Sebenarnya perbedaan menentukan hari bagi saya hal yang biasa-biasa saja. Namun bagi sebagian orang yang mempunyai kepentingan politik tertentu, perbedaan menjadi konsumsi publik untuk membenturkan antar sesama Islam dengan narasi-narasi yang tidak mendidik sama sekali seperti: pemerintah sekarang zalim, antek PKI, penista agama dan sejenisnya. Lalu muncul berikutnya hal-hal yang menjurus kepada politik tidak sehat seperti perlu ada perubahan pemerintah, ganti rezim dan sejenisnya.
Bagi para ulama, perbedaan ijtihad adalah sebuah kemerdekaan intelektual yang sangat dihargai dalam Islam. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa: "Ijtihad benar mendapatkan dua pahala, salah mendapatkan satu pahala."
Contoh kasus puasa. Saat mendung dan tidak terlihat bulan, maka Nabi menyuruh untuk menggenapkan bulan Syakban menjadi 30 hari. Artinya situasi alam yang sedemikian mempunyai kemungkinan bisa juga bulan Syakban sebenarnya 29 hari. Namun karena mendung kemudian 30 hari.
Persoalan yang demikian, Nabi tidak begitu meributkan sama sekali. Namun saat ini justru menjadi persoalan yang terlihat serius sampai menyerempet hal-hal yang bersifat prinsipil yaitu menuduh kualitas tauhid dan keimanan seseorang atau sekelompok umat Islam yang tidak sepaham dengan lainya.
Perbedaan puasa pun akan menimbulkan persoalan baru yaitu menentukan kapan waktu terjadinya malam yang disebut lailatulqadar. Nabi mengatakan: "Carilah lailatulqadar pada malam ganjil dalam sepuluh terakhir di bulan Ramadan."
Tentu ini menjadi persoalan teknis akibat perbedaan hari puasa. Ada yang memulai puasa hari Sabtu dan ada hari Minggu. Ini berakibat pada perbedaan makna kata "ganjil" dalam menentukan malam lailatulqadar.
Paling tidak ada dua dasar untuk menentukan malam lailatulqadar untuk menjawab perbedaan tersebut. Pertama, dengan menggunakan pengertian makna lailatulqadar pada Surah Al-Qadr bahwa malam tersebut adalah malam diturunkan Alquran. Artinya orang yang beramal kebaikan di bulan Ramadan atas dasar syariat, maka kebaikannya melebihi 1.000 bulan sebelum turunya Alquran.
Kedua, hadis Nabi yang berbunyi: "Rasulullah bersungguh-sungguh ibadah apabila masuk malam kesepuluh terakhir yang tidak pernah beliau lakukan pada malam lainya." Artinya Nabi memberi contoh bahwa sepuluh malam secara keseluruhan di akhir Ramadan digunakan untuk benar-benar mendekat kepada Allah SWT.
Dasar ini menjadi terang bahwa siapapun bisa mendapatkan lailatulqadar ketika menjalankan ibadah karena Allah dengan dasar-dasar firman-firman-Nya dan karena benar-benar ibadah atas dasar iman dan mengharap rida Allah SWT. ***