JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pandemi Covid-19 telah meluluhlantakan perekonomian dunia, tak terkecuali perekonomian Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah jatuhmenyusul aksi jual investor terhadap kepemilikannya sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Pada penutupan perdagangan Jumat (24/4) IHSG ditutup di level 4.496,06, jauh di bawah rata-rata indeks sepanjang 2020 yang berada di level 6.000.
Analisis Pasar Saham dari Koneksi Kapital, Alfred Nainggolan menyatakan krisis ekonomi 2020 akibat Covid-19 berdampak negatif pada penurunan pada IHSG yang sepanjang Maret 2020 telah terkoreksi hingga 38 persen.
Sejumlah langkah telah ditempuh pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelamatkan kejatuhan indeks komposite yang lebih dalam. Diantaranya dengan mempermudah izin buy back (membeli kembali) saham-saham yang ada di pasar modal oleh emiten pasar modal.
"Kemudahan perizinan buyback oleh sejumlah emiten bertujuan untuk stabilisiasi harga saham. Namun, itu belum diikuti oleh minat investor untuk kembali masuk," ujar Alfred dalam diskusi online bertema "Mendulang Profil dari Saham-Saham BUMN Pasca Covid-19", Ahad (26/4/2020).
Menurutnya, kebijakan buyback belum sepenuhnya bisa mengangkat harga saham karena belum diikuti oleh investor untuk kembali masuk ke bursa. Emiten pun belum sepenuhnya memanfaatkan dana buyback yang dimilikinya.
Mengenai potensi IHSG ke depan, menurutnya, sepenuhnya tergantung dari penanganan Covid-19 yang hingga kini belum diketahui.
Namun membandingkan pemulihan yang terjadi dalam krisis-krisis ekonomi sebelumnya, pada krisis ekonomi 1997-1998, IHSG terkoreksi pada angka 72 persen dan dibutuhkan waktu selama 8 bulan dari posisi terendah penurunan yang terjadi Oktober 1998. Sementara pada krisis ekonomi 2008 dimana IHSG mengalami koreksi sebesar 60 persen membutuhkan waktu selama 16 bulan dari level terendah IHSG.
Alfred menambahkan yang menjadi perhatian para investor di pasar saham saat ini adalah seberapa lama pandemi Covid-19 akan selesai dan durasinya seperti apa. Jika kepastian ini belum ada, kemungkinan pasar terkoreksi lebih dalam dibandingkan krisis ekonomi 1997-1998 bisa saja terjadi.
Sementara Chief Economist CIMB Niaga Adrian Panggabean mengungkapkan butuh solusi global guna mengatasi krisis ekonomi 2020 yang terjadi akibat pandemi Covid-19. Krisis ekonomi 2020 memiliki tiga dimensi besar yakni wabah Covid-19, kebijakan sosio-politik untuk menekan penyebaran Covid-19 (social distancing dan phisical distancing) serta pengaruh negatif bagi perekonomian dunia.
"Krisis saat ini memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan krisis 1997-1998 maupun krisis ekonomi 2008," kata Adrian.
Ia menyatakan berdasarkan dari keterangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan vaksin untuk menangani pandemi Covid-19 baru bisa dilakukan 12-18 bulan ke depan. "Ini artinya solusi global terhadap krisis ekonomi sekarang baru akan terjadi pada pertengahan 2021 atau pertengahan tahun depan," ujarnya.
Adrian mengatakan masalah yang dihadapi dalam menangani krisis ekonomi 2020 ini adalah terjadinya polarisasi di dunia. Polarisasi itu antara lain terjadinya persaingan antara Rusia dengan OPEC, rivalitas antara Cina dan Amerika Serikat, Eropa versus Eropa, negara kaya dan negara miskin. "Polarisasi inilah yang membuat solusi secara global menghadapi sejumlah kendala yang harus terlebih dahulu diatasi,"pungkasnya.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal