Dampak pandemi Covid-19 yang belum berakhir semakin membuat keluarga tak mampu harus ekstra kerja keras. Tak hanya orang tua, anak-anak pun harus ikut kerja demi mendapatkan sesuap nasi.
Laporan PRAPTI DWI LESTARI (Pekanbaru)
Adinda Karunia Manawa sedang duduk di bawah flyover Jalan Jenderal Sudirman dekat simpang Jalan Tuanku Tambusai, Senin (18/1) siang. Gadis berumur 14 tahun itu tak sendirian di sana. Ada dua saudaranya yang lain. Insania Putri (9) dan Hikma Sani Jumanta (12). Mereka bertiga masih duduk di bangku sekolah dasar negeri.
Selama pandemi Covid-19, belajar tatap muka di sekolah ditiadakan. Mereka pun ikut membantu orang tua berjualan tisu di persimpangan lampu merah.
Awalnya uang yang terkumpul dipakai untuk membeli handphone bekas. Mereka harus memakai telepon pintar untuk bisa tetap mendapatkan pelajaran dari sekolah. Belajar tatap muka diganti dengan pembelajaran jarak jauh yang kadang harus menggunakan smartphone.
Setelah handphone bekas terbeli, mereka harus mengumpulkan uang lagi untuk bisa membeli pulsa atau paket internet. Tanpa itu, mereka tak bisa tersambung ke jaringan internet dan tidak bisa belajar.
Adinda mengisahkan, setiap pukul 10.00 pagi, ia dan kedua adik serta ibunya sudah berada di perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Tuanku Tambusai. Berbekal beberapa kotak tisu, mereka menjajalkannya kepada pengendara roda dua dan empat yang berhenti saat lampu merah.
Tisu itu dijual dengan harga Rp5.000 per kotaknya. Dari hasil jualan tersebut, ia mengumpulkan keuntungan sedikit demi sedikit.
"Lebih baik Adinda mengamen dan jualan tisu di lampu merah daripada mencuri dan memberikan uang kepada mamak yang tidak halal," tuturnya.
Uang yang ia peroleh dari berjualan di pinggir jalan itu bukan untuknya berfoya-foya. Melainkan untuk memenuhi keperluan hidup dia dan kelima saudaranya.
Selama pandemi Covid-19. Adinda mengaku tetap belajar di sela-sela waktunya berjualan. Di bawah flyover, ia belajar. Membuka buku pelajaran dan membuka smartphone.
Ia pun kadang harus berbagi smartphone tersebut bersama kedua adiknya yang juga mengikuti belajar online. "Kadang pernah sehari itu jam pelajaran kami bertiga sama. Ya, mau nggak mau Adinda yang mengalah. Nanti Adinda lihatkan dulu pelajaran si Hikma, baru cek lagi pelajaran Insania. Setelah mereka, Adinda bantu mengerjakan tugas mereka. Barulah Adinda yang mengerjakannya lagi. Itu pun harus meminta lagi pelajaran yang tertinggal sama ibu guru," kata dia.
Belajar di bawah flyover bukan tanpa rintangan. Kadang cuaca panas. Kadang hujan. Belum lagi suara berisik dari kendaraan bermotor yang lalu-lalang. Tapi Adinda berusaha untuk konsentrasi dalam menyerap ilmu pengetahuan.
Gadis yang bercita-cita ingin menjadi guru itu mengaku sering mendapatkan ejekan dari teman-teman. Namun ia berusaha tegar. "Sering diejekin sama kawan. Katanya Adinda tukang jual tisu. Tapi kan apa yang Adinda buat ini halal. Dan tidak menyusahkan pengendara. Adinda juga tidak memaksa mereka untuk membeli tisu ke Adinda. Kalau mereka tidak mau ya nggak apa-apa," ucap anak ketiga pasangan Hasnawati (40) dan Rosman Buyung (42) itu.
Sementara itu, sang ibu Hasnawati (40) mengaku tak pernah memaksa anak-anaknya untuk ikut membantunya berjualan di area lampu merah flyover Sudirman.
Hasnawati dan keenam anaknya saat ini tinggal di sebuah gubuk yang ada di area Terminal AKAP, Jalan Tuanku Tambusai ujung. Gubuk berukuran 5×6 meter tersebut ia buat sendiri setelah meminta izin ke sang pemilik lahan kosong. Ia terpaksa memberikan tempat tinggal seadanya kepada anak-anaknya karena tidak memiliki biaya untuk mengontrak rumah.
"Kami selama ini hidup berpindah-pindah. Pernah mengontrak 1 atau 3 bulan. Habis itu diusir sama pemilik kontrakan karena kami tak bisa bayar. Bagaimana kami mau bayar kontrakan, pendapatan kami saja tidak menentu. Dari hasil jualan Adinda dan dua adiknya kami dapat Rp100.000 atau Rp150.000 paling banyak. Itu pun cuma cukup untuk biaya sehari-hari sama untuk membeli paket internet agar Adinda dan kedua adiknya bisa belajar," cakapnya.
Lanjut Hasnawati, suaminya juga turun membantunya mencari nafkah di area Terminal AKAP sebagai tukang cari penumpang dan dibayar sebesar Rp5.000 per penumpang. Dalam sehari, suaminya bisa mendapatkan Rp30.000 dan paling banyak Rp50.000.
Saat ditanya apakah ada mendapatkan bantuan dari pemerintah, Hasnawati mengaku belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah baik Pemerintah Kota Pekanbaru atau Pemerintah Provinsi Riau.
Namun ia tak menyalahkan semua itu. Ia mengatakan akan terus berusaha mencari nafkah dari keringatnya sendiri demi anak-anaknya.
"Saya memang tidak pernah mendapatkan bantuan pemerintah. Ya, paling dari pengendara yang melintas saja. Seperti ini tadi kami dapat makanan dari pengendara dan ada juga yang ngasih uang lebih saat belanja tisu sama Adinda. Itu saja kami sudah bersyukur," jelasnya.***