Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) adalah hutan hujan tropis yang menjadi surga bagi satwa dan tumbuhan yang hidup ratusan tahun di dalamnya. Meski masih terawat baik hingga kini, namun ancaman perambah dan pemburu liar selalu datang. Perlu upaya yang lebih sistematis dan sungguh-sungguh untuk melindunginya.
Laporan: Hary B Koriun (Batang Gangsal, Inhu)
MATAHARI sudah agak condong ke barat saat ban kendaraan mobil dobel gardan yang kami tumpangi mulai memasuki jalan tanah penuh lubang dan kadang berlumpur, dengan kontur jalan naik-turun, pada Jumat, 6 Agustus 2021. Panas terik masih terasa menyengat karena kami –saya, Zulmiron, dan Herlina— duduk di bak terbuka. Goncangan kuat sangat terasa bila ban mobil masuk ke ceruk jalan tanah yang kadang terlihat berlubang bekas aliran air saat hujan.
“Kita harus melewati jalan ini sepanjang 8 kilometer lebih sampai Camp Granit,” kata Zulmiron yang beberapa hari sebelumnya sudah datang ke lokasi ini sebagai anggota tim survei lokasi.
Camp Granit yang dimaksud Zulmiron adalah Pusat Pendidikan dan Pelatihan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPPLHK) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Camp Granit berada di Desa Talang Lakat Kecamatan Batang Gangsal, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Disebut Camp Granit, karena sebelum menjadi taman nasional, kawasan ini adalah lokasi eksplorasi batu granit oleh sebuah perusahaan yang mendapatkan izin tambang di sana.
Perjalanan sepanjang 8 kilometer ini –meskipun harus menahan panas karena kuatnya goncangan— cukup mengobati rasa lelah setelah sebelumnya harus berada dalam bus selama 6 jam dari Pekanbaru-Pematang Reba-Batang Gangsal. Berada di alam terbuka, melewati deretan pohon sawit dan kemudian mulai masuk ke kawasan hutan tropis sebelum sampai di Camp Granit, menyegarkan mata dan juga paru-paru. Maklumlah, selama pandemi corona, kita hidup dalam tekanan batin karena selalu was-was penyakit mematikan itu akan menjangkit.
Jika dalam kondisi jalan yang baik, mungkin perjalanan ini hanya memakan waktu 8-10 menit. Tetapi karena jalan tanah yang turun-naik ini, perjalanan hampir memakan waktu sekitar 30 menit. Saat sampai di Camp Granit, pemandangan hutan hujan tropis yang menghijau membentang di segala penjuru mata angin.
Saat turun dari mobil, minuman segar berupa teh dan air nira dingin sudah menanti. Bakwan dan pisang goreng, juga tapai singkong, siap dilahap. Kepala Balai TNBT, Fifin Arfiana Jogasara SHut MSi, bersama beberapa stafnya, menyambut kedatangan rombongan yang berjumlah lebih 50 orang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau. Ia mempersilahkan rombongan mencicipi minuman dan kudapan. Para peserta tidak hanya mencicipi, tanpa malu-malu, langsung menghabiskan hidangan.
“Nggak apa-apa, silakan dihabiskan, nanti air niranya ditambah. Ini hasil produksi dari masyarakat di sekitar TNBT,” jelasnya dengan senyum penuh keramahan.
***
MALAMNYA, acara ramah-tamah dilakukan di halaman Camp Granit tak jauh dari tubir lembah. Semua peserta ekspedisi duduk di tikar dan karpet yang dibentangkan di depan tenda-tenda yang sudah didirikan. Fifin terlihat berada di depan bersama Ketua PWI Riau H Zulmansyah Sekedang, Ketua Dewan Penasehat PWI Riau H Helmi Burman, dan beberapa orang lainnya.
Suasana alam terbuka di malam hari memang berbeda dengan siang hari. Angin semilir membawa embun terasa menyejukkan kulit. Beberapa kali mesin generator listrik mati. Yang terlihat kemudian adalah suasana alami malam dengan taburan jutaan bintang di langit. Hal yang jarang dilihat saat berada di kota.
Dengan suara halus dan terdengar merdu, Fifin menjelaskan secara umum tentang Balai TNBT yang hampir setahun ini dipimpinnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada PWI Riau yang melakukan kegiatan Ekspedisi ke TNBT dan Tesso Nilo. Menurutnya, banyak masyarakat yang selama ini tak tahu akan pentingnya keberadaan taman nasional, termasuk TNBT, yang merupakan penghasil oksigen bersih.
“Saya berharap, dengan bantuan teman-teman wartawan dari PWI Riau, keberadaan TNBT dan taman nasional lainnya dipahami masyarakat sehingga akan muncul kesadaran dan kecintaan untuk melestarikan hutan dan pohon di sekitar kita,” jelas perempuan asal Malang, Jawa Timur, ini.
Dipaparkan Fifin –data ini juga dirangkum dari berbagai sumber, termasuk rimbakita.com— TNBT adalah kawasan perlindungan bagi flora dan fauna yang berada di antara perbatasan Provinsi Riau (Kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir) dan Provinsi Jambi (Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tebo) . Adapun luas dari taman nasional yang meliputi empat kabupaten di dua provinsi ini seluas 144.223 hektare.
