Jumat, 22 November 2024

Memahami Akar Budaya Melayu, Seminar Literasi Kebudayaan Bank Indonesia

- Advertisement -

Hal penting yang saat ini kurang diperhatikan adalah minimnya pemahaman generasi muda tentang akar dan sejarah budaya Melayu. Seminar diharapkan bisa menjadi pemantik agar pemahaman tersebut terus dilakukan.

RIAUPOS.CO – BANK Indonesia (BI) Wilayah Riau menyelenggarakan Seminar Literasi Kebudayaan dengan tema “Literasi Budaya Melayu sebagai Tonggak Kepemimpinan Generasi Muda”, Rabu (22/5/2024) di Pekanbaru. Kegiatan ini diselenggara dalam rangka memperingati World Book Day (Hari Buku Dunia) 2024. Ini merupakan sebuah kemajuan ketika bank sentral yang selama ini sibuk mengurus regulasi tentang keuangan, mau menyelenggarakan acara seminar yang berhubungan dengan literasi dan kebudayaan.

- Advertisement -

Tampil sebagai pemakalah dalam kegiatan ini adalah Ketua Umum Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Datuk Seri H Taufik Ikram Jamil; budayawan pendiri Rumah Kreatif Suku Seni, SPN Marhalim Zaini; Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Riau, Panji Achmad; dan Duta Museum Nasional Riau, Chandra Alfindodes, yang dipandu Michiko Frizdew.

Saat memaparkan pekirannya, Taufik Ikram Jamil (TIJ) menjelaskan, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang bersikukuh bahwa budaya Melayu itu berasal dari Riau. Buku bertajuk Asal Usul Melayu yang induknya di Benua Sunda, makin meramaikan pembicaraan sejarah asal-muasal Melayu. Buku ini ditulis oleh Zaharah Sulaiman, Wan Hashim Wan Teh, dan Nik Hassan Shuhaimi bin Abdul Rahman, diterbitkan oleh Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, tahun 2014.

Salah satu bagian tentang penemuan saintifik disebutkan sebagai penemuan terbaru yang jelas-jelas menolak teori Melayu yang disebut berasal dari Taiwan maupun Yunan sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya. Kata TIJ, orang Melayu dari benua Sunda itu menyebar ke berbagai kawasan sekaligus dan membentuk bangsa-bangsa lain.

- Advertisement -
Budayawan Marhalim Zaini (kedua kiri) sedang memaparkan pokok pikirannya bersama pembicara lainnya, Chandra Alfindodes (paling kiri), Taufik Ikram Jamil (dua kanan) dan moderator Michiko Frizdew dalam Seminar Literasi Kebudayaan dengan tema “Literasi Budaya Melayu sebagai Tonggak Kepemimpinan Generasi Muda”, di Pekanbaru, Rabu (22/5/2024).

“Riau ini memiliki lebih dari 20 pusat kerajaan yang mana kerajaan yang paling lama berdiri sampai abad 20 itu adalah Kerajaan Indragiri,” kata TIJ.

Ia menuturkan, dalam fakta sejarah, nama Riau berkaitan langsung dengan pembukaan negeri di Sungai Carang, Bintan –sekarang masuk dalam administratif pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kegiatan ini dilakukan Laksamana Abdul Jamil atas perintah Sultan Johor Abdul Jalil Syah III (1623-1677). Tapi Raja Kecik yang menjadikannya sebagai pusat Kerajaan Johor, awal abad ke-18, sebelum mendirikan Siak tahun 1722. Saat Indonesia merdeka, Riau kemudian menjadi provinsi tahun 1957 yang semula beribu kota di Tanjungpinang, kemudian pindah ke Pekanbaru mulai 1 Januari 1960.

Jauh sebelum itu, Muara Takus adalah pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum pindah ke Palembang. Pada abad ke-14, kekuatan ini melemah, kemudian berusaha kembali membangun kejayaan ke Bintan. Dari pulau itu, dinasti kembali ke Sumatra dengan memasuki Sungai Indragiri, sampai ke Kuantan, juga ke Pagaruyung (kini Sumatra Barat/Sumbar).

