Yang satu ini bukan hobi biasa, alias hobi ekstrem. Bukan panjat biasa, tapi panjat tebing; dinding alam yang terjal dengan lembah yang curam. Maka, si pemanjat sering dijuluki manusia lembah.
(RIAUPOS.CO) – JANGANKAN panjat tebing (rock climbing), panjat dinding buatan (wall calimbing) saja rasanya sudah entah bagaimana. Perlu keberanian, kekuatan mental dan fisik yang lebih. Lengan harus kuat, jari-jari harus kuat, paha dan betis harus siap sakit. Memahami teknik dan peralatan. Menguasai pijakan demi pijakan. Dan yang pasti, harus yakin dan percaya dengan teman seperjuangan.
Memijakkan kaki pada point-point tebing buatan berupa dinding atau yang dikenal dengan wall climbing saja, seluruh badan rasanya sudah menggigil. Padahal tidak setinggi tebing, tidak ada batu-batu terjal atau jurang di bawahnya. Tapi jantung berdegup bukan main kencang. Pangkal lengan seperti bengkak. Paha dan betis seolah kejang. Belum lagi ujung-ujung jari yang terasa keram karena memegang kuat setiap point yang ada. Tidak bisa sekali, tapi harus dilakukan berulang dan sering agar bisa sampai ke puncak. Nah, bagaimana jika memanjat tebing sungguhan?
Awalnya, panjat tebing atau rock climbing yang sekarang menjadi salah satu olahraga ekstrem ini, merupakan salah satu bagian dari kegiatan mendaki alias mountaineering. Saat mendaki gunung, pendaki selalu bertemu dengan tebing-tebing curam. Di sinilah diperlukan kecakapan, kemampuan dalam menganalisa, memiliki mental baja, serta ketahanan fisik yang besar.
Dulu, panjat tebing tidak memiliki aturan apapun. Tidak ada komunitas apapun. Semua dilakukan sendiri, begitu saja, atau paling tidak dengan teman sependakian. Saling tolong, saling dukung dan saling bantu. Semakin hari, panjat tebing semakin dikenal dan digemari. Maka muncullah peraturan, bahkan komunitas tempat para pemanjat tebing ini berkumpul dan berbagi pengalaman.
Ketua Federasi Pemanjat Tebing Indonesia (FPTI) Riau, Bambang Zamri, banyak bercerita tentang panjat tebing. Sebelum memanjat tebing di alam bebas (rock climbing), biasanya pemanjat (climber) latihan terlebih dahulu di wall climbing. Di Pekanbaru, ada beberapa lokasi wall climbing. Di antaraya di Kampus Unri, Jalan HR Soebrantas atau depan Toko Outdoor Simpang Tabek Gadang, di depan Kantor Dinas Pariwisata Riau Jalan Sudirman, Kampus UIR Marpoyan dan beberapa lainnya.
Bersama Mapala Sakai Unri, Riau Pos mencoba wall climbing yang ada di depan sekretariat mereka. Tingginya hanya sekitar 6 meter dengan kemiringan yang cukup biasa. Jalur pendek. Point-point-nya juga jelas. Cocok untuk pemula. Tapi, untuk mencobanya tetap harus memahami teknik pemanjatan. Bahkan cara memegang point yang benar juga harus dipelajari terlebih dulu.
Karena berbicara panjat tebing dan sejenisnya ini sangat luas, maka pembahasan kali ini hanya dibatasi pada rock climbing saja atau panjat tebing di alam bebas. Rock climbing terdiri dari dua kata yaitu rock dan climbing. Rock berarti batuan dan climbing berarti pemanjatan. Jadi rock climbing yaitu teknik memanjat tebing batu dengan memanfaatkan cacat batuan, baik tonjolan maupun rekahan yang mempunyai kemiringan tebing lebih dari 70 derajat.
Karena bermula dari sebuah hobi, maka panjat tebing juga bukan hanya olahraga layaknya cabang olahraga yang lain, tapi disebut dengan seni olahraga. Karena, dilakukan dengan mengandalkan kelenturan dan kekuatan otot, serta kecerdikan dan keterampilan, baik menggunakan peralatan maupun tidak. Ada seni mengakali dan menyiasati tebing dengan memanfaatkan cacat batuan sehingga pemanjat mencapai puncak tertinggi.
Dalam panjat tebing, banyak hal yang harus diperhatikan. Mulai dari etika sebagai seorang pemanjat, teknik dan sistem pemanjatan, memahami medan hingga menguasai bagaimana cara menggunakan peralatan yang digunakan. Kerja tim juga sangat penting. Karena dalam panjat tebing, tidak bisa dilakukan sendiri alias kerja kolaborasi. Ada pemanjat alias climber dan ada pengaman pemanjat alias belayer. Dulu, belayer ini memang orang, tapi seiring perkembangan, belayer sudah ada dalam bentuk peralatan.
Peraturan dalam memanjat tebing semakin jelas, apalagi ketika panjat tebing sudah menjadi salah satu cabang olahraga. Dulu tidak ada aturan tertulis, sekarang sudah ada. Aturan ini dibuat agar pertandingan yang dilaksanakan berjalan secara fair. Aturan yang dibuat juga selalu disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Maka lahirlah kode etik panjat tebing yang merupakan adaptasi dari kata peraturan.
Kode etik ini sama dengan kode etik yang sering digembar-gemborkan para pencinta alam pada umumnya, yakni, dilarang mengambil sesuatu kecuali gambar, dilarang meninggalkan sesuatu kecuali jejak dan dilarang membunuh sesuatu kecuali waktu. Meski demikian, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam etika panjat tebing. Di antaranya, menghormati adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat, menjaga kelestarian alam, merintis jalur baru, memanjat jalur bernama, pemberian nama jalur, dan memberi keamanan bagi pemanjat lain.
Proses Pemanjatan
Dalam proses panjat tebing, pemanjat benar-benar harus memahami tebing yang dipanjatnya sendiri. Dengan kata lain, menguasai medan tempur. Di antaranya mengenali permukaan tebing yang berbentuk datar (face), bentuk sisi miring pada tebing (hang), relief tebing yang berbentuk seperti teras terbalik (roof), dan puncak tebing (top).(das)
Kata Bambang Zamri lagi, pemanjat tebing juga harus memiliki motto dan semangat yang kuat pada tubuhnya sendiri. Misal, memperkuat pikiran atau otak, bahwa seorang pemanjat membutuhkan keterampilan khusus dalam penguasan. Peralatan bahwa panjat tebing perlu teknik-teknik pemanjatan dan peralatan. Otot, bahwa seorang pemanjat membutuhkan kekuatan khusus dalam pemanjatan sehingga diperlukan latihan fisik, beban dan senam kebugaran panjat tebing. Dan hoki alias keberuntungan, bahwa tujuan akhir dalam pemanjatan adalah keselamatan.
Hal berikutnya yang harus dikuasai seorang pemanjat tebing adalah teknik memanjat. Ini sangat menentukan keberhasilan dan keselamatan pemanjat itu sendiri. Ada dua teknik memanjat untuk sampai ke puncak tebing, yaitu dengan menggunakan alat dan tidak menggunakan alat. Saat menggunakan alat, jika terjadi sesuatu, pemanjatan masih bisa dilanjutkan dan alat ini sebagai pengaman. Tapi jika menggunakan alat, maka jika jatuh, habislah sudah.
Teknik memanjat tebing dengan menggunakan alat ini disebut dengan free climbing. Meski alat pengaman yang paling baik adalah diri sendiri, maka alat sangat membantu untuk bisa selamat. Tapi, kata Bambang, tetap diperlukan keterampilan dalam menggunakannya, mengikuti prosedur yang benar dan mengikuti latihan. Pada free climbing, peralatan berfungsi hanya sebagai pengaman bila jatuh. Dalam pelaksanaannya ia bergerak sambil memasang, jadi walaupun tanpa alat-alat tersebut ia masih mampu bergerak atau melanjutkan pendakian. Dalam pendakian tipe ini seorang pendaki diamankan oleh belayer, biasanya digunakan pada lomba memanjat.
Teknik kedua disebut free soloing, alias main tunggal tanpa alat. Teknik ini merupakan bagian dari free climbing, tetapi pendaki benar-benar melakukan dengan segala risiko yang siap dihadapinya sendiri. Dalam pergerakannya ia tidak memerlukan peralatan pengaman. Ia harus benar-benar mengetahui segala bentuk rintangan atau pergerakan pada rute yang dilalui. Bahkan kadang-kadang ia harus menghapalkan dahulu segala gerakan, baik itu tumpuan ataupun pegangan, sehingga biasanya orang akan melakukan free soloing climbing bila ia sudah pernah mendaki pada lintasan yang sama. Risiko yang dihadapi pendaki tipe ini sangat fatal sekali, sehingga hanya orang yang mampu dan benar-benar profesional yang akan melakukannya.
‘’Panjat tebing ini olahraga ekstrim. Climber harus benar-benar memiliki nyali, tenaga, kemauan dan menguasai teknik di lapangan. Dan yang penting yakin aman saat berada di ketinggian,’’ ujar Bambang.(das)
Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru