Oleh: Dahlan Iskan
Awalnya saya berpikir Bentjok –Benny Tjokrosaputro– pasti lolos lagi. Kali ini pun. Ternyata Kejaksaan Agung kali ini hebat. Bentjok sudah ditetapkan sebagai tersangka. Bersama empat tersangka lainnya. Dalam kasus Jiwasraya yang seru itu.
Semula saya pikir Bentjok masih pintar: bisa lepas dari jeratan hukum. Dengan menggunakan hukum-hukum dagang yang tersedia. Yang, menurut hukum itu, bisa saja ia merasa benar. Bisa saja Bentjok merasa sudah sesuai dengan peraturan yang ada.
Dalam hal itu Bentjok memang orang yang terkenal pintar. Ia tidak merasa menipu – -meski ada yang tiba-tiba tertipu. Bentjok pasti merasa benar. Yang salah, menurut jalan pikiran itu, adalah orang yang merasa tertipu itu.
Atau orang yang membodohkan diri sehingga mau tertipu. Atau orang itu disuruh bodoh sampai tidak merasa kalau akan tertipu.
Bentjok adalah tipe orang yang berpikir panjang. Segala langkahnya sudah dihitung. Pun untuk masa yang jauh. Termasuk sudah memperhitungkan akibat hukumnya.
Bahwa sekarang ia jadi tersangka mungkin salahnya pepatah –sepandai-pandai tupai melompat akhirnya ada tangga yang jatuh.
Bahwa ia pernah memakai uang Jiwasraya ratusan miliar ia akui. Tapi, katanya, sudah lunas. Dan proses pemakaian uang itu pasti sudah ia persiapkan. Ia pasti sudah melengkapinya dengan dokumen yang rapi.
Bentuknya pun pasti sudah diatur yang tidak melanggar hukum –menurut ia.
Misalnya waktu mengeluarkan MTN –surat utang jangka menengah. Mediun term note.
Itulah cara Bentjok pinjam uang secara legal. Kesalahan Jiwasraya: kok mau meminjami.
Tapi direksinya juga merasa tidak salah. Mereka mengejar bunga besar. Untuk menutup defisit yang terjadi sejak turun menurun.
Secara hukum semua perusahaan boleh menerbitkan MTN. Sesuai dengan peraturan internal perusahaan itu.
Secara hukum pula semua perusahaan boleh membeli MTN. Sesuai dengan aturan internal mereka.
MTN itu sederhana. Untuk bisa menerbitkan MTN modalnya satu: selembar kertas. Yang diberi tanda tangan dan stempel.
Siapa saja –termasuk Anda– bisa menerbitkan MTN. Untuk mendapatkan uang berapa saja. Pun sampai ratusan miliar.
Alatnya benar-benar hanya selembar kertas biasa. Betul-betul selembar kertas saja. Yang ada kop surat perusahaan Anda.
Di kertas itu Anda cukup menulis: dengan ini kami berhutang, misalnya, Rp 500 miliar. Utang akan dibayar pada tanggal…. (bisa kapan saja atau tiga tahun kemudian atau sesuai dengan kesepakatan). Dengan bunga…persen setahun. Misalnya 10 persen atau 12 persen. Kian tinggi bunga yang Anda janjikan kian banyak peminatnya.
Lalu Anda tanda tangani di bagian bawah. Disertai nama terang. Juga jabatan Anda di perusahaan itu –sebagai direktur utama.
Selembar surat itu Anda serahkan ke perusahaan sekuritas. Atau juga disebut pialang. Broker.
Pialanglah yang memasarkan surat itu. Pialang yang mencari pembeli. Pialang juga yang ikut menjamin utang itu akan kembali.
Anda hanya harus membayar komisi kepada pialang. Bisa setengah persen. Bisa satu persen. Tergantung tingkat kepepet Anda untuk segera mendapatkan uang itu.
Bisa juga Anda sendiri yang mencari pembeli. Misalnya, kebetulan, Anda punya banyak kenalan.
Biar pun bisa mendapat pembeli sendiri tetap saja Anda harus melewatkan utang itu ke pialang. Hanya bayar fee-nya bisa lebih kecil.
Dalam kasus seperti ini pialangnya tidak perlu bekerja. Hanya diperlukan legalitasnya.
Untuk orang sekelas Bentjok ia harus punya perusahaan pialang sendiri. Atau perusahaannya orang lain tapi sebenarnya ia juga yang punya. Setidaknya pengendalinya –pakai remote control sekali pun.
Ke mana perusahaan pialang memasarkannya?
Mereka biasanya tahu: siapa saja yang punya uang nganggur. Atau siapa saja yang ingin memutar uang. Yang kalau ditaruh di bank hanya mendapat bunga 5 atau 6 persen.
Kalau Anda menawarkan surat utang itu dengan bunga 12 persen tentu banyak yang mau.
Di Mayapada ini banyak orang yang tertarik bunga tinggi. Ada juga yang tergiur komisi di bawah tangan –untuk kantong pribadi.
Kalau Anda direktur utama dari perusahaan milik Anda sendiri, Anda pasti tidak mau komisi gelap seperti itu.
Anda akan memilih memperoleh bunga setinggi-tingginya. Ditambah jaminan bahwa utang pasti kembali.
Kalau perlu minta jaminan tambahan yang cukup.
Tapi kalau Anda direktur utama dari sebuah perusahaan yang bukan milik Anda, komisi gelap itu sangat menggiurkan. Apalagi kalau pemilik perusahaan itu negara. Yang hanya mementingkan proses legalitas. Yang penting administrasinya benar. Padahal administrasi itu bisa diberes-bereskan.
Tidak akan ketahuan –kalau nasibnya baik.
Apalagi kalau transaksinya di luar negeri. Seperti di Petral. Atau di Garuda. Yang proses administrasinya ada di luar negeri.
Bahwa kasus Garuda terkuak itu hanya karena nasib tadi –di sononya terbongkar.
Maka Benny Tjokrosaputro pasti merasa akan lolos lagi. Secara administrasi ia pasti bisa bebuat tidak salah. Semua transaksinya sudah dibuat legal. Apalagi –seperti dikatakannya kepada media– ia sudah melunasinya.
Satu-satunya faktor yang bisa membuat Benny ‘kena’ adalah: kalau ia menyuap direksi Jiwasraya. Agar Jiwasraya mau membeli surat utangnya. Atau kalau ia menyuap siapa pun yang terkait transaksi ini.
Tapi orang seperti Benny pasti teliti. Tidak akan mengirim suap –sebut saja komisi– seperti itu lewat rekening bank. Yang bisa dilacak di kemudian hari.
Kalau pun dibayar kontan lewat orang pasti sudah diputus mata rantainya.
Bagaimana kalau direksi Jiwasraya mengaku disogok?
Emangnya mau mengaku?
Benny bukan orang bodoh.
Benny itu sudah belajar main saham sejak umur 19 tahun. Sejak masih SMA. Yakni menggunakan uang jajan dari ayahnya –si pewaris Batik Keris Solo. Yang terkenal itu. Benny adalah cucu pendiri perusahaan batik itu.
Tapi MTN bukan satu-satunya transaksi antara Jiwasraya dan perusahaan Bentjok.
Masih ada lagi transaksi lewat pasar modal: membeli saham Henson International milik Bentjok.
Jiwasraya belanja saham Henson Internasional ketika harganya Rp 1.300/lembar. Sebanyak Rp 760 miliar.
Banyak yang menilai itu kemahalan. Tapi itulah harga resmi di pasar modal. Setahun kemudian harga saham itu naik drastis. Menjadi Rp 1.865/lembar.
Saat inilah mestinya Jiwasraya jual saham. Bisa untung lebih Rp 100 miliar.
Tapi itu tidak dilakukan. Mungkin menunggu harga naik lagi. Padahal setelah itu saham Henson terjun bebas. Ke dasar jurang yang paling dalam: tinggal Rp 50/lembar.
Tidak ada lagi harga saham yang lebih rendah dari itu. Itulah saham asfalasafilin.
Hitung sendiri berapa ratus miliar uang Jiwasraya hilang.
Saya bukanlah pengamat pasar modal. Juga tidak pernah beli saham di bursa –sejak tahun 1999. Sejak uang saya habis terbakar di bursa saham –akibat krisis moneter terberat dalam sejarah Indonesia. Yang sampai membuat Presiden Soeharto lengser.
Mungkin justru ada pembaca yang tahu, ada apa dengan Henson saat itu. Kok sahamnya terjun bebas seperti itu.
Betul-betul terjun bebas. Hanya dalam hitungan jam. Di sekitar hari pergantian presiden tahun 2014 itu.
Ternyata tidak hanya politik yang memanfaatkan ‘masa transisi’ melainkan juga para pemain saham.
Begitulah jadinya.
Sepanjang yang diberitakan media, hanya dua jenis transaksi itu yang terkait dengan Benny –MTN dan beli saham.
Yang MTN, katanya, sudah dilunasi empat tahun lalu. Yang untuk beli saham ya sudah terkubur secara sah di jurang penggorengan itu.
Kalau benar MTN itu sudah dilunasi empat tahun lalu, jangan-jangan justru di sini lucunya: uang untuk melunasi utang ke Jiwasraya itu memakai uang Jiwasraya yang untuk membeli saham itu.
Kalau benar begitu, sungguh luar biasa lihainya.
Apalagi kalau ia sendiri yang bisa membuat harga saham naik dan harga saham turun.
Tapi belum tentu seperti itu. Kita tunggu hasil pengusutannya.
Benny sendiri bukan sosok yang misterius. Bukan orang yang sembunyi-sembunyi. Ia orang yang selalu yakin langkahnya tidak melawan hukum.
Misalnya saat Benny mengumpulkan uang dari publik. Yang juga mencapai ratusan miliar rupiah. Yang kemudian diperiksa OJK. Dan dinyatakan melanggar.
Benny tenang saja. Memang ia lantas menghentikan pengumpulan dana itu. Dan hanya membayar denda.
Tapi seandainya perkara ini sampai ke ranah hukum pun ia sangat siap –dengan dokumen yang bisa dianggap tidak melanggar hukum.
Bisa saja ada dokumen transaksi yang disiapkan di balik proses pengumpulan dana itu. Misalnya bisa saja disiapkan dokumen jual beli tanah. Bisa saja secara resmi mereka itu bukan ‘menempatkan uang’. Tapi pembeli kapling tanah. Tanahnya ada –setidaknya di layar komputer.
Untuk itu pembeli bisa saja diberi bunga 12 persen setahun. Sebelum tanahnya diserahterimakan. Selama uang mereka disimpan di situ.
Bisa jadi pemilik uang sendiri tidak berharap memperoleh tanah itu sungguh-sungguh. Sepanjang bunga tingginya terus dibayar.
Saat harga tanah sudah menjadi mahal Benny bisa membayar kembali uang mereka. Atau terus membayar bunga. Agar uangnya bisa dipakai yang lain lagi.
Memang bisa saja kelihatannya orang menabung uang ke Benny. Tapi disertai dokumen transaksi jual beli tanah –sebagai jaga-jaga kalau dianggap melanggar.
Benny memang punya banyak tanah. Bisnisnya memang di bidang bank tanah. Ia beli tanah. Ia jual tanah.
Orang Solo akan menyebut orang seperti Benny sebagai pengusaha lemah –lemahe akeh tenan.
Kini Benny punya sekitar 6.500 ha tanah. Betapa kayanya. Pun ia masih perlu banyak uang untuk terus membeli tanah. Kadang ia ‘sulit uang’ kalau jualan tanahnya lagi sepi.
Seperti empat tahun terakhir ini.
Benny sudah main tanah sejak muda. Sejak masih di Solo.
Awalnya karena ia jengkel: setiap Batik Keris mau memperluas pabrik harga tanah di sebelahnya sudah naik.
Maka Benny muda memutuskan agar Batik Keris sekalian saja beli tanah yang luas. Kapan pun mau memperluas pabrik tidak jengkel lagi.
Ternyata perkembangan Batik Keris tidak terus memerlukan perluasan pabrik. Ternyata jualan rumah lebih cepat mendapat uang –daripada jualan batik.
Maka tanahnya yang ‘itu’ dijadikan real estate. Di Solo Baru. Itulah real estate pertama yang modern di Solo. Di selatan kota Solo. Sudah masuk wilayah kabupaten. Kabupaten apa ya? Sukoharjo?
Dari situ Benny lebih tertarik ke tanah daripada batik.
Ups… Juga tetap tertarik main saham.
Meski begitu Benny tidak rela digelari tukang goreng saham. Beberapa kali ia menepis gelar itu. Tapi itulah gelar yang sudah amat terkenal di lingkungan bursa saham.
“Saya ini lebih tepat dikatakan suka membawa perusahaan ke pasar modal,” katanya pada media.
Memang banyak sekali perusahaan Benny yang sudah melantai di pasar modal.
Sudah banyak media yang memuat keterangannya seperti itu. Bukan penggorengan saham seperti gelar itu. Tapi penjelasannya itu tidak mampu mencabut gelarnya sebagai tukang goreng saham.
Saham dan tanah.
Langit dan bumi.
Benny menguasai langit dan menguasai bumi.
Saat di bumi ia terlihat lagi di langit.
Saat di langit ia terlihat dari bumi.
Maka Benny bukanlah sosok misterius. Itu terlihat dari seringnya Benny melayani wartawan.
Mingguan bisnis Kontan pernah menerbitkan wawancara amat panjang dengan Benny. Sangat menarik. Isinya masih saya ingat sampai sekarang. Yang antara lain menjadi bahan tulisan ini.
Setidaknya dua kali Benny menjadi orang mulia. Pertama ketika ia menolong adiknya dari kebangkrutan. Ia lunasi utang adiknya.
Kedua, ketika ia datang ke bank untuk melunasi utang adiknya.
Sayangnya ia gagal melunasi utang itu. Bukan karena tiba-tiba tidak mau. Tapi tidak bisa. Saat ia datang ke bank itu banknya sudah tutup. Selamanya. Bank itu dilikuidasi oleh pemerintah di saat krismon 1998.
Lalu ia datang ke BPPN –yang mengambil alih bank itu. Sebenarnya Benny tidak harus mengejar untuk melunasi hutang adiknya. Toh dokumen-dokumennya hilang.
Tapi, menurut Benny, utang adalah utang. Ia bayar utang adiknya itu dengan tanah.
Benny mengaku menyerahkan 6.000 ha tanah ke BPPN.
Begitu mulianya.
Yakni tanah di Serpong –entah siapa yang mengembangkan tanah itu sekarang.
Sebaliknya dalam kasus saham Bank Pikko. Yang akhirnya ditutup itu. Nama Benny hitam di situ.
Ia terbukti melakukan goreng saham. Ialah yang menaikkan dan menurunkan harga saham. Tapi ia bisa lolos. Hanya harus membayar denda. Sebesar keuntungan yang ia dapat. Ia harus menyerahkan seluruh keuntungan dari goreng sahamnya itu ke kas negara. Negara untung. Tapi para pembeli saham tetap rugi. Uang mereka hangus di penggorengan.
Kini ujian datang lagi. Di Jiwasraya.
Kali ini ia jadi tersangka.
Kita akan melihat persilatan seperti apa lagi yang akan dimainkan Benny.
Hanya saja Benny bukan tipe orang yang suka lari. Ia orang Solo dalam pengertian yang sebenarnya. Tanah airnya adalah Solo. Tidak akan lari ke mana-mana.
Siapa pun tetap bisa menunggunya di Solo –meski bukan di stasiun Balapan Solo.
Benny hanyalah salah satu dari mereka yang mendapat aliran dana Jiwasraya.
Bisa jadi yang lain-lain itu bisa lebih rumit dari Benny.
Yang kalau diusut secara hukum kelihatannya belum tentu uang bisa kembali.
Rasanya kalau perlu minta bantuan Pak Harto –yang dengan tersenyum pun uang bisa kembali.
Yang penting uang kembali.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman