SINGAPURA (RIAUPOS.CO) – Perbatasan Malaysia-Singapura mulai dibuka. Namun, akses yang diberikan masih terbatas. Jika ada kebutuhan mendesak seperti keluarga yang meninggal ataupun sakit keras, diperbolehkan melintas. Kesepakatan itu tercapai dalam kunjungan Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein ke Singapura.
"Perjanjian ini memberikan kerangka kerja untuk memfasilitasi perjalanan kedua negara dengan belas kasih dan situasi darurat," bunyi pernyataan bersama Hishammuddin dan Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan seperti dikutip Channel News Asia.
Malaysia-Singapura memang sudah berencana membuka perbatasannya secara berkala dengan mempertimbangkan faktor keamanan akibat pandemi Covid-19. Itu ibarat langkah awal.
Detail terkait prosedur dan persyaratan untuk orang yang melintas akan dirilis otoritas masing-masing negara. Yaitu, Departemen Imigrasi Malaysia dan Otoritas Pemeriksaan dan Imigrasi Singapura. Mereka akan mengatur jenis tes yang diperlukan serta skema karantinanya.
Balakrishnan menjelaskan bahwa kebijakan itu diperlukan karena ikatan kekerabatan yang luas antara Malaysia dan Singapura. Banyak penduduk Singapura yang memiliki kerabat dekat di Malaysia, demikian juga sebaliknya. Ketika salah satu sakit atau tiada, kerabat dekat itu tentu ingin datang dan meringankan beban.
Singapura berhati-hati dengan tidak membuka perbatasannya sepenuhnya. Pandemi Covid-19 di negara mereka sudah terkendali, tapi tidak demikian di Malaysia. Malaysia masih memberlakukan status darurat hingga 1 Agustus mendatang.
Pada Ahad (2/5), pemerintah Malaysia juga mengungkapkan bahwa virus SARS-CoV-2 yang sudah bermutasi, B.1.617, terdeteksi di negara tersebut. Pembawanya adalah warga negara India yang tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Namun, tidak diungkap kapan orang tersebut masuk Malaysia.
Sementara itu, Australia tengah disorot. Negara yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Scott Morrison itu dituding tidak adil. Penyebabnya adalah aturan yang ditetapkan pemerintah mulai Senin (3/5). Warga Australia dan ekspatriat yang berada di India selama 14 hari terakhir dilarang pulang.
Jika nekat kembali, mereka bisa didenda 66.600 dolar Australia (Rp742,7 juta) atau penjara 5 tahun atau kedua sanksi sekaligus. "Kita seharusnya membantu warga Australia di India untuk pulang, bukan memenjarakan mereka," ujar senator Matt Canavan seperti dikutip CNN.
Ada sekitar 9 ribu warga Australia di India yang mendaftarkan diri untuk pulang. Canavan meminta pemerintah memperbaiki sistem karantinanya, bukannya melarang penduduk pulang. Sejatinya mulai Selasa (27/4) pemerintah Australia sudah melarang penerbangan langsung dari India masuk.
Dua pemain kriket asal Australia menyiasati kebijakan tersebut. Dari India, mereka terbang dulu ke Doha, Qatar, baru melanjutkan perjalanan ke Melbourne. Setelah tahu ada celah, kebijakan baru yang superketat itu muncul.
Kolumnis Andrew Bolt menyebut kebijakan pemerintah berbau rasisme. Menurut dia, keputusan itu didorong rasa takut, kebodohan, dan ketidakmampuan. Dia yakin kebijakan serupa tidak akan diberlakukan pada warga Australia berkulit putih yang melarikan diri dari pandemi di Inggris, misalnya. Sebelumnya, Komisi Hak Asasi Manusia Australia menegaskan bahwa itu adalah pelanggaran serius dan meminta senat untuk mempertimbangkan ulang.
"Keputusan itu diambil demi kepentingan kesehatan terbaik warga Australia," kata Morrison kemarin. Dia menegaskan bahwa kebijakan itu diterapkan dengan bertanggung jawab untuk mengurangi tekanan pada sistem karantina di hotel.
Australia termasuk negara yang mampu mengendalikan pandemi Covid-19. Bahkan, karena angka penularannya minim, Selandia Baru mau memberlakukan travel bubble dengan negara tersebut bulan lalu. Australia biasanya langsung melakukan lockdown lokal jika ada peningkatan kasus sedikit saja.(sha/c7/bay/jpg)