Dari dahulu sampai sekarang suara tabuhan kompang masih terdengar bertalu-talu dalam berbagai helat dan hajat. Sambil bersukaria, begitulah para kaum pria melestarikan budaya.
(RIAUPOS.CO) – KOMPANG. Dulu bernama kompang, sekarang pun bernama kompang. Tak pernah berubah. Cara memainkannya pun masih sama; dipukul atau ditabuh dengan tangan sesuai irama dan caranya.
Kompang ini merupakan sejenis alat musik tradisional yang masuk dalam kumpulan alat musik gendang. Kulit kompang biasanya dibuat dari kulit kambing betina, namun mutakhir ini, kulitnya juga dibuat dari kulit lembu, kerbau, malah getah sintetis (wikipedia).
Di daerah pesisir Riau, kompang sudah tak asing lagi. Bahkan jadi alat musik paling favorit. Dalam berbagai helat seakan tak sah jika tidak ada kompang. Begitulah kuatnya makna atau eksistensi kompang sebagai simbol identitas orang Melayu.
Di Pekanbaru, kompang juga ada. Pemainnya banyak. Ada banyak grup kompang. Mulai dari orang tua pemuda hingga anak-anak. Dari tingkat RW, kelurahan, kecamatan hingga kota. Biasanya, kompang tumbuh subur di daerah ini juga karena ada orang-orang pesisir di sana.
Sangat berbeda dengan Kecamatam Senapelan. Kelurahan Kampung Bandar dan kelurahan lain di kecamatam ini, kompang memang diwariskan turun temurun. Dipelajari secara berganti-ganti, lalu ditampilkan dalam banyak hajatan dan kenduri.
Namanya Kompang Senapelan, yakni sebuah kelompok orang yang tunak bermain dan melestarikan kompang.
Kelompok ini memiliki anggota puluhan orang. Dewasa sekitar 16 orang dan anak-anak 20 orang. Mereka latihan hampir setiap hari. Latihan dipusatkan di komplek Rumah Singgah Tuan Kadi.
Rinaldi yang akrab dipanggil Ibet adalah pemuda setempat yang memimpin keberadaan Kompang Senapelan. Dia dipercaya sebagai ketua. Disebutkan Rinaldi, kompang ini memang hobi. Tapi, lebih dari itu adalah melestarikan kekayaan budaya sendiri.
‘’Saya main kompang karena hobi. Kawan-kawan juga begjtu. Kalau tak hobi, mana mahu. Buat penat aje. Tapi, yang lebih penting dari sekedar hobi adalah, kami main kompang karena melestarikan warisan, menjaga kekayaan budaya Melayu sendiri,’’ katanya.
Untuk menjaga kualitas bermain kompang, Rinaldi dan kawan-kawan bersepakat membuat jadwal latihan rutin. Setiap malam. Dimulai Senin sampai Jumat.
‘’Kenapa latihan setiap malam, anggota khususnya anak-anak sudah mulai ramai. Apalagi setelah istirahat lama karena pandemi dan PPKM. Ada juga yang latihan sore, disesuaikan kebutuhan dan kesempatan kawan-kawan juga. Pokoknya berkompang terus,’’ lanjut Rinaldi.
Dalam latihan, guru yang mengajar adalah mereka yang lebih senior atau pengompang dewasa. Guru inti bernama Zul Hendro dan Ricky Ramandus serta dibantu pengompang lain yang lebih senior. Usia mereka rata-rata di bawah 30 tahun dan paling kecil 10 tahun.