Balik ke Bintan, kata TIJ, alur sejarah berpindah ke Tumasik yang kemudian diserang Singosari, sehingga berpindah ke Melaka. Dari sini Kemaharajaan Melayu mekar sampai akhirnya diserang Portugis tahun 1511. Pusat pemerintahan kemudian pindah ke Bintan kembali, kemudian Kampar, sampai Sultan Melaka terakhir yakni Sultan Mahmudsyah, meninggal dunia di Pekantua, Pelalawan. Keturunannya kemudian melanjutkan pemerintahan ke Johor dan Bintan, dalam rentang waktu tertentu.

Pimpinan Bank Indonesia Wilayah Riau, para pembicara, dan peserta foto bersama dalam Seminar Literasi Kebudayaan dengan tema “Literasi Budaya Melayu sebagai Tonggak Kepemimpinan Generasi Muda”, di Pekanbaru, Rabu (22/5/2024).

Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah nakhoda asal Siak yang berpangkalan di Melaka yakni 14 orang pada tahun 1768, menjadi 24 oang pada 1770, meningkat lagi menjadi 45 orang tahun 1775. Menurun menjadi 37 orang tahun 1780, tapi melonjak tajam tahun 1785 yakni menjadi 96 orang, meski kembali menurun tahun 1791 menjadi 35 orang. Angka-angka ini jauh di atas jumlah nakhoda dari kawasan lain seperti Kedah, Batubara, Riau, bahkan Melaka sendiri. Jumlah nakhoda itu, sejalan dengan jumlah asal kapal yang berlabuh di Melaka. Dan 30 kawasan asal kapal 8 yang didata, kapal dari Siak amat mendominasi.

Baca Juga:  Festival Film Pendek Siak 2024, Munculkan Sineas-Sineas Muda Berbakat

TIJ melanjutkan, pada tahun 1770, kapal yang berlabuh dari Siak di Malaka sebanyak 17 kapal, melonjak tajam tahun 1783 yakni 70 kapal, kemudian melonjak lagi menjadi 74 kapal dan 76 kapal pada tahun 1785 scrta 1791. Angka-angka ini akan bertambah besar manakala asal kapal dari sejumlah daerah yang sebenarnya merupakan daerah dalam kuasa Kerajaan Siak, digabungkan dalam data sebagai kapal yang datang dani Siak seperti Rokan, Asahan, dan Batubara. Jumlah kapal dari daerah lain yang bersandar di Melaka hanya dalam bilangan 1-17 kapal saja. Daerah tersebut antara lain Kedah, Selangor, Aceh, Jambi, Kampar, Surabaya, dan Gresik. Dapat disimpulkan bahwa kapal yang bersandar di pelabuhan Melaka didominasi Siak yaitu 18-88 persen.

Selain membahas sejarah kekuasaan kerajaan-kerajaan Melayu, TIJ juga menjelaskan tentang pentingnya memahami kebudayaan Melayu dengan baik. “Kecenderungan masyarakat yang menjadikan orang Melayu diantaranya beragama Islam, beradat kebudayaan Melayu, berbahasa Melayu, dan mengakui bahwa dirinya adalah orang Melayu. Karena bahasa Melayu itu ada banyak yaitu Melayu Kampar, Melayu Rokan, Melayu Pelalawan, Melayu Kuansing, Melayu Indragiri dan lainnya,” jelas penulis novel Hempasan Gelombang tersebut.

Pada bagian lain, Marhalim Zaini memaparkan tentang bagaimana sebuah buku berperan penting dalam kehidupan kita. Makna buku bagi kebudayaan Melayu, jelas Marhalim, semestinya dilihat dalam konteks yang lebih luas, setidaknya dalam dua kategori yaitu karena keduanya sampai kini masih hidup dalam masyarakat dan keduanya sama-sama perkembangan yang beriringan dan juga keduanya adalah kekayaan dunia di mana buku kekayaan kebudayaan Melayu. Selain itu, kelisanan atau orality adalah teks yang tidak atau belum tertulis yang termaktub dalam ingatan para penutur tradisi lisan.

