JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia (AII) Prof Didiek Hadjar Goenadi mengakui riset di Indonesia sangat banyak. Tetapi banyak juga yang berhenti sampai publikasi dan tidak berlanjut hingga komersialisasi. Di antara kendalanya soal pendanaan.
Didiek menjelaskan kegiatan riset hingga hilirisasi terdiri dari sembilan tingkat kesiapterapan teknologi. Tingkat satu sampai tujuh dilakukan di laboratorium. Sedangkan tingkat delapan hingga sembilan dilakukan di industri. Selama ini banyak riset yang berhenti sampai di tingkat tujuh.
"Di kalangan peneliti ada namanya sindrom death valley atau lembah kematian," katanya di Jakarta, kemarin (31/10).
Kebanyakan riset berhenti di level tujuh karena peneliti tidak memiliki dana. Dana dari sponsor apakah itu berbasis APBN atau sumber lainnya, umumnya cuma sampai penerbitan paper atau publikasi. Sedangkan untuk komersialisasi perlu peran dunia industri. Peneliti merasa tugas mereka sampai level tujuh saja, karena mereka tidak mempunyai dana atau modal.
Sebaliknya banyak industri yang tidak mau mengambil atau mendanai riset yang masih sampai level tujuh. Sebab belum bisa dikomersilkan. Dunia industri inginnya sebuah riset atau inovasi yang benar-benar sudah siap jual dan mempunyai potensi besar.
Didiek mengatakan AII berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Dia ingin naskah-naskah riset yang sudah sampai level tujuh berlanjut sampai level sembilan atau komersialisasi. Untuk itu mereka berupaya mempertemukan para inventor dengan dunia industri atau investor. Mereka meyakinkan bahwa inovasi tersebut menarik dan memiliki potensi besar jika dipasarkan. Menurutnya ada beberapa poin untuk meyakinkan dunia industri bersedia mengambil sebuah hasil riset untuk dimodali. Di antaranya adalah belum ada teknologi sejenis di pasaran. Artinya riset tersebut harus benar-benar baru dan unik. Sehingga tidak ada produk pesaingnya. Kemudian secara industri, riset tersebut memiliki potensi memberikan keuntungan.
Didiek mengungkapkan ada kalanya seorang inventor atau peneliti sampai membuat perusahaan sendiri. Tujuannya untuk mengakomodasi risetnya supaya bisa sampai tahap komersial. Tetapi dia menegaskan tidak semua peneliti memiliki kemampuan dan kemauan membuat perusahaan sendiri.(wan/jpg)
JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia (AII) Prof Didiek Hadjar Goenadi mengakui riset di Indonesia sangat banyak. Tetapi banyak juga yang berhenti sampai publikasi dan tidak berlanjut hingga komersialisasi. Di antara kendalanya soal pendanaan.
Didiek menjelaskan kegiatan riset hingga hilirisasi terdiri dari sembilan tingkat kesiapterapan teknologi. Tingkat satu sampai tujuh dilakukan di laboratorium. Sedangkan tingkat delapan hingga sembilan dilakukan di industri. Selama ini banyak riset yang berhenti sampai di tingkat tujuh.
- Advertisement -
"Di kalangan peneliti ada namanya sindrom death valley atau lembah kematian," katanya di Jakarta, kemarin (31/10).
Kebanyakan riset berhenti di level tujuh karena peneliti tidak memiliki dana. Dana dari sponsor apakah itu berbasis APBN atau sumber lainnya, umumnya cuma sampai penerbitan paper atau publikasi. Sedangkan untuk komersialisasi perlu peran dunia industri. Peneliti merasa tugas mereka sampai level tujuh saja, karena mereka tidak mempunyai dana atau modal.
- Advertisement -
Sebaliknya banyak industri yang tidak mau mengambil atau mendanai riset yang masih sampai level tujuh. Sebab belum bisa dikomersilkan. Dunia industri inginnya sebuah riset atau inovasi yang benar-benar sudah siap jual dan mempunyai potensi besar.
Didiek mengatakan AII berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Dia ingin naskah-naskah riset yang sudah sampai level tujuh berlanjut sampai level sembilan atau komersialisasi. Untuk itu mereka berupaya mempertemukan para inventor dengan dunia industri atau investor. Mereka meyakinkan bahwa inovasi tersebut menarik dan memiliki potensi besar jika dipasarkan. Menurutnya ada beberapa poin untuk meyakinkan dunia industri bersedia mengambil sebuah hasil riset untuk dimodali. Di antaranya adalah belum ada teknologi sejenis di pasaran. Artinya riset tersebut harus benar-benar baru dan unik. Sehingga tidak ada produk pesaingnya. Kemudian secara industri, riset tersebut memiliki potensi memberikan keuntungan.
Didiek mengungkapkan ada kalanya seorang inventor atau peneliti sampai membuat perusahaan sendiri. Tujuannya untuk mengakomodasi risetnya supaya bisa sampai tahap komersial. Tetapi dia menegaskan tidak semua peneliti memiliki kemampuan dan kemauan membuat perusahaan sendiri.(wan/jpg)