Hutan primer dan skunder seluas 134.306,74 hektare (91,12%), sedangkan opera area (semak belukar, pertanian lahan kering, karet tua, dan pemukiman tradisional) seluas 9.916,26 hektare atau 6,88%.
Namun, laporan terkini menyatakan luasnya terus berkurang karena kegiatan manusia, seperti penebangan liar dan alih fungsi hutan menjadi perkebunan.
TNBT tergolong ke dalam satu dari sekian kawasan yang mempunyai kenaekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis flora dan fauna tumbuh dan hidup membentuk habitat di sini. Mulai dari spesies endemik pulau Sumatera, spesies yang cukup sering dijumpai, hingga spesies langka yang terancam punah.
Pada tahun 1982 berdasarkan rencana konservasi, ekosistem di Bukit Tiga Puluh diusulkan untuk menjadi Suaka Margasatwa Bukit Besar seluas 200.000 ha dan Cagar Alam Seberida seluas 120.000 ha. Masih pada tahun yang sama, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) menetapkan kawasan ini sebagai Hutan Lindung dengan luas 70.250 ha di Riau dan Jambi.
Selanjutnya pada tahun 1988 Departemen Transmigrasi berdasarkan instrumen perencanaan dari Regional Planning Program for Transmigration melakukan klasifikasi ekosistem yang ada di Bukit Tiga Puluh untuk menjadi kawasan lindung seluas 250.000 ha.
Pengusulan sebagai taman nasional dilakukan setelah tim dari Norwegia dan Indonesia mengadakan riset di kawasan ini pada rentang tahun 1991 hingga 1992. Selanjutnya pada 1994 melalui Surat Menteri Kehutanan No.1289/Menhut-IV/1994 yang diajukan kepada Bank Dunia tentang pengesahan kawasan Bukit Tiga Puluh menjadi taman nasional.
Kawasan ini resmi ditunjuk menjadi taman nasional pada tahun 1995 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 539/Kpts-II/1995 tentang perubahan fungsi Hutan Lindung Haposipin seluas 127.698 ha, Hutan Lindung Sengkati Batanghari Jambi seluas 33.000 ha, dan Hutan Produksi Terbatas seluas 94.698 ha menjadi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh.
Tahun 2002 status sebagai taman nasional semakin diperkuat dengan keluarnya Ketetapan Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6407/Kpts-II/2002 pada tanggal 21 Juni 2002 tentang luas “temu gelang” sebesar 144.223 ha.
***
MENGELOLA taman nasional seperti TNBT ini bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Itu dirasakan oleh Fifin Arfiana dan seluruh timnya. Karena batas wilayahnya tak berpatok atau berpagar, ancaman terhadap kelestariannya juga terus terjadi. Kondisi ini mau tak mau membuat luasan TNBT tergerus dan mengalami pengurangan. Ini terjadi karena adanya perluasan kegiatan masyarakat yang membuka kebun sawit dan lainnya. Hal itu dilakukan masyarakat per individu maupun korporasi di sekitar areal taman nasional.
“Kami melakukan berbagai upaya secara persuasif agar masyarakat tak masuk ke kawasan TNBT,” jelas Fifin.
Ancaman lain yang muncul adalah kegiatan illegal logging dan peladang berpindah. Dua kegiatan ini memang tidak mengurangi luasan kawasan, tetapi sangat merusak karena melakukan penebangan terhadap hutan. Dengan luasnya taman nasional, TNBT terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah masing-masing, baik provinsi maupun kabupaten, untuk ikut membantu meminimalisir kegiatan masyarakat tersebut. Meskipun hasilnya kurang memuaskan, kata Fifin, tapi lumayan cukup mengurangi kegiatan ilegal tersebut.
“Kebutuhan areal lahan dan kayu untuk pembangunan membuat kegiatan ilegal di TNBT berpotensi terus terjadi,” ungkap Fifin lagi.
Hal lain yang juga terus menjadi ancaman adalah perburuan satwa liar dan dilindungi. Meski intensitas dan jumlah para pemburu itu terus berkurang, namun ancaman ini tetap ada dan pihak TNBT tetap waspada menghadapi masalah ini. Beberapa satwa yang menjadi perburuan antara lain harimau sumatra, macan dahan, macan akar, hingga gajah. Perdangan pasar gelap dunia untuk kulit harimau dan gading gajah memungkinkan para pemburu terus melakukan kegiatannya.
Dijelaskan Fifin lagi, ancaman terhadap TNBT itu terus muncul karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Antara lain tekanan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang cukup tinggi; TNBT dikesankan lebih luas dari lahan budidaya dan presepsi lahan produktif bukan sebagai penyangga kehidupan; masyarakat di dalam kawasan dan di sekitar TNBT yang masih tergolong miskin; dan masyarakat belum merasakan manfaat langsung potensi sumber daya alam TNBT.
***
TNBT adalah salah satu anugerah. Dia kaya akan keanekaragaman hayati. Juga salah satu “pabrik” penghasil oksigen (O2) yang membantu dunia memperbaiki kualitas udaranya. Di tengah hancurnya banyak hutan tropis di Indonesia, atau di negara lain, TNBT masih menjadi paru-paru dunia sebagai hutan hujan tropis dengan vegetasi yang lumayan padat dan alami.