Kelisanan merupakan jurnal dalam buku tebal yang memiliki kekuasaan nilai-nilai tradisi, salah satunya adalah sastra lisan. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di masyarakat daripada sastra tulis, karena diwariskan secara turun-menurun dari mulut ke mulut, yaitu pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, syair, cerita rakyat, mantra, dan lainnya.

Menurut sutradara dan penulis naskah Opera Melayu Tun Teja ini, kelisanan juga di dongengkan karena terdapat nilai pendidikan moral, agama, sosial, dan kebudayaan. Sastra lisan Melayu ini memiliki ingatan yang cukup kuat dan juga panjang. Memiliki bahasa yang bertutur yang sangat indah dan bermakna, dan kata-katanya memiliki kekuatan.

“Budaya kelisanan ini bisa banyak kita jumpai pada orang tua kita yang mengerti akan sejarah dan budaya. Saya lebih banyak melakukan perjalanan ke perkampungan di Riau ini untuk bertemu para orang tua karena merekalah ahli sejarah yang paham akan kebudayaan Melayu melalui kelisanan atau cerita dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi,” ujar lelaki yang juga pendiri Komunitas Paragraf ini.

Sedangkan keberaksaraan atau literasi, yaitu buku dalam makna keberaksaraan adalah teks tertulis yang termaktub di dalam lembaran-lembaran kertas atau sejenisnya. Dunia kepengarangan Kerajaan Melayu Riau, kata Marhalim, dimulai pada abad 19 di Kerajaan Riau Lingga. Beragam buku yang dilahirkan di bidang bahasa, sastra, agama, dan juga sejarah, tidak hanya mengarang tapi juga menyalin, menyusun, dan mengubah serta mennerjemahkan. Para sastrawan yang lahir pada saat itu adalah Raja Ali Haji, Raja Ali Tengku Kelana, Raja Hitam, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Raja Zaleha, dan lainnya.

Baca Juga:  Bank Indonesia Diperkirakan Tahan Suku Bunga Acuan

Di era ini juga muncul kelompok cendekiawan Melayu, yaitu Rusydiah Club pada tahun 1894. Juga lahir percetakan buku Mutabatul Ahmadiyah. Muncul juga salah seorang pengarang perempuan yang menulis pada usia muda, yakni Raja Aisyah Sulaiman. Karya-karyanya antara lain Hikayat Syariful Akhtar, Hikayat Syamsul Anuar, Syair Seligi Tajam Bertimbal, dan Syair Khadamuddin. Meski memiliki beberapa karya kuat, Aisyah Sulaiman tidak sepopuler seperti kakeknya, Raja Ali Haji, yang menulis Gurindam 12.

“Memetik pelajaran kepengarangan Melayu dan dunia buku telah dimulai sejak bangsa Melayu ini ada, karena kebudayaan Melayu menjadi identitas yang sangat kuat. Hal yang sama juga terjadi di dunia literasi bersebati dengan kehidupan bermasyarakat, yaitu di mana kebudayaan Melayu menjadi identitas yang masih sangat kuat dijaga oleh masyarakat. Dunia pendidikan selalu identik dengan dunia buku. Menulis sejak masa muda buku membuat nama dan pikiran mereka abadi,” jelas Marhalim lagi.

Sementara itu, Duta Musim Nasional Riau, Chandra Alfindodes, menjelaskan tentang implementasi literasi kebudayaan Melayu pada generasi muda saat ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang dimiliki, di mana hampir semua generasi muda di Riau maupun Indonesia selalu menggunakan telepon pintar untuk beraktivitas teknologi. Ini bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan budaya literasi kepada masyarakat luas.

Pasalnya, sampai saat ini banyak generasi muda yang malah melestarikan kebudayaan asing melalui gadget mereka dibandingkan melestarikan kebudayaan Melayu yang berada di sekitar mereka. Padahal, jika generasi muda bisa memanfaatkan teknologi yang mereka miliki untuk memperkenalkan kebudayaan Melayu yang ada di sekitarnya kepada khalayak luas, itu sama dengan wujud dari literasi kebudayaan.

“Jadi gadget bisa digunakan untuk merekam semua kebudayaan di tanah Melayu ini untuk disebarluaskan melalui media sosial. Salah satunya saat kita melakukan kunjungan ke Istana Siak, misalnya. Dengan semua keindahan yang ada itu bisa kita perkenalkan kebudayaan Melayu kepada dunia melalui sosial media dan teknologi. Hal inilah yang seharusnya dimanfaatkan oleh generasi muda agar literasi kebudayaan Melayu tidak hilang dimakan zaman,” jelas Chandra.

Kepala Kantor Perwakilan BI Riau, Panji Achmad, mengatakan, dalam rangka memperingati World Book Day 2024 Perpustakaan Bank Indonesia Kantor Perwakilan Wilayah Riau, seminar ini untuk meningkatkan literasi kebudayaan Riau kepada generasi muda. Karena, salah satunya, seperti diketahui, sektor perekonomian masyarakat di Riau berada di Bengkalis dan pusat pemerintahan saat dulu berada di Riau daratan yaitu Istana Siak (saat itu berada di wilayah Bengkalis) sebelum menjadi kabupaten sendiri saat ini. Dia berharap kegiatan ini menggugah semangat literasi pada pemuda Riau dalam memahami sejarah dan kebudayaan daerahnya dengan baik.

“Semua nilai budaya ini seharusnya dapat terus berkembang dan diketahui oleh generasi muda yang ada,” ujarnya.***

 

Laporan PRAPTI DWI LESTARI, Pekanbaru

Hal penting yang saat ini kurang diperhatikan adalah minimnya pemahaman generasi muda tentang akar dan sejarah budaya Melayu. Seminar diharapkan bisa menjadi pemantik agar pemahaman tersebut terus dilakukan.

RIAUPOS.CO – BANK Indonesia (BI) Wilayah Riau menyelenggarakan Seminar Literasi Kebudayaan dengan tema “Literasi Budaya Melayu sebagai Tonggak Kepemimpinan Generasi Muda”, Rabu (22/5/2024) di Pekanbaru. Kegiatan ini diselenggara dalam rangka memperingati World Book Day (Hari Buku Dunia) 2024. Ini merupakan sebuah kemajuan ketika bank sentral yang selama ini sibuk mengurus regulasi tentang keuangan, mau menyelenggarakan acara seminar yang berhubungan dengan literasi dan kebudayaan.

- Advertisement -

Tampil sebagai pemakalah dalam kegiatan ini adalah Ketua Umum Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Datuk Seri H Taufik Ikram Jamil; budayawan pendiri Rumah Kreatif Suku Seni, SPN Marhalim Zaini; Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Riau, Panji Achmad; dan Duta Museum Nasional Riau, Chandra Alfindodes, yang dipandu Michiko Frizdew.

Saat memaparkan pekirannya, Taufik Ikram Jamil (TIJ) menjelaskan, sampai saat ini masih banyak masyarakat yang bersikukuh bahwa budaya Melayu itu berasal dari Riau. Buku bertajuk Asal Usul Melayu yang induknya di Benua Sunda, makin meramaikan pembicaraan sejarah asal-muasal Melayu. Buku ini ditulis oleh Zaharah Sulaiman, Wan Hashim Wan Teh, dan Nik Hassan Shuhaimi bin Abdul Rahman, diterbitkan oleh Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia, tahun 2014.

- Advertisement -

Salah satu bagian tentang penemuan saintifik disebutkan sebagai penemuan terbaru yang jelas-jelas menolak teori Melayu yang disebut berasal dari Taiwan maupun Yunan sebagaimana disebut pada bagian sebelumnya. Kata TIJ, orang Melayu dari benua Sunda itu menyebar ke berbagai kawasan sekaligus dan membentuk bangsa-bangsa lain.

Budayawan Marhalim Zaini (kedua kiri) sedang memaparkan pokok pikirannya bersama pembicara lainnya, Chandra Alfindodes (paling kiri), Taufik Ikram Jamil (dua kanan) dan moderator Michiko Frizdew dalam Seminar Literasi Kebudayaan dengan tema “Literasi Budaya Melayu sebagai Tonggak Kepemimpinan Generasi Muda”, di Pekanbaru, Rabu (22/5/2024).

“Riau ini memiliki lebih dari 20 pusat kerajaan yang mana kerajaan yang paling lama berdiri sampai abad 20 itu adalah Kerajaan Indragiri,” kata TIJ.

Ia menuturkan, dalam fakta sejarah, nama Riau berkaitan langsung dengan pembukaan negeri di Sungai Carang, Bintan –sekarang masuk dalam administratif pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kegiatan ini dilakukan Laksamana Abdul Jamil atas perintah Sultan Johor Abdul Jalil Syah III (1623-1677). Tapi Raja Kecik yang menjadikannya sebagai pusat Kerajaan Johor, awal abad ke-18, sebelum mendirikan Siak tahun 1722. Saat Indonesia merdeka, Riau kemudian menjadi provinsi tahun 1957 yang semula beribu kota di Tanjungpinang, kemudian pindah ke Pekanbaru mulai 1 Januari 1960.

Jauh sebelum itu, Muara Takus adalah pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum pindah ke Palembang. Pada abad ke-14, kekuatan ini melemah, kemudian berusaha kembali membangun kejayaan ke Bintan. Dari pulau itu, dinasti kembali ke Sumatra dengan memasuki Sungai Indragiri, sampai ke Kuantan, juga ke Pagaruyung (kini Sumatra Barat/Sumbar).

Balik ke Bintan, kata TIJ, alur sejarah berpindah ke Tumasik yang kemudian diserang Singosari, sehingga berpindah ke Melaka. Dari sini Kemaharajaan Melayu mekar sampai akhirnya diserang Portugis tahun 1511. Pusat pemerintahan kemudian pindah ke Bintan kembali, kemudian Kampar, sampai Sultan Melaka terakhir yakni Sultan Mahmudsyah, meninggal dunia di Pekantua, Pelalawan. Keturunannya kemudian melanjutkan pemerintahan ke Johor dan Bintan, dalam rentang waktu tertentu.

Pimpinan Bank Indonesia Wilayah Riau, para pembicara, dan peserta foto bersama dalam Seminar Literasi Kebudayaan dengan tema “Literasi Budaya Melayu sebagai Tonggak Kepemimpinan Generasi Muda”, di Pekanbaru, Rabu (22/5/2024).

Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah nakhoda asal Siak yang berpangkalan di Melaka yakni 14 orang pada tahun 1768, menjadi 24 oang pada 1770, meningkat lagi menjadi 45 orang tahun 1775. Menurun menjadi 37 orang tahun 1780, tapi melonjak tajam tahun 1785 yakni menjadi 96 orang, meski kembali menurun tahun 1791 menjadi 35 orang. Angka-angka ini jauh di atas jumlah nakhoda dari kawasan lain seperti Kedah, Batubara, Riau, bahkan Melaka sendiri. Jumlah nakhoda itu, sejalan dengan jumlah asal kapal yang berlabuh di Melaka. Dan 30 kawasan asal kapal 8 yang didata, kapal dari Siak amat mendominasi.

Baca Juga:  Warga Antre Tukar Uang Pecahan Baru

TIJ melanjutkan, pada tahun 1770, kapal yang berlabuh dari Siak di Malaka sebanyak 17 kapal, melonjak tajam tahun 1783 yakni 70 kapal, kemudian melonjak lagi menjadi 74 kapal dan 76 kapal pada tahun 1785 scrta 1791. Angka-angka ini akan bertambah besar manakala asal kapal dari sejumlah daerah yang sebenarnya merupakan daerah dalam kuasa Kerajaan Siak, digabungkan dalam data sebagai kapal yang datang dani Siak seperti Rokan, Asahan, dan Batubara. Jumlah kapal dari daerah lain yang bersandar di Melaka hanya dalam bilangan 1-17 kapal saja. Daerah tersebut antara lain Kedah, Selangor, Aceh, Jambi, Kampar, Surabaya, dan Gresik. Dapat disimpulkan bahwa kapal yang bersandar di pelabuhan Melaka didominasi Siak yaitu 18-88 persen.

Selain membahas sejarah kekuasaan kerajaan-kerajaan Melayu, TIJ juga menjelaskan tentang pentingnya memahami kebudayaan Melayu dengan baik. “Kecenderungan masyarakat yang menjadikan orang Melayu diantaranya beragama Islam, beradat kebudayaan Melayu, berbahasa Melayu, dan mengakui bahwa dirinya adalah orang Melayu. Karena bahasa Melayu itu ada banyak yaitu Melayu Kampar, Melayu Rokan, Melayu Pelalawan, Melayu Kuansing, Melayu Indragiri dan lainnya,” jelas penulis novel Hempasan Gelombang tersebut.

Pada bagian lain, Marhalim Zaini memaparkan tentang bagaimana sebuah buku berperan penting dalam kehidupan kita. Makna buku bagi kebudayaan Melayu, jelas Marhalim, semestinya dilihat dalam konteks yang lebih luas, setidaknya dalam dua kategori yaitu karena keduanya sampai kini masih hidup dalam masyarakat dan keduanya sama-sama perkembangan yang beriringan dan juga keduanya adalah kekayaan dunia di mana buku kekayaan kebudayaan Melayu. Selain itu, kelisanan atau orality adalah teks yang tidak atau belum tertulis yang termaktub dalam ingatan para penutur tradisi lisan.

Kelisanan merupakan jurnal dalam buku tebal yang memiliki kekuasaan nilai-nilai tradisi, salah satunya adalah sastra lisan. Sastra lisan ini lebih dulu muncul dan berkembang di masyarakat daripada sastra tulis, karena diwariskan secara turun-menurun dari mulut ke mulut, yaitu pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, syair, cerita rakyat, mantra, dan lainnya.

Menurut sutradara dan penulis naskah Opera Melayu Tun Teja ini, kelisanan juga di dongengkan karena terdapat nilai pendidikan moral, agama, sosial, dan kebudayaan. Sastra lisan Melayu ini memiliki ingatan yang cukup kuat dan juga panjang. Memiliki bahasa yang bertutur yang sangat indah dan bermakna, dan kata-katanya memiliki kekuatan.

“Budaya kelisanan ini bisa banyak kita jumpai pada orang tua kita yang mengerti akan sejarah dan budaya. Saya lebih banyak melakukan perjalanan ke perkampungan di Riau ini untuk bertemu para orang tua karena merekalah ahli sejarah yang paham akan kebudayaan Melayu melalui kelisanan atau cerita dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi,” ujar lelaki yang juga pendiri Komunitas Paragraf ini.

Sedangkan keberaksaraan atau literasi, yaitu buku dalam makna keberaksaraan adalah teks tertulis yang termaktub di dalam lembaran-lembaran kertas atau sejenisnya. Dunia kepengarangan Kerajaan Melayu Riau, kata Marhalim, dimulai pada abad 19 di Kerajaan Riau Lingga. Beragam buku yang dilahirkan di bidang bahasa, sastra, agama, dan juga sejarah, tidak hanya mengarang tapi juga menyalin, menyusun, dan mengubah serta mennerjemahkan. Para sastrawan yang lahir pada saat itu adalah Raja Ali Haji, Raja Ali Tengku Kelana, Raja Hitam, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Raja Zaleha, dan lainnya.

Baca Juga:  Pemecahan Rekor Penari dan Bangga Berbusana Melayu

Di era ini juga muncul kelompok cendekiawan Melayu, yaitu Rusydiah Club pada tahun 1894. Juga lahir percetakan buku Mutabatul Ahmadiyah. Muncul juga salah seorang pengarang perempuan yang menulis pada usia muda, yakni Raja Aisyah Sulaiman. Karya-karyanya antara lain Hikayat Syariful Akhtar, Hikayat Syamsul Anuar, Syair Seligi Tajam Bertimbal, dan Syair Khadamuddin. Meski memiliki beberapa karya kuat, Aisyah Sulaiman tidak sepopuler seperti kakeknya, Raja Ali Haji, yang menulis Gurindam 12.

“Memetik pelajaran kepengarangan Melayu dan dunia buku telah dimulai sejak bangsa Melayu ini ada, karena kebudayaan Melayu menjadi identitas yang sangat kuat. Hal yang sama juga terjadi di dunia literasi bersebati dengan kehidupan bermasyarakat, yaitu di mana kebudayaan Melayu menjadi identitas yang masih sangat kuat dijaga oleh masyarakat. Dunia pendidikan selalu identik dengan dunia buku. Menulis sejak masa muda buku membuat nama dan pikiran mereka abadi,” jelas Marhalim lagi.

Sementara itu, Duta Musim Nasional Riau, Chandra Alfindodes, menjelaskan tentang implementasi literasi kebudayaan Melayu pada generasi muda saat ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang dimiliki, di mana hampir semua generasi muda di Riau maupun Indonesia selalu menggunakan telepon pintar untuk beraktivitas teknologi. Ini bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan budaya literasi kepada masyarakat luas.

Pasalnya, sampai saat ini banyak generasi muda yang malah melestarikan kebudayaan asing melalui gadget mereka dibandingkan melestarikan kebudayaan Melayu yang berada di sekitar mereka. Padahal, jika generasi muda bisa memanfaatkan teknologi yang mereka miliki untuk memperkenalkan kebudayaan Melayu yang ada di sekitarnya kepada khalayak luas, itu sama dengan wujud dari literasi kebudayaan.

“Jadi gadget bisa digunakan untuk merekam semua kebudayaan di tanah Melayu ini untuk disebarluaskan melalui media sosial. Salah satunya saat kita melakukan kunjungan ke Istana Siak, misalnya. Dengan semua keindahan yang ada itu bisa kita perkenalkan kebudayaan Melayu kepada dunia melalui sosial media dan teknologi. Hal inilah yang seharusnya dimanfaatkan oleh generasi muda agar literasi kebudayaan Melayu tidak hilang dimakan zaman,” jelas Chandra.

Kepala Kantor Perwakilan BI Riau, Panji Achmad, mengatakan, dalam rangka memperingati World Book Day 2024 Perpustakaan Bank Indonesia Kantor Perwakilan Wilayah Riau, seminar ini untuk meningkatkan literasi kebudayaan Riau kepada generasi muda. Karena, salah satunya, seperti diketahui, sektor perekonomian masyarakat di Riau berada di Bengkalis dan pusat pemerintahan saat dulu berada di Riau daratan yaitu Istana Siak (saat itu berada di wilayah Bengkalis) sebelum menjadi kabupaten sendiri saat ini. Dia berharap kegiatan ini menggugah semangat literasi pada pemuda Riau dalam memahami sejarah dan kebudayaan daerahnya dengan baik.

“Semua nilai budaya ini seharusnya dapat terus berkembang dan diketahui oleh generasi muda yang ada,” ujarnya.***

 

Laporan PRAPTI DWI LESTARI, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari