Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Musik dan Seni dalam Perspektif Islam

(RIAUPOS.CO) – Keberadaan musik sejak dulunya menjadi problematika umat dan para ulama juga memiliki pandangan tersendiri terhadap hal tersebut. Problematika musik di media sosial menjadi perbincangan yang hangat dalam diskusi umat Islam hari-hari ini. Perspektif yang beragam mengenai legalitas musik terus memunculkan pertentangan.

Di satu sisi, ada yang memandang bahwa musik secara mutlak haram; sementara di sisi lainnya, ada yang meyakini bahwa musik tidak memiliki batasan hukum yang tegas. Musik dalam persepktif hukum Islam merupakan terdapat ikhtilaf atau perbedaan pendapat ulama mengenai hukum musik, bernyanyi, dan seni.

Ini sejatinya merupakan persoalan ijtihâdiyah, yakni masalah dalam ranah ijtihad (fî majâl al-ijtihâd), dalam arti tidak jumd (kaku), melainkan terbuka lebar bagi penafsiran (interpretasi). Hal ini karena tidak ada nas yang secara qath’i (pasti) dan sharih (jelas) yang melarang musik, bernyanyi dan seni. Telah maklum bahwa pada dasarnya sifat tafsir atau syarah kebenarannya tidaklah mutlak, melainkan nisbi atau relatif (zanni).

Oleh karena itu, pendapat yang membolehkan musik, bernyanyi dan seni relevan digunakan sebagai panduan. Sungguhpun begitu, pendapat yang membolehkan tersebut dan untuk dijadikan panduan itu bukanlah berarti membolehkan secara mutlak, tanpa batasan, melainkan ada batasan atau syarat-syarat pembolehannya.

Pada dasarnya musik, bernyanyi, dan seni adalah boleh (mubâh). Hal ini setidaknya merujuk pada dua kitab, Ihyâ’ ‘Ulm al-Dîn karya Imam al-Ghazâlî (450-505 H/1058-1111 M), dan al-Fiqh ‘al-Madzâhib al-Arba‘ah karya Syekh ‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî (1299-1360 H/1882-1941 M). Terdapat sejumlah nama sahabat, tabiin dan ulama yang membolehkan musik. Hujjatul Islam Imam al-Ghazâlî memberi apresiasi begitu tinggi terhadap musik, nyanyian dan seni.

Dalam Kitab Ihyâ’ ‘Ulm al-Dîn (Juz II, halaman 273), ia menyampaikan kata-kata indah: Abû Thâlib al-Makkî mengutip tentang kebolehan mendengar (syair, nyanyian) dari sekelompok ulama. Ada di antaranya sahabat ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Abdullah bin Zubair, Mughirah, Muawiyah, dan lainnya. Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa banyak ulama salafus salih, baik sahabat atau tabiin, yang melakukan dengan memandangnya sebagai hal baik.

Baca Juga:  Menanti Pusat Pertumbuhan Ekonomi Riau di Kampar

Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa ulama Hijaz (Makkah dan Madinah, dahulu) selalu mendengarkan nyanyian pada hari utama dalam setahun, yaitu hari yang diperintahkan Allah untuk menyebut nama-Nya, seperti hari Tasyriq. Demikian pula dengan penduduk Madinah sampai zaman kami saat ini. Hingga kami menemukan Qadli Marwan, dia memiliki beberapa budak wanita yang bernyanyi untuk manusia dan ia siapkan untuk para Sufi.

Atha’ juga memiliki dua budak wanita yang bernyanyi, maka saudara-saudaranya mendengarkan keduanya. Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa ada yang bertanya kepada Abû Hasan bin Sâlim, ‘Bagaimana engkau ingkar (melarang) mendengarkan nyanyi, padahal al-Junaid, Sarî Saqathî, Dzun Nûn membolehkan?’

Ia menjawab, ‘Bagaimana aku melarang mendengarkan nyanyian padahal ada orang yang lebih baik dari aku yang membolehkan dan mendengarkan?’ Sungguh ‘Abdullah bin Ja‘far ath-Thayyâr mendengarkan nyanyian. ‘Yang aku ingkari adalah permainan yang ada dalam nyanyian,’” (Ihyâ’ ‘Ulm al-Dîn, Juz II, halaman 267).

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sendiri telah mengeluarkan fatwa mengenai hukum musik. Dalam menanggapi keberagaman pendapat tentang musik, berdasakan buku Tanya Jawab Agama jilid V (2013) Majelis Tarjih membuat tiga klasifikasi:Pertama, jika musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan.

Kedua, jika musik hanya bersifat sebagai hiburan atau permainan semata tanpa dampak yang signifikan, hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, perlu diingat bahwa jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram. Ketiga, jika musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.

Pandangan Majelis Tarjih ini sejalan dengan Imam Al Ghazali. Menurutnya, musik dianggap haram apabila membangkitkan atribut yang tercela dalam diri manusia. Namun, Imam Al Ghazali juga memberikan perspektif yang lebih nuansa terkait hukum ini. Baginya, musik hanya menjadi makruh apabila seseorang terlalu terbuai olehnya, sehingga melupakan kewajiban-kewajiban yang lain.

Lebih lanjut, jika musik hanya dinikmati sebagai bentuk kesenangan tanpa adanya efek negatif yang signifikan, maka statusnya menjadi mubah atau diperbolehkan. Imam Al Ghazali juga menyatakan bahwa musik dapat dianjurkan apabila mampu meningkatkan rasa cinta kepada Allah dan membangkitkan atribut yang terpuji dalam diri manusia. Para ulama menurut Ahmad Ali MD (2022)yang tidak membolehkan musik, nyanyian, dan seni, pada dasarnya karena ada faktor tertentu.

Baca Juga:  Pancasila, Sudah Final!

Pertama, faktor eksternal, yaitu suatu permainan berupa kemungkaran yang menyertai atau diikuti nyanyian, musik dan seni. Artinya jika nyanyian sekadar nyanyian saja, dan bermusik sekedar bermusik saja, juga seni koreografi sekadar koreografi semata, yang di dalamnya tidak ada permainan berupa kemungkaran, seperti mabuk-mabukan, maka tidak apa-apa.

Kedua, karena adanya instrumen alat musik yang dilarang, yang sejatinya tidak semata-mata instrumen alat musik itu yang menyebabkan haramnya nyanyian, melainkan karena ilat (sebab)nya alat-alat itu identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk. Secara spesifik, ada yang melarang penggunaan alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar) ini berdasarkan teks hadis, dan ada pula yang melihat faktor alasannya, yaitu karena alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar), pada masa lalu sangat identik dengan musik-musik para pemabuk, pezina dan sebagainya (sya‘â’ir al-asyrâr).

Jadi, sudah maklum dalam hukum fiqih jika faktor alasannya hilang maka hukumnya juga berubah (al-hukmu yadru ma‘a ‘illatihi wujdan wa‘adaman). Hari ini gitar dan seruling, juga gendang dan drum saat ini tidaklah lagi identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk. Justru dipakai untuk mengiringi nyanyian yang bernuansa dakwah, misalnya digunakan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama dan Soneta, juga digunakan grup qasidah perempuan yang legendaris, bernama Nasidaria.

Oleh karena itu, pernyataan Imam al-Ghazâlî ini penting digarisbawahi: “Berdasarkan dalil qiyas dan dalil nash menunjukkan diperbolehkan nyanyian, menggerakkan tubuh atau koreografi (yang tidak menimbulkan syahwat), menabuh terbang di waktu bahagia yaitu hari raya, pernikahan, walimah, aqiqah, khitan, kedatangan tamu dan bentuk kebahagiaan yang lain.

Berdasarkan paparan di atas marilah kita saling menghormati perbedaan pendapat terkait musik sebagaimana yang telah diulas para ulama.***

Oleh : TGK HELMI ABU BAKAR EL-LANGKAWI

(RIAUPOS.CO) – Keberadaan musik sejak dulunya menjadi problematika umat dan para ulama juga memiliki pandangan tersendiri terhadap hal tersebut. Problematika musik di media sosial menjadi perbincangan yang hangat dalam diskusi umat Islam hari-hari ini. Perspektif yang beragam mengenai legalitas musik terus memunculkan pertentangan.

Di satu sisi, ada yang memandang bahwa musik secara mutlak haram; sementara di sisi lainnya, ada yang meyakini bahwa musik tidak memiliki batasan hukum yang tegas. Musik dalam persepktif hukum Islam merupakan terdapat ikhtilaf atau perbedaan pendapat ulama mengenai hukum musik, bernyanyi, dan seni.

- Advertisement -

Ini sejatinya merupakan persoalan ijtihâdiyah, yakni masalah dalam ranah ijtihad (fî majâl al-ijtihâd), dalam arti tidak jumd (kaku), melainkan terbuka lebar bagi penafsiran (interpretasi). Hal ini karena tidak ada nas yang secara qath’i (pasti) dan sharih (jelas) yang melarang musik, bernyanyi dan seni. Telah maklum bahwa pada dasarnya sifat tafsir atau syarah kebenarannya tidaklah mutlak, melainkan nisbi atau relatif (zanni).

Oleh karena itu, pendapat yang membolehkan musik, bernyanyi dan seni relevan digunakan sebagai panduan. Sungguhpun begitu, pendapat yang membolehkan tersebut dan untuk dijadikan panduan itu bukanlah berarti membolehkan secara mutlak, tanpa batasan, melainkan ada batasan atau syarat-syarat pembolehannya.

- Advertisement -

Pada dasarnya musik, bernyanyi, dan seni adalah boleh (mubâh). Hal ini setidaknya merujuk pada dua kitab, Ihyâ’ ‘Ulm al-Dîn karya Imam al-Ghazâlî (450-505 H/1058-1111 M), dan al-Fiqh ‘al-Madzâhib al-Arba‘ah karya Syekh ‘Abd al-Rahmân al-Jazîrî (1299-1360 H/1882-1941 M). Terdapat sejumlah nama sahabat, tabiin dan ulama yang membolehkan musik. Hujjatul Islam Imam al-Ghazâlî memberi apresiasi begitu tinggi terhadap musik, nyanyian dan seni.

Dalam Kitab Ihyâ’ ‘Ulm al-Dîn (Juz II, halaman 273), ia menyampaikan kata-kata indah: Abû Thâlib al-Makkî mengutip tentang kebolehan mendengar (syair, nyanyian) dari sekelompok ulama. Ada di antaranya sahabat ‘Abdullah bin Ja’far, ‘Abdullah bin Zubair, Mughirah, Muawiyah, dan lainnya. Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa banyak ulama salafus salih, baik sahabat atau tabiin, yang melakukan dengan memandangnya sebagai hal baik.

Baca Juga:  Kebenaran Versus Kedaulatan Netizen

Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa ulama Hijaz (Makkah dan Madinah, dahulu) selalu mendengarkan nyanyian pada hari utama dalam setahun, yaitu hari yang diperintahkan Allah untuk menyebut nama-Nya, seperti hari Tasyriq. Demikian pula dengan penduduk Madinah sampai zaman kami saat ini. Hingga kami menemukan Qadli Marwan, dia memiliki beberapa budak wanita yang bernyanyi untuk manusia dan ia siapkan untuk para Sufi.

Atha’ juga memiliki dua budak wanita yang bernyanyi, maka saudara-saudaranya mendengarkan keduanya. Abû Thâlib al-Makkî mengatakan bahwa ada yang bertanya kepada Abû Hasan bin Sâlim, ‘Bagaimana engkau ingkar (melarang) mendengarkan nyanyi, padahal al-Junaid, Sarî Saqathî, Dzun Nûn membolehkan?’

Ia menjawab, ‘Bagaimana aku melarang mendengarkan nyanyian padahal ada orang yang lebih baik dari aku yang membolehkan dan mendengarkan?’ Sungguh ‘Abdullah bin Ja‘far ath-Thayyâr mendengarkan nyanyian. ‘Yang aku ingkari adalah permainan yang ada dalam nyanyian,’” (Ihyâ’ ‘Ulm al-Dîn, Juz II, halaman 267).

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sendiri telah mengeluarkan fatwa mengenai hukum musik. Dalam menanggapi keberagaman pendapat tentang musik, berdasakan buku Tanya Jawab Agama jilid V (2013) Majelis Tarjih membuat tiga klasifikasi:Pertama, jika musik memberikan dorongan kepada keutamaan dan kebaikan, maka hukumnya disunahkan.

Kedua, jika musik hanya bersifat sebagai hiburan atau permainan semata tanpa dampak yang signