(RIAUPOS.CO) — Sektor properti kembali menjadi senjata andalan pemerintah untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Sebelumnya, pemerintah menaikkan ambang batas (threshold) harga rumah mewah yang bisa dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dari Rp10 miliar menjadi Rp30 miliar.
Threshold harga Rp30 miliar itu juga akan digunakan untuk pengenaan pajak penghasilan (PPh) pasal 22. Jadi, rumah yang harganya di bawah Rp30 miliar tidak dikenai PPh. Sebelumnya, rumah seharga Rp5 miliar bisa dikenai PPh. Selain itu, tarif PPh pasal 22 turun dari 5 persen menjadi 1 persen. Rencananya, kebijakan penurunan tarif itu keluar sekitar seminggu mendatang.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suahasil Nazara menjelaskan, upaya tersebut dilakukan karena demand rumah mewah terus menurun. ’’Pengembang bilang ke kami bahwa mereka butuh margin yang besar dari penjualannya. Margin yang besar itu lebih mudah didapat kalau menjual rumah mewah daripada mereka harus jual lebih banyak rumah sederhana,’’ katanya Jumat (21/6).
Selain itu, pemerintah menaikkan threshold harga rumah yang tidak kena pajak pertambahan nilai (PPN). Harga setiap rumah ini berbeda-beda di setiap daerah. Misalnya, pada 2018 harga rumah di Jawa (kecuali Jabodetabek) dan Sumatera yang tidak kena PPN maksimal Rp130 juta. Tahun ini batasan harga tersebut naik 7,69 persen menjadi Rp140 juta. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/PMK.010/2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari PPN.
Kebijakan tersebut terus direvisi setiap tahun seiring dengan kenaikan harga rumah. Pada 2020, misalnya, berdasar catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengusulkan threshold harga rumah bebas PPN kembali naik. Contohnya, untuk Jawa dan Sumatera, harga batasan itu diusulkan naik 7,50 persen menjadi Rp 150.500.000.
Selain harga, luas rumah yang bebas PPN disyaratkan tidak lebih dari 36 meter persegi. Luas tanahnya tidak kurang dari 60 meter persegi. Pemilik rumah harus tergolong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rumah tersebut harus merupakan rumah pertama dari si pemilik dan tidak boleh dipindahtangankan selama empat tahun sejak dimiliki. Syarat-syarat itu mirip dengan syarat rumah bersubsidi meski peraturan pembebasan PPN itu tidak terbatas hanya pada rumah subsidi. Di luar itu, rumah yang dibangun sebagai bantuan bagi korban bencana bebas PPN.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengungkapkan, pemerintah juga telah memudahkan prosedur validasi PPh penjualan tanah dan bangunan dari 15 hari menjadi 3 hari. Itulah yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-28/PJ/2018.
Simplifikasi pengurusan PPh final bagi pengembang tersebut diharapkan dapat menggairahkan sektor properti. Sebab, pengembang maupun notaris yang ditunjuk lebih mudah mengurus administrasi. ’’Ya, pada intinya kami ingin properti ini lebih cepat tumbuh. Sebab, multiplier effect dari sektor ini cukup besar,’’ ujar Robert. (rin/c14/oki/lim)
Laporan JPG, Jakarta