JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah sampai saat ini cenderung tertutup penanganan pasien Covid-19. Padahal publik menyetujui riwayat perjalanan pasien Covid-19 dibuka secara umum. Ini merupakan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama lembaga serta sejumlah perguruan tinggi negeri.
Survei keterbukaan informasi pasien positif Covid-19 itu mengambil responden sebanyak 15.101 orang. Mayoritas tersebar di Pulau Jawa dan sisanya di berbagai daerah di luar Jawa. Hasilnya 97 persen responden setuju membuka riwayat perjalanan pasien positif virus corona.
Lebih terperinci lagi, sebanyak 61,2 persen responden setuju nama pasien positif Covid-19 dibuka. Kemudian 65,8 persen responden setuju alamat RT/RW pasien Covid-19 dibuka. Lalu 64 persen responden setuju alamat pasien Covid-19 dibuka untuk umum. Mayoritas responden lebih suka informasi data pasien itu dibuka dalam aplikasi pesan instansi seperti WhatsApp atau LINE.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Rusli Cahyadi menuturkan katerbukaan informasi identitas memiliki dampak positif. Dia mengatakan di Korea Selatan kebijakan membuka informasi riwayat perjalanan dan data pasien Covid-19 berhasil menekan angka penambahan kasus positif baru.
’’Dengan mengetahui informasi itu, masyarakat menjadi terlibat dalam langkah antisipasi penyebaran,’’ katanya Sabtu (4/4). Rusli menuturkan keterbukaan informasi di Korea Selatan itu dapat melibatkan masyarakat mempelajari sendiri riwayat kontaknya masing-masing.
Sehingga masyarakat bisa menganalisis risiko paparan dengan pasien yang sudah dinyatakan positif terinfeksi virus corona. Keterbukaan informasi itu juga harus melalui lembaga resmi pemerintah untuk menghindari kesimpangsiuran informasi.
Wakil Sekjen Ikatan Ahli Kebencanaan Universitas Indonesia Dicky Peluppesy menuturkan keterbukaan informasi pasien Covid-19 bisa meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Namun dia mengakui bahwa keterbukaan informasi pasien corona itu juga memiliki konsekuensi tersendiri.
’’Masih ada orang-orang yang berada dalam kasus pemantauan diperlakukan buruk dan diskriminasi di lingkungannya,’’ katanya. Dia menegaskan jika pemerintah Indonesia memutuskan membuka data pasien Covid-19, baik yang sudah positif maupun belum, harus dilakukan dengan baik dan benar. Supaya tidak menimbulkan persoalan lain.
Perlakuan negatif tidak hanya terhadap pasien kasus Covid-19. Terhadap jenazah pasien Covid-19 juga terdapat penolakan di sejumlah daerah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali menegaskan supaya masyarakat tidak lagi menolak jenazah pasien Covid-19.
’’Menolak jenazah pasien Covid-19 dosanya dobel,’’ kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asororun Ni’am Sholeh, kemarin. Dia mengatakan saat ini MUI telah mengeluarkan tiga fatwa terkait wabah Covid-19. Salah satunya adalah fatwa terkait penanganan jenazah pasien Covid-19.
Asrorun menegaskan setiap muslim yang jadi korban meninggal akibat Covid-19 adalah sahid fil akhirah. ’’(Korban, red) memiliki kemuliaan. Maka secara khusus saya menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga yang ditimpa musibah,’’ katanya. Dia menyebutkan musibah ini adalah ujian dari Allah.
Dia menegaskan dalam konteks duniawi, jenazah korban Covid-19 memiliki hak dimandikan, dikafani, disalatkan, sampai dikuburkan. Ketentuan agama ini harus ditaati. Namun dalam kasus ini, kegiatan memandikan dan mengkafani jenazah bisa disesuaikan dengan protokol penanganan Covid-19. Kemudian kegiatan salat jenazah bisa cukup dilakukan satu orang saja. ’’Kemudian pemakaman. Ini hak jenazah yang harus diterima jenazah,’’ tegasnya.
Maka dia mengatakan tidak boleh lagi ada kekhawatiran akan terjadi penularan dari jenazah pasien Covid-19. Sebab dalam proses sebelumnya telah memenuhi protokol penanganan jenazah Covid-19. Asrorun meminta masyarakat menjadi khawatir akibat minus pengetahuan, kemudian menolak pemakaman jenazah pasien Covid-19.(wan/jpg)