YANG ia akui: ia kecanduan seks. Maka polisi memberi keterangan: tidak ada latar belakang rasialis. Ia bernama Robert Aaron Long. Umur 21 tahun. Pakai kacamata tebal. Sore itu, empat hari lalu, Robert Long membeli senjata. Resmi. Di toko senjata tidak jauh dari rumah orang tuanya. Dengan senjata itu Robert Long mendatangi tiga panti pijat dan spa. Tiga-tiganya milik orang keturunan Asia. Delapan orang meninggal dunia –akibat senjata barunya.
Yang pertama ia datangi adalah panti pijat Young’s Asian Massage. Letaknya hanya 15 km dari rumahnya. Yakni di pinggiran utara kota besar Atlanta, negara bagian Georgia. Matahari belum sepenuhnya bertemu senja. Robert Long memasuki panti pijat itu. Dor… Dor… Dor… Dua orang meninggal di tempat. Di ruang pijat. Tiga lainnya dilarikan ke rumah sakit –dua meninggal di perjalanan. Satu orang lagi luka parah –menjalani operasi.
Robert Long bergegas mengendarai mobil SUV-nya. Ke arah selatan. Senjatanya ia taruh di dalam mobil. Belum lagi masuk kota besar Atlanta ia keluar dari jalan bebas hambatan. Di di dekat exit itu ada beberapa rumah makan, toko, dan spa.
Ia kenal baik lokasi itu. Ada dua panti pijat di situ. Letak keduanya nyaris berhadap-hadapan. Hanya berseberangan jalan. Satu bernama Aromatherapy Spa. Satunya lagi bernama Gold Spa. Sebenarnya ada spa lain di lokasi itu tapi tidak menarik perhatian Long.
Sampai di lokasi ini hari sudah mulai gelap. Ia datangi Gold Spa. Sepi. Ia tembakan senjatanya ke kamar pijat yang ada isinya. Lalu ia menyeberangi jalan dua arah itu. Ke Aromatherapy Spa. Ia tembakkan lagi senjatanya. Empat orang meninggal dunia di tempat. Robert Long lantas memacu mobilnya masuk Highway 75. Ke arah selatan. Ke arah negara bagian Florida.
Ketika perjalanan Long mencapai sekitar 300 km –sudah sejauh Jakarta-Tegal– polisi menghadangnya. Masih 200 km lagi untuk bisa sampai ke negara bagian Florida. Robert Long tidak melawan. Senjata ditemukan di dalam mobil. Long dibawa balik ke kantor polisi dekat Young’s Asian Spa –yang berarti juga tidak jauh dari rumahnya. Rumahnya? Bukan. Itu rumah orang tuanya. Sudah setahun ia tidak lagi tinggal bersama orang tuanya.
Malam itu ayah Robert Long melihat berita serangkaian penembakan itu. Di TV dan di internet. Sang ayah menelepon polisi. “Mungkin pelakunya itu anak saya,” kata sang ayah. Keterangan polisi seperti itu menghiasi semua media di sana –yang jadi sumber tulisan saya ini. Polisi pun mendatangi rumah ayah Long. Dari situ semua identitas pelaku penembakan diketahui. Termasuk jenis mobilnya.
Maka pengejaran dilakukan. Empat jam kemudian Robert Long ditemukan lagi di Highway 75. Ia sedang melaju menuju arah Florida. Penembakan ini langsung jadi berita besar. Semua berita langsung mengarah ke kebencian ras. Enam dari 8 orang yang mati itu adalah keturunan Asia –empat keturunan Korea dan dua keturunan Tionghoa. Dua lainnya konsumen spa berkulit putih.
Tuduhan rasialis itu bukan tanpa dasar. Belakangan ini begitu banyak kejadian kekerasan yang menimpa orang keturunan Asia di Amerika. Khususnya keturunan Tionghoa. Kekerasan jenis itu seperti menjadi trend baru. Terutama sejak Presiden Donald Trump berkuasa. Lebih-lebih sejak munculnya Covid-19. Trump selalu menyebut Covid-19 sebagai Virus Cina.
Akibatnya kebencian kepada keturunan Tionghoa meningkat. Itu terlihat dari tagar di medsos. Setiap Trump mengucapkan Cina Virus, disambut ribuan tagar yang mengarah ke anti-Tiongkok. Sialnya tidak semua orang Amerika bisa membeda-bedakan mana Tionghoa, mana Korea, dan mana Jepang. Semua dianggap Tionghoa. Orang Korea pun bisa dikira Tionghoa. Demikian juga orang Filipina, Thailand, dan mungkin Indonesia. Bahkan ada orang India yang dibunuh –juga dikira Tionghoa.
Presiden Joe Biden sampai turun tangan. Kongres Amerika pun mengadakan dengar pendapat. Tokoh-tokoh perkumpulan keturunan Asia bereaksi keras –untuk menekan pemerintah agar mengatasi kecenderungan baru itu. “Kami, orang keturunan Asia, merasa tidak aman,” kata mereka.
Apalagi banyak kejadian seperti ini: orang Asia yang lagi jalan sendirian tiba-tiba dipukul dari belakang. Perasaan waswas terus meliputi orang Asia. Terutama kalau lagi jalan sendirian. Di waktu malam pula. Dari mereka yang memukul itu ada yang hanya beralasan: “Saya tidak suka cara dia melihat saya”. Sulitnya, kekerasan itu dilakukan tanpa ada kata-kata. Sehingga para pelaku hanya dikenakan perkara kriminal biasa.
Para pemimpin kelompok Asia menginginkan ini: mereka harus dikenakan pasal kebencian ras. Yang hukumannya lebih berat. Tapi polisi sulit mendapat bukti kebencian itu –kalau pelakunya tidak mengatakan apa-apa. Pun soal penembakan yang dilakukan Robert Long itu. Ia hanya mengaku sebagai orang yang kecanduan seks. Lalu tiba-tiba muncul kemarahannya pada panti pijat –yang membuatnya penuh dosa.
Robert Long belakangan memang mengaku sebagai anak muda yang berlumur dosa. Begitulah yang sering ia katakan ke teman satu kamarnya. Teman satu kamar? Sejak umur 19 tahun –tidak lama setelah tamat SMA– Robert Long sudah tidak tinggal di rumah orang tua. Ia punya pacar. Ia pergi dengan sang pacar. Sampai tidak mau pulang. Ayahnya marah. Sang ayah minta anaknya pulang. Tidak mau. Sang anak pilih bersama pacar di negara bagian Kentucky –tetangga utara Georgia.
Akhirnya sang ayah melapor ke polisi. Agar anak itu bisa pulang. Berhasil. Robert Long meninggalkan sang pacar. Tapi ia tetap tidak mau tinggal serumah dengan orang tua. Ia pilih tinggal di rumah penampungan –yang penghuninya adalah korban kecanduan narkoba atau minuman keras. Long diterima tinggal di rumah penampungan itu karena mengaku kecanduan yang lain: seks.
Spa dan panti pijat adalah tempat yang selalu menggoda Long. Ia merasa lebih aman menyalurkannya di tempat seperti itu –daripada ke pelacur. Ia mengaku kepada temannya bahwa di spa itu sering hanya masturbasi di situ. Rupanya Long merasa tidak bebas di rumah orang tua. Ia merasa terkekang. Kuota komputer dibatasi –sulit akses ke situs pornografi. Ia juga tidak punya HP –agar tidak ada akses ke situs dewasa.
Maka Long biasa ke panti pijat dan spa. Ia menjadi pelanggan di tiga panti pijat Asia tadi. Ia kenal baik lokasi itu sampai ke detailnya. Tapi mengapa Long merasa sebagai anak yang berlumur dosa? Itu karena Long dari keluarga yang taat beragama. Long sendiri saat SMA, adalah aktivis remaja di gerejanya. Yang selalu diajarkan moral dan dosa.
Robert Long sempat masuk universitas. Tapi hanya satu tahun –pilih drop out. Lalu mencoba beberapa pekerjaan, tidak sukses. Obsesinya selalu pada seks. Baru itu yang terungkap. Masih begitu banyak misteri di baliknya. Termasuk kebencian ras tadi.***