Era new normal atau kenormalan baru adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan yang belum pernah ada sebelumnya (keadaan normal yang baru). Istilah ini muncul setelah Presiden Joko Widodo menegaskan masyarakat harus bisa berkompromi hidup berdampingan dan berdamai dengan Covid-19 agar tetap produktif.
Sementara itu, melalui Kompas.com (18-5-2020) Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto menegaskan bahwa new normal adalah perubahan budaya. Misalnya, penerapan pola hidup bersih dan sehat, yaitu memakai masker kalau keluar rumah, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Pada prinsipnya masa new normal beberapa aktivitas rutin masyarakat mulai dikembalikan, tetapi dibarengi dengan protokol kesehatan.
Kebijakan pemerintah untuk memberlakukan tatanan kehidupan dalam kenormalan baru tersebut berdampak positif dan negatif. Karena pemerintah membatasi orang untuk kontak fisik dengan orang lain, pertemuan yang sifatnya mengumpulkan massa diubah menjadi sistem daring. Pada era new normal tampak bahwa teknologi berperan penting. Hal ini tentu berdampak positif bagi kehidupan masyarakat Indonesia karena terjadi sinergisme antara teknologi dan era new normal. Sebagai contoh, para pegawai pemerintah dan banyak dari sektor lain menerapkan work from home. Begitu juga dalam dunia pendidikan, pembelajaran dilakukan secara daring.
Karena hampir semua kegiatan belajar-mengajar dan pekerjaan kantor dilakukan melalui sistem daring, berbagai aplikasi digital pun ditawarkan, mulai dari yang gratis hingga yang berbayar. Misalnya zoomcloud meeting, googlemeet, googleclassroom, dan whatsapp. Media berbasis digital ini menawarkan sejumlah kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan manusia, di antaranya bisa mengakses berbagai informasi dan melakukan interaksi layanan publik hingga bekerja dari rumah. Dalam bidang pendidikan, teknologi digital dapat digunakan siswa dan mahasiswa untuk menerima pendidikan jarak jauh hingga mengakses berbagai ilmu pengetahuan secara cepat. Bagi guru, teknologi digital bisa dimanfaatkan untuk menciptakan kreativitas dalam pembelajaran, misalnya menciptakan video edukasi. Penggunaan teknologi digital pada masyarakat juga terlihat dari banyaknya masyarakat mulai berbelanja melalui toko online. Dengan banyaknya masyarakat yang berbelanja secara online tentu saja secara tidak langsung bisa meningkatkan lapangan pekerjaan karena setiap orang bisa memiliki pekerjaan dengan berjualan online. Selain itu, melalui teknologi digital, seperti media sosial, semua orang bisa mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Dengan media sosial, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat. Bahkan, siapa pun dapat menyebarkan informasi kapan saja, baik informasi itu berasal dari pendapat, opini maupun ide gagasan lain. Namun, dampak positif ini hanya dirasakan bagi orang yang telah melek literasi digital. Mengapa? Dalam terminologi Unesco (2011) literasi digital tidak hanya melibatkan kemampuan menggunakan perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan inspiratif sebagai kompetensi digital.
Salah satu aspek dalam literasi digital, yaitu berpikir kritis. Apakah kemampuan berpikir kritis ini sudah dimiliki masyarakat kita? Faktanya, menurut CNNIndonesia.com (29-12-2020) sepanjang Januari hingga November 2020, Direktorat Tindak Pidana Siber menangani kasus pencemaran nama baik sebanyak 1.743. Kasus pencemaran nama baik ini bisa berupa penghinaan, fitnah, dan penistaan. Banyaknya masyarakat yang tersandung kasus pencemaran nama baik dikarenakan kurangnya penguasaan literasi digital, khususnya dalam hal berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis, misalnya, janganlah terjebak pada wishful thinking, yaitu pola pikir yang menganggap kebenaran adalah keyakinan dari diri sendiri, bukan sesuatu yang objektif, bukan juga sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan bersifat universal. Hal inilah yang terjadi di era new normal saat ini, pemilikan dan pemanfaatan teknologi komunikasi terjadi secara luas dan masif dengan berbagai media sosial, seperti media whatsapp, facebook, dan instagram. Melalui media tersebut, manusia bisa mendapatkan dan menyebarkan berbagai informasi. Meskipun media sosial mampu menyebarkan informasi secara luas dan efektif, masyarakat harus tetap berpikir kritis dalam menerima suatu informasi. Artinya, masyarakat jangan langsung percaya dengan apa yang mereka baca karena banyak juga informasi yang dibuat asal-asalan tanpa data yang valid atau diketahui sumbernya. Bahkan, sering terjadi penjungkirbalikan informasi sehingga bisa mengancam persatuan bangsa. Fakta ini bisa dilihat di era sekarang ini, misalnya, seseorang bisa masuk “hotel prodeo” hanya karena menyebarluaskan informasi yang kebenarannya belum pasti. Oleh karena itu, tanpa berpikir kritis, kemajuan teknologi bisa berakibat negatif pada diri manusia.
Lalu, apa artinya berpikir kritis? Disebutkan oleh salah satu tokoh bernama John Dewey bahwa berpikir kritis adalah suatu pertimbangan yang aktif dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja. Jadi, berpikir kritis tidak berkonotasi negatif, yaitu menjatuhkan atau mencari-cari kesalahan seseorang.
Namun, berpikir kritis justru menolong orang lain karena menunjukkan solusi atas kekurangan atau kelemahan yang ditemukan. Seseorang yang mengusai literasi digital berarti ia memunyai kemampuan untuk berpikir kritis, yaitu kemampuan seseorang untuk mendalami sesuatu sebelum dia memberikan tanggapan atas segala informasi yang diterimanya dan mengambil makna dari tanggapan itu bagi dirinya. Dengan berpikir kritis, seseorang diarahkan untuk melihat sisi positif dan sisi negatif atas segala sesuatu yang dihadapinya sebelum menerima atau menolaknya.
Dari gambaran itu tampak bahwa memasuki tatanan new normal, masyarakat tetap bisa kreatif dan produktif walaupun masih berada pada pandemi covid-19. Justru dengan banyak waktu luang karena keharusan untuk tinggal di dalam rumah, masyarakat bisa memanfaatkan berbagai aplikasi digital untuk melakukan segala aktivitas dengan tetap melakukan protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah. Namun, kecakapan penggunaan digital itu bisa menjadi bumerang bagi mereka jika tidak diiringi dengan penguasaan literasi digital, khususnya kemampuan berpikir kritis.
Pada akhirnya kembali lagi pada diri kita sendiri, bangunlah sifat kritis dan pandai memilah informasi yang dibutuhkan dari sekian banyak opsi yang tersedia.***
Sri Sabakti, Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta