profesional. Calling pukul 09.00, itu on time. Waktu saya menyutradarai Deru Debu pada 1994, mau menerapkan metode cara kerja di Hongkong di sini tuh nggak bisa. Calling pukul 09.00, bisa mulai pukul 12.00. Hahaha.

Selama meniti karier, perjuangan ketika di fase apa yang paling memberi Om pelajaran?

Ya waktu saya pindah-pindah kos itu sekitar 1977–1978. Sebab, waktu itu ya nyari yang murah. Pada zaman itu, biaya kos sebulan masih Rp15 ribu. Bahkan, saya pernah diusir karena belum membayar kos waktu ngekos di Mangga Besar, Jakarta Pusat. Hahaha.

Lalu, bagaimana pandangan Om selaku artis laga senior dengan perkembangan film maupun aktor laga sekarang?

Menurut saya, industri film laga di sini agak merosot ya, udah nggak muncul lagi bahkan. Zaman dulu, selain saya, ada Berry Prima, Advent Bangun, dan lainnya. Kemudian dilanjut Joe Taslim dan Iko Uwais. Nah, setelah mereka ini belum kelihatan lagi generasi berikutnya. Dan, itu sangat disayangkan.

Sekarang, Om sudah jarang terlihat di layar kaca. Kenapa?

Ya saya lagi santai-santai saja di rumah karena memang udah nggak mau stripping. Nerima tawaran job yang pendek-pendek aja. Maklum sudah usia segini, jadi nggak bisa yang berat-berat, hehehe.

Sumber: Jawa Pos

Editor: Edwar Yaman

 

 

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO)  – Indonesia pernah punya aktor yang menembus film laga Mandarin pada era 1970–1980-an. Dialah Willy Dozan. Berkat kemampuan bela dirinya yang mumpuni, aktor kelahiran Magelang, Jawa Tengah, itu dilirik produser film di Hongkong. Setidaknya ada lebih dari lima film laga Mandarin yang menjadikannya sebagai pemeran utama.

Di antaranya, Crystal Fist, Sun Dragon, Shou Zhi Niu Ciu, Kung Fu Beyond the Grave, dan A Fistful of Talons. Kepada Jawa Pos, sutradara sinetron Deru Debu yang tayang pada 1994 itu bercerita perjalanannya membangun karier di industri film yang dimulai dari nol.

- Advertisement -

HAI Om Willy, dulu ceritanya gimana sih bisa main film laga di Hongkong?

Jadi, pada 1977 proses film saya, Karate Sabuk Hitam dan Petarungan Kera Sakti, itu di Hongkong. Ternyata ada salah satu produser yang menyukai akting saya. Kebetulan juga ada salah satu orang Indonesia yang bekerja di rumah produksi itu, namanya Herman. Nah, dialah yang mencari-cari saya di Jakarta, ngirim surat dan siap memanajeri saya main film di Hongkong.

- Advertisement -

Masih ingat kapan surat itu Om terima?

Sudah lupa, tapi saya ingat betul surat itu dikirim ke kos-kosan saya di daerah Gajah Mada, Jakarta Pusat. Waktu itu posisinya saya udah pindah dari sana. Nggak tahu kenapa, saya tiba-tiba iseng mau main ke sana sekalian pengin tahu kabar ibu kos. Nah, ibu kos bilang bahwa saya mendapat surat dari Hongkong. Betapa terkejutnya saya bahwa surat itu ternyata sudah sampai tiga bulan lalu. Hahaha.

 

Setelah itu, apa yang Om lakukan?

Ya, saya balas surat itu. Sampai akhirnya kami berkontekan dan saya berangkat ke Hongkong kali pertama pada Maret 1979. Pada saat itu saya cuma bawa tiga baju dan dua celana. Beruntung, di sana saya langsung mendapat peran utama.

Selama syuting di sana, sering ketemu dengan aktor laga ternama seperti Jackie Chan dan Andy Lau?

Oh iya tentu, bahkan hampir setiap hari karena kami syuting di satu lokasi yang sama. Hanya beda studio. Tapi, karena sama-sama sibuk saat itu, jadi cuma say hello.

Baca Juga:  Bawa Penonton Nostalgia ke Masa Lalu

Jadi kebanggaan tersendiri ya Om bisa bertemu dengan mereka?

Ya itulah perjalanan. Saya ketemu Andy Lau itu waktu dia sebelum terkenal. Awalnya dia sering melihat saya syuting dan akhirnya kenalan. Dan, dia manggil saya guru. Mungkin karena saya punya background bela diri, sedangkan dia kan nggak.

Sekitar 1990-an akhir, Andy Lau datang ke Jakarta. Apa kalian bertemu?

Sayangnya nggak. Tapi, setelah dia datang ke sini, orang EO-nya menemui saya dan bilang bahwa saya dicariin sama Andy Lau. Kami ketika di Hongkong juga nggak saling bertukar kontak, bahkan sampai sekarang. Dia itu memang baik, ramah banget.

 

Di Hongkong, Om Willy punya nama sendiri, yakni Billy Chong. Siapa yang mencetuskan nama tersebut?

Jadi, seorang produser di sana yang bikin nama itu karena berkeberatan dengan nama Willy Dozan. Katanya, agak asing untuk di internasional dan kayak nama orang Filipina.

Dari sekian banyak film Mandarin yang diperankan, momen apa yang paling memorable bagi Om Willy selama syuting di sana?

Waktu garap film A Hard Way to Die atau Sun Dragon karena pemainnya rata-rata juara bela diri semua. Kami syuting di Amerika, Green Canyon, Arizona, Eldorado, Texas, dan Phoenix. Di Phoenix itu kan kaktus tumbuh tinggi-tinggi, pemandangannya indah, tapi banyak ular derik. Pernah saya udah siap fighting, eh ada ular nyamperin, wah pada kabur semua. Akhirnya pindah lokasi sampai empat kali, capek. Sangat terganggu dengan ular derik itu karena bisa mati terkena bisanya. Apalagi, larinya cepat sekali.

Cedera apa saja yang pernah dialami saat berlaga?

Saya pernah pingsan tiga jam ketika syuting A Fistful of Talons. Jadi, waktu itu saya jatuh dari ketinggian 4 meter. Seharusnya aman, tapi saya jatuh tidak pada tempatnya. Terus jidat pernah robek kena sling besi. Nah, kaki kiri saya sekarang rada cacat karena dulu lompat pakai trampolin untuk menendang sebuah pohon. Tapi, lagi-lagi nggak tepat, padahal itu pohon sebetulnya udah digergaji, tinggal ditendang doang. Dan, terkilirlah kaki saya.

Baca Juga:  Rooney Mara Akan Perankan Aktris Masa Lalu Holywood, Audrey Hepburn

Apa aja sih perbedaan syuting di Hongkong dan di dalam negeri?

Di sana cerita sejarahnya dibuat mendetail. Properti yang digunakan untuk syuting juga begitu. Misalnya, filmnya bercerita tentang kerajaan 1930, ya beneran bentuk asli dan disesuaikan skenarionya. Kalau di kita kan nggak, rada asal, yang penting hiburan. Kadang aneh, desain rumahnya nggak jelas alias nggak nyambung.

Selain itu apa lagi, Om?

Di sana orang-orangnya sangat profesional. Calling pukul 09.00, itu on time. Waktu saya menyutradarai Deru Debu pada 1994, mau menerapkan metode cara kerja di Hongkong di sini tuh nggak bisa. Calling pukul 09.00, bisa mulai pukul 12.00. Hahaha.

Selama meniti karier, perjuangan ketika di fase apa yang paling memberi Om pelajaran?

Ya waktu saya pindah-pindah kos itu sekitar 1977–1978. Sebab, waktu itu ya nyari yang murah. Pada zaman itu, biaya kos sebulan masih Rp15 ribu. Bahkan, saya pernah diusir karena belum membayar kos waktu ngekos di Mangga Besar, Jakarta Pusat. Hahaha.

Lalu, bagaimana pandangan Om selaku artis laga senior dengan perkembangan film maupun aktor laga sekarang?

Menurut saya, industri film laga di sini agak merosot ya, udah nggak muncul lagi bahkan. Zaman dulu, selain saya, ada Berry Prima, Advent Bangun, dan lainnya. Kemudian dilanjut Joe Taslim dan Iko Uwais. Nah, setelah mereka ini belum kelihatan lagi generasi berikutnya. Dan, itu sangat disayangkan.

Sekarang, Om sudah jarang terlihat di layar kaca. Kenapa?

Ya saya lagi santai-santai saja di rumah karena memang udah nggak mau stripping. Nerima tawaran job yang pendek-pendek aja. Maklum sudah usia segini, jadi nggak bisa yang berat-berat, hehehe.

Sumber: Jawa Pos

Editor: Edwar Yaman

 

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari