(RIAUPOS.CO) — BILA Ramadan datang, kegiatan-kegiatan menuntut ilmu sangat banyak dan semarak. Televisi penuh dengan pengajian-pengajian yang menampilkan ustaz-ustazah yang mumpuni mulai sebelum sahur sampai waktu berbuka. Masjid dan musala mengisi pengajian-pengajian seperti “kulim” (kuliah lima menit). Setelah Salat Subuh, dan santapan rohani setelah Salat Isya sebelum tarawih.
Instansi pemerintah dan swasta menambah suasana menuntut ilmu dengan pengajian-pengajian setelah Salat Zuhur berjamaah. Bulan Ramadan adalah bulan yang memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menambah pengetahuan sebanyak-banyaknya dari banyak ulama dan ustaz.
Tentu saja, setiap orang yang menuntut ilmu, Allah memberi balasan pahala sama. Bahkan lebih dari pahala orang yang berjihad di medan perang, sebagaimana ungkapan yang terkenal “tetesan tinta ilmuwan lebih berharga daripada tetesan darah pahlawan”. Atau ungkapan “siapa yang berjalan menuju tempat menuntut ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga’’. Hanya saja penuntut ilmu yang Allah mudahkan jalan menuju surga mesti memenuhi sepuluh indikator.
Pertama, mengikhlaskan niat hanya karena Allah. Dalam menuntut ilmu niatnya adalah wajah Allah dan akhirat. Dari Umar bin Dzar bahwasanya ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku! Mengapa orang-orang menangis apabila ayah menasihati mereka, sedang mereka tidak menangis apabila orang lain yang menasihati mereka?” Ayahnya menjawab, ”Wahai putraku! Tidak sama ratapan seorang ibu yang ditinggal mati anaknya dengan ratapan wanita yang dibayar (untuk meratap).
Kedua, memberantas kebodohan dirinya dan orang lain. Pada dasarnya manusia itu jahil (bodoh), sebagaimana firman Allah yang artinya: ”Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa pun..”. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ilmu itu tiada bandingannya bagi orang yang niatnya benar.” Mereka bertanya, ”Bagaimanakah hal itu?” Beliau menjawab, “Berniat memberantas kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.”
Ketiga, membela syariat. Orang yang membela syariat adalah para pengemban syariat. Di samping itu, bid’ah juga selalu muncul silih berganti yang ada kalanya belum pernah terjadi pada zaman dahulu dan tidak ada dalam kitab-kitab sehingga tidak mungkin membela syariat kecuali para penuntut ilmu. Kitab-kitab yang ada seringkali memperlihatkan perbedaan di dalamnya. Kadang kala seorang muslim tidak tahu apa yang harus ia ambil dan apa yang harus ia tinggalkan. Di sinilah letaknya urgensi menuntut ilmu.
Keempat, berlapang dada dalam masalah khilafiyah. Penuntut ilmu mesti berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad. Permasalahan yang memungkinkan seseorang berpendapat dan terbuka kemungkinan untuk berbeda.
Kelima, mengamalkan ilmu. Mengamalkan ilmu merupakan hasil dan buah dari ilmu itu. Pengemban ilmu itu seperti pembawa senjata. Dapat berguna dan dapat pula mencelakakan. Dapat membela apabila diamalkan dan dapat mencelakakan apabila tidak diamalkan. Keutamaan ilmu adalah diamalkan dan diajarkan dan berkurang apabila tidak diamalkan dan diajarkan serta yang merusaknya adalah al-kitman, menyembunyikan ilmu.
Kedelapan, sabar dalam menuntut ilmu. Tidak terputus di tengah jalan dan tidak pula bosan, bahkan terus-menerus menuntut ilmu semampunya. Kisah tentang kesabaran dalam menuntut ilmu sangatlah banyak, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau ditanya oleh seseorang: “Dengan apa anda bisa mendapatkan ilmu?” Beliau menjawab, “Dengan lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu memahami serta badan yang tidak pernah bosan.” Siapa mengetahui keutamaan ilmu dan merasakan kelezatannya pastilah dia selalu ingin menambah dan mengupayakannya, ia selalu lapar (ilmu) dan tidak pernah kenyang sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Ada dua kelompok manusia yang selalu lapar dan tidak pernah kenyang: orang yang lapar ilmu tidak pernah kenyang dan orang yang lapar dunia tidak pernah kenyang pula.”
Kesembilan, menghormati dan menghargai ulama. Menghargai para ulama dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka serta memberi udzur (alasan) kepada para ulama yang menurut keyakinan mereka telah berbuat kesalahan. Ini adalah masalah yang sangat penting, karena sebagian orang sengaja mencari-cari kesalahan ulama untuk menjatuhkan mereka di mata masyarakat. Jangan sekali-kali memancing kemarahannya dengan “perang urat syaraf”, yaitu menguji kemampuan ilmu dan kesabarannya.
Kesepuluh, At-Tatsabbut dan Ats-Tsabat. Salah satu yang terpenting adalah at-tatsabbut, yaitu berhati-hati dalam menukil berita dan ketika berbicara. Adapun ats-tsabat adalah sabar dan tabah untuk tidak bosan dan marah, dan agar tidak mengambil ilmu hanya secuil-secuil saja lalu ia tinggalkan, karena hal ini berdampak negatif dan menyia-nyiakan waktu tanpa faedah.***