(RIAUPOS.CO) — ADA keterkejutan yang mendadak muncul ketika membaca daftar menu di sebuah restoran kecil di Bandung. Ekspresi emosi yang berlangsung sekejap itu tak ayal mengerutkan kening, menaikkan alis, melebarkan kelopak mata, dan mengangakan mulut. Mungkin berlebihan, tetapi sebuah keterkejutan memang tidak dapat diskenariokan.
Restoran kecil, pengunjungnya semua (pada waktu itu) orang Indonesia, dan makanan yang dihidangkan juga masakan asli Indonesia. Nama-nama makanan yang tertera pada daftar menu itu yang menimbulkan keterkejutan.
Nama makanan yang tertulis pada buku menu itu: “Steam vegetables with coconut sauce; Sundanese salad of boiled or steamed vegetables and boiled eggs, boiled potato, fried tofu and tempeh, and rice cake; rice flour pancake with coconut milk or shredded coconut; diamond-shape rice cake with fried tofu, bean sprouts served in peanut sauce”. Setelah ditelisik lebih lanjut, ternyata makanan itu adalah gado-gado, lotek, serabi, dan kupat tahu.
Pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa harus menggunakan bahasa Inggris? Lebih bergengsi dan prestisenya lebih tinggi, demikian jawaban pemilik restoran. Semacam xenofilia agaknya.
Pertanyaan kedua, apakah pengunjung restoran ini didominasi orang asing? Ternyata tidak pula!
Fenomena penggunaan bahasa asing di ruang publik memang marak terjadi dewasa ini di Indonesia. Bahasa asing (terutama bahasa Inggris) “menyerbu” ruang publik pada nama badan usaha, iklan, fasilitas publik, nama makanan, nama kegiatan, papan iklan, istilah-istilah, kalimat populer, informasi, dan lainnya.
Padahal, pemerintah sudah memiliki “senjata” untuk menertibkan penggunaan bahasa di ruang publik. Ketentuan tentang penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 26 ayat 3 berbunyi: “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Pasal 37 ayat 1 berbunyi: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia”. Pasal 38 ayat 1 berbunyi: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum”.
“Senjata” teranyar muncul tahun 2019 lalu, yaitu Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Perpres ini sangat tepat diluncurkan dan disosialisasikan secara masif pada masa bahasa nasional ini semakin dipinggirkan di ruang publik. Pasal demi pasal mengatur penggunaan bahasa Indonesia pada berbagai ranah. Pasal 33 terkhusus memuat pengaturan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik.
Kembali pada daftar menu restoran kecil tadi, mengapa tidak dipopulerkan kata gado-gado, lotek, serabi, dan kupat tahu? Nama dalam bahasa Inggris yang mereka gunakan, misalnya “steam vegetables with coconut sauce” untuk gado-gado, hanyalah deskripsi makanan tersebut, bukan sebuah nama yang memiliki karakter khusus.
Italia memiliki pizza yang terkenal ke seluruh dunia. Di negara-negara (termasuk Indonesia) yang sudah “didatangi” pizza, makanan khas Itali ini tetap disebut pizza. Demikian juga halnya dengan spaghetti dan ravioli yang juga berasal dari Itali; hotdog dan burger dari Amerika; sushi dan udon dari Jepang; semuanya tetap menggunakan nama asli bahasa negara asal makanan itu.
Pengalihan nama gado-gado menjadi “steam vegetables with coconut sauce” terkesan lucu dan membanyol. Kelucuan itu semakin menjadi-jadi ketika sekelompok orang menjadikan nama makanan Indonesia yang diinggriskan sebagai wadah kreativitas bercanda. Contohnya, Bebek Goreng Haji Slamet “fried duck Haji Safety”, lontong balap “racing rice cake”, ayam geprek “chicken smackdown”, bakso beranak “pregnant meatball”, bakso Solo “single meatball”, dan kopi tubruk “crash coffee”.
Terlepas dari kebiasaan sebagian orang Indonesia yang senang bercanda, penggunaan bahasa di ruang publik memang harus diatur dan ditertibkan. Anggapan yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa asing mampu mendongkrak prestise harus diluruskan. Tidakkah sebaliknya, ketika kita melemahkan bahasa nasional justru prestise itu turun karena tidak disertai sikap dan kepribadian yang kuat sebagai anak bangsa? Bukankah sikap yang terus menerus mengagungkan “sesuatu yang asing” justru memudarkan warna asli diri sendiri?
Pemilihan bahasa yang digunakan di ruang publik dipengaruhi oleh pengetahuan kebahasaan (Susanti dan Agustini, 2016) dan sikap bahasa (Syarfina, 2015). Menurut Reber (2010), pengetahuan dalam makna kolektif merupakan kumpulan informasi yang dimiliki oleh seseorang, kelompok, atau budaya tertentu; secara umum pengetahuan merupakan komponen-komponen mental yang dihasilkan dari semua proses apa pun, bawaan lahir ataupun dicapai melalui pengalaman. Sikap bahasa, menurut Garvin dan Matthiot (Fishman, 1972), dapat dirumuskan dalam tiga ciri sikap, yaitu kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran adanya norma bahasa. Lambert (1967) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Mengacu pada pendapat Lambert (1967), berarti upaya untuk “memperbaiki” kondisi tersebut harus “menyentuh” komponen kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan kebahasaan dan informasi yang berkaitan; afektif menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap bahasa Indonesia; dan konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.
Meskipun kasus penggantian nama gado-gado (lotek, serabi, dan kupat tahu) tergolong sederhana, kecintaan pada sesuatu yang asing menunjukkan kurangnya tanggung jawab dan penghargaan terhadap bahasa nasional. Alangkah indahnya jika nama-nama makanan tersebut tetap dipertahankan dalam bahasa Indonesia.
Ketika berkunjung ke swalayan di Hoogerheide, kota kecil di negeri Belanda yang berbatasan dengan Belgia, ada keterkejutan yang menyenangkan hati. Botol-botol beraneka ukuran dengan berbagai bentuk terpajang rapi di atas rak kayu bertingkat. Pada tingkat teratas berjejer rapi kotak-kotak kecil beraneka warna berisikan beragam produk. Di dinding rak bagian teratas digantungkan dengan rapi kemasan kecil. Keterkejutan tadi berasal dari kata-kata yang tertulis pada botol, kotak, dan kemasan kecil itu. Sambal ulek, sambal bajak, sambal rujak, bumbu rendang, bumbu nasi goreng, bumbu gado-gado, bumbu kuah sate, bumbu gulai kuning, bumbu tempe goreng, dan sebagainya.
Awalnya dikira produk-produk tersebut diimpor dari Indonesia, ternyata tidak. Artinya, nama produk-produk itu dipertahankan tetap dalam bahasa Indonesia meskipun diproduksi di Belanda. Bisa jadi karena produk khas Indonesia dengan nama Indonesia akan memiliki nilai komersial yang lebih tinggi, bisa juga karena pertimbangan lain.
Keterkejutan menyenangkan hati masih berlanjut di negeri kincir angin ini, ada restoran yang menjual gado-gado dengan nama “gado-gado”. Lalu, mengapa ada “oknum” di Indonesia yang menggantinya dengan nama “steam vegetables with coconut sauce”? Entahlah!*
FATMAWATI ADNAN, Balai Bahasa Riau