“KALAU tidak dipecahkan ruyung, mana kan dapat sagunya” peribahasa Melayu ini terpampang di dinding, pada sebuah bingkai besar bersama beberapa peribahasa lainnya. Bingkai peribahasa itu tidak terpajang di sebuah sekolah, kampus, lembaga adat, atau kantor pemerintah daerah; tetapi di sebuah toko roti. Tidak hanya menuliskan rangkaian indah kata-kata dan daerah asalnya, makna peribahasa itu juga dicantumkan dengan jelas. Tertulis “tidak akan sukses kalau tidak berusaha dan bersusah payah”, untuk makna peribahasa Melayu itu.
Selain peribahasa Melayu, juga dipampang peribahasa Sunda “Cikaracak ninggang batu, laun-laun jadi legok” (jika rajin dan tekun mengerjakan segala sesuatu, pasti akan menuai hasil yang baik); peribahasa Banjar “Waja sampai kaputing” (semangat yang besar, pekerjaan dari awal sampai akhir penuh semangat, tidak patah di tengah jalan, tidak mengenal menyerah, pantang mundur); peribahasa Minang “Ketek paguno gadang tapakai” (sewaktu muda berguna, sewaktu tua pun menjadi lebih bermanfaat); peribahasa Bugis “Resopa tammangingi naletei pammase dewata seuwwa’e” (rahmat Allah akan turun kepada orang-orang yang bekerja keras tanpa mengenal sifat menyerah); peribahasa Jawa “Sapa nandur bakal ngundhuh” (apa pun yang kita perbuat akan ada hasilnya sesuai dengan apa yang kita perbuat); dan peribahasa Aceh “Meu memet babah meu ek gigoe” (setiap orang yang bekerja keras pasti akan membuahkan hasil atas karya dan kerja kerasnya, tentunya ada pengaruh yang didapat pada pemenuhan kebutuhan hidupnya).
Mungkin tidak terlalu “istimewa” jika peribahasa berbahasa daerah itu berada di lembaga yang memiliki “kewajiban” untuk mengeksposnya, misalnya lembaga pendidikan, pemerintah daerah, atau lembaga adat. Tidak terlalu mengesankan. Seolah-olah sebuah kelaziman yang tidak perlu diberi perhatian lebih.
Lagipula, memang sering ditemukan kutipan “quote” (kalimat atau ucapan yang menarik berisikan ide atau gagasan) di berbagai tempat, mulai dari terminal kampung yang panas dan menyesakkan sampai ke hotel mewah yang sejuk dan menyenangkan. Kata-kata bijak itu dipersembahkan dalam beragam bentuk, ukuran, warna, dan rupa; mulai dari coretan di tembok yang kotor dengan tulisan centang perenang sampai pada huruf-huruf cantik di atas kanvas dalam pigura indah yang mahal. Berarti, kata-kata bijak yang bermakna filosofis bukanlah hal asing di lingkungan masyarakat. Kutipan “quote” menyebar luas ke berbagai kalangan, menyelusup ke beragam ranah kehidupan.
Kutipan “quote” juga terdapat di toko roti itu, berupa kalimat-kalimat yang meningkatkan motivasi hidup dan mengajarkan kebaikan. Toko roti berkonsep Islami itu tidak hanya menyajikan aneka roti yang enak untuk mengenyangkan perut, tetapi juga menghidangkan “makanan rohani” yang mengenyangkan hati.
Jika hanya kutipan “quote” tentunya tidak terlalu mengesankan. Keistimewaan “makanan rohani” yang disajikan toko roti itu adalah peribahasa berbahasa daerah. Mengapa istimewa?
Pertama, toko roti itu memberi ruang untuk eksistensi bahasa daerah. Ruang publik (terutama di pusat bisnis dan pertokoan) di Indonesia diserbu oleh bahasa asing (Inggris) dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena itu sangat masif dan meluas ke sudut-sudut ruang publik, bahkan ke ranah individu orang Indonesia. Kecintaan pada bahasa asing menguar dengan ledakan dahsyat sehingga mengesankan bahwa wabah xenofilia itu memang sulit dibendung. Mengakar dengan kuat, meninggi dengan gagah. Jangankan bahasa daerah, bahasa nasional pun mulai terdesak oleh bahasa asing (Inggris).
Fenomena itu menggelisahkan pemerintah sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Nasib undang-undang itu lumayan mengenaskan, pemerintah pun menguatkannya kembali dengan menelurkan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Untuk menjaga bahasa daerah muncul beberapa Perda (Peraturan Daerah), seperti Perda Provinsi Sumatra Utara Nomor 8 Tahun 2017 dan Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2014. Meskipun belum seluruh provinsi menerbitkan Perda tentang bahasa daerah, setidaknya terlihat bahwa pemerintah daerah mencemaskan eksistensi bahasa daerah di tengah-tengah kepungan bahasa nasional dan internasional.
Di tengah-tengah gempuran bahasa asing (Inggris) yang sangat keras, toko roti itu mengangkat bahasa daerah beberapa kelompok suku di Indonesia. Ibaratnya, generasi muda yang mulai mengabaikan peninggalan nenek moyang (beralih pada produk budaya impor), disuguhi produk lokal yang tradisional. Sajian yang “unik”, sebab toko roti itu jelas menjual produk budaya luar (roti bukan makanan asli Indonesia); tetapi turut menghidangkan bahasa daerah yang digali dari budaya asli beberapa suku di Indonesia.
Tidak mengejutkan jika peribahasa Melayu dipampang di dinding Balai Adat Melayu Riau. Tidak mengesankan jika peribahasa Sunda terpajang di dinding saung yang menjual nasi timbel atau kupat tahu. Tentunya, terkesan luar biasa ketika toko roti yang menjual produk Barat mengolaborasikannya dengan peribahasa berbahasa daerah yang khas Indonesia.
Kedua, peribahasa berbahasa daerah mengandung kearifan lokal. Menurut Edwar Djamaris (1984), peribahasa tidak saja merupakan mutiara bahasa, bunga bahasa, tetapi juga suatu kalimat yang memberikan pengertian yang dalam, luas, tepat, disampaikan dengan halus dan dengan kiasan. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Artinya, peribahasa yang tertulis dalam bingkai di dinding toko roti itu tidak sekadar hiasan untuk kebutuhan estetika, tetapi mengandung muatan normatif untuk kebutuhan etika dan moral.***
Fatmawati Adnan, Balai Bahasa Riau