Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Melayani Rakyat, Melindungi Bumi

Keberhasilan Pertamina memproduksi green diesel D-100 pertengahan Juli 2020 menjadi sebuah tonggak baru bagi energi terbarukan negeri ini. Tak hanya untuk melayani rakyat, tapi juga negara dan Bumi sekaligus.

Laporan: Muhammad Amin (Dumai)

Kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai kini punya kesibukan baru. Tak hanya bahan bakar minyak (BBM) biasa, atau non-BBM, tapi kini ada produksi yang lainnya. Sejak 15 Juli 2020, kilang ini berhasil membuat produk baru yang diberi nama D-100. Produk ini dihasilkan dari refined bleached deodorized palm oil (RBDPO) kelapa sawit. RBDPO adalah minyak kelapa sawit atau CPO yang telah diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya. Kilang ini memiliki kapasitas produksi 1.000 barel per hari.

Selama ini, sejak beroperasi tahun 1971, ada dua macam bahan bakar yang diproduksi di kilang kawasan Putri Tujuh Dumai ini, yakni BBM/BBK dan non-BBM. BBM terdiri avtur (aviation turbine fuel), minyak bakar, minyak diesel, minyak solar, dan minyak tanah. Sedangkan yang non-BBM adalah solvent, green coke, dan elpiji (LPG/liquid petroleum gas). Belum ada produksi BBN (bahan bakar nabati).

Peristiwa 15 Juli 2020 menjadi sejarah. Apalagi, bahan bakar yang dihasilkan relatif memiliki spesifikasi lebih tinggi yakni D-100. Artinya, 100 persen dari bahan bakar nabati. Tidak lagi campuran diesel (solar) dari BBM berbahan fosil. Selama ini, produksi biodiesel dunia memang sudah ada, yang dikenal sebagai B20 dan B30. B20 artinya campuran bahan bakar nabati (BBN) 20 persen, sementara 80 persen masih dicampur dengan solar berbahan fosil. Begitu juga B30, komposisinya 30 persen biosolar, 70 persen solar berbahan fosil.

Baca Juga:  Trump Mengidap Risiko Kematian 90 Kali Lebih Tinggi akibat Covid-19

"Yang kita produksi berbeda. Lebih spesifik," ujar Manager HRD Pertamina RU II Dumai, Brasto Galih Nugroho kepada Riau Pos, beberapa waktu lalu.

Produksi D-100 kali ini memang berbeda. Makanya belum dalam tahap produksi massal. Masih dalam tahap uji coba. D-100 diproduksi dengan menggunakan katalis Merah Putih, sebuah teknologi yang merupakan kerja sama antara Pertamina dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Kendati baru uji coba, tapi tingkat keberhasilan sudah baik.

"Kami sudah coba menggunakannya pada mobil dan bisa berjalan dengan baik. Ini bentuk komitmen kita untuk melayani masyarakat, juga membuat energi yang ramah lingkungan," ujar Brasto.

Tentu saja ini baru langkah awal. Akan ada berbagai langkah berikutnya yang dilakukan Pertamina berkaitan dengan produksi massal. Sayangnya, Brasto belum bisa memastikan kapan akan dilakukan produksi massal, bagaimana teknisnya, berapa kapasitas produksi ke depannya. Semuanya masih dalam kajian. Akan ada sejumlah regulasi yang dibutuhkan untuk melakukan produksi massal D-100 ini.

"Kami dari kilang hanya memproduksi saja. Nanti akan disiapkan semuanya, ketentuan, dan lainnya dari Pertamina pusat. Kami tinggal melaksanakan. Sementara memang baru 1000 barel per hari," ujar Brasto.

Sejak 2016, sudah ada penjualan B20 di SPBU-SPBU Pertamina. Itu sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015. Pada awal 2020, dengan aturan yang sama, diberlakukan penggunaan B30.

Baca Juga:  Novel Bucin

"Saat ini di SPBU-SPBU sudah dijual B30 ini," ujarnya.

Tahapan ini nantinya akan menuju pada penerapan B50 hingga B100. Tapi rupanya terjadi percepatan dengan sudah berhasilnya Pertamina menghasilkan D-100 atau diesel dari nabati 100 persen. Tanpa campuran apapun lagi. Hal ini tentu saja sejalan dengan roadmap (peta jalan) energi terbarukan di Indonesia. Ditargetkan, pada 2025, Indonesia sudah menggunakan energi terbarukan sebanyak 23 persen. Campuran energi terbarukan diharapkan mencapai 31 persen pada 2050.

Potensi Besar
Produksi D-100 dengan katalis Merah Putih ini dilakukan dengan proses esterifikasi atau transesterifikasi. Bahannya dari minyak nabati berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME). FAME inilah yang diolah menggunakan katalis. Bahan baku utamanya adalah crude palm oil (CPO) atau minyak sawit.

Kilang Minyak Dumai memang sudah terbiasa memproduksi minyak mentah menjadi BBM. Tapi memproduksi diesel dari CPO belum pernah dilakukan. Padahal, berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Riau, daerah ini merupakan penghasil CPO terbesar di Indonesia, mencapai 40 persen. Riau juga memiliki kebun kelapa sawit yang luas, yakni 3.387.206 hektare dengan total produksi CPO 9,2 juta ton pada 2019. Potensi ini tentu saja peluang untuk energi terbarukan, menggantikan sumur-sumur minyak yang juga banyak di Riau. Tapi sudah mulai berkurang produksinya.

"Belum. Kita belum ada kerja sama dengan perusahaan CPO. Nanti itu," ujar Brasto ketika ditanyakan peluang produksi massal D-100 mengingat besarnya potensi CPO di Riau.

Keberhasilan Pertamina memproduksi green diesel D-100 pertengahan Juli 2020 menjadi sebuah tonggak baru bagi energi terbarukan negeri ini. Tak hanya untuk melayani rakyat, tapi juga negara dan Bumi sekaligus.

Laporan: Muhammad Amin (Dumai)

- Advertisement -

Kilang Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai kini punya kesibukan baru. Tak hanya bahan bakar minyak (BBM) biasa, atau non-BBM, tapi kini ada produksi yang lainnya. Sejak 15 Juli 2020, kilang ini berhasil membuat produk baru yang diberi nama D-100. Produk ini dihasilkan dari refined bleached deodorized palm oil (RBDPO) kelapa sawit. RBDPO adalah minyak kelapa sawit atau CPO yang telah diproses lebih lanjut sehingga hilang getah, impurities dan baunya. Kilang ini memiliki kapasitas produksi 1.000 barel per hari.

Selama ini, sejak beroperasi tahun 1971, ada dua macam bahan bakar yang diproduksi di kilang kawasan Putri Tujuh Dumai ini, yakni BBM/BBK dan non-BBM. BBM terdiri avtur (aviation turbine fuel), minyak bakar, minyak diesel, minyak solar, dan minyak tanah. Sedangkan yang non-BBM adalah solvent, green coke, dan elpiji (LPG/liquid petroleum gas). Belum ada produksi BBN (bahan bakar nabati).

- Advertisement -

Peristiwa 15 Juli 2020 menjadi sejarah. Apalagi, bahan bakar yang dihasilkan relatif memiliki spesifikasi lebih tinggi yakni D-100. Artinya, 100 persen dari bahan bakar nabati. Tidak lagi campuran diesel (solar) dari BBM berbahan fosil. Selama ini, produksi biodiesel dunia memang sudah ada, yang dikenal sebagai B20 dan B30. B20 artinya campuran bahan bakar nabati (BBN) 20 persen, sementara 80 persen masih dicampur dengan solar berbahan fosil. Begitu juga B30, komposisinya 30 persen biosolar, 70 persen solar berbahan fosil.

Baca Juga:  Pekerja Migran Indonesia Ditahan

"Yang kita produksi berbeda. Lebih spesifik," ujar Manager HRD Pertamina RU II Dumai, Brasto Galih Nugroho kepada Riau Pos, beberapa waktu lalu.

Produksi D-100 kali ini memang berbeda. Makanya belum dalam tahap produksi massal. Masih dalam tahap uji coba. D-100 diproduksi dengan menggunakan katalis Merah Putih, sebuah teknologi yang merupakan kerja sama antara Pertamina dengan Institut Teknologi Bandung (ITB). Kendati baru uji coba, tapi tingkat keberhasilan sudah baik.

"Kami sudah coba menggunakannya pada mobil dan bisa berjalan dengan baik. Ini bentuk komitmen kita untuk melayani masyarakat, juga membuat energi yang ramah lingkungan," ujar Brasto.

Tentu saja ini baru langkah awal. Akan ada berbagai langkah berikutnya yang dilakukan Pertamina berkaitan dengan produksi massal. Sayangnya, Brasto belum bisa memastikan kapan akan dilakukan produksi massal, bagaimana teknisnya, berapa kapasitas produksi ke depannya. Semuanya masih dalam kajian. Akan ada sejumlah regulasi yang dibutuhkan untuk melakukan produksi massal D-100 ini.

"Kami dari kilang hanya memproduksi saja. Nanti akan disiapkan semuanya, ketentuan, dan lainnya dari Pertamina pusat. Kami tinggal melaksanakan. Sementara memang baru 1000 barel per hari," ujar Brasto.

Sejak 2016, sudah ada penjualan B20 di SPBU-SPBU Pertamina. Itu sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 tahun 2015. Pada awal 2020, dengan aturan yang sama, diberlakukan penggunaan B30.

Baca Juga:  PT Astra Agro Lestari Pererat Silaturahmi dengan Riau Pos

"Saat ini di SPBU-SPBU sudah dijual B30 ini," ujarnya.

Tahapan ini nantinya akan menuju pada penerapan B50 hingga B100. Tapi rupanya terjadi percepatan dengan sudah berhasilnya Pertamina menghasilkan D-100 atau diesel dari nabati 100 persen. Tanpa campuran apapun lagi. Hal ini tentu saja sejalan dengan roadmap (peta jalan) energi terbarukan di Indonesia. Ditargetkan, pada 2025, Indonesia sudah menggunakan energi terbarukan sebanyak 23 persen. Campuran energi terbarukan diharapkan mencapai 31 persen pada 2050.

Potensi Besar
Produksi D-100 dengan katalis Merah Putih ini dilakukan dengan proses esterifikasi atau transesterifikasi. Bahannya dari minyak nabati berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME). FAME inilah yang diolah menggunakan katalis. Bahan baku utamanya adalah crude palm oil (CPO) atau minyak sawit.

Kilang Minyak Dumai memang sudah terbiasa memproduksi minyak mentah menjadi BBM. Tapi memproduksi diesel dari CPO belum pernah dilakukan. Padahal, berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Riau, daerah ini merupakan penghasil CPO terbesar di Indonesia, mencapai 40 persen. Riau juga memiliki kebun kelapa sawit yang luas, yakni 3.387.206 hektare dengan total produksi CPO 9,2 juta ton pada 2019. Potensi ini tentu saja peluang untuk energi terbarukan, menggantikan sumur-sumur minyak yang juga banyak di Riau. Tapi sudah mulai berkurang produksinya.

"Belum. Kita belum ada kerja sama dengan perusahaan CPO. Nanti itu," ujar Brasto ketika ditanyakan peluang produksi massal D-100 mengingat besarnya potensi CPO di Riau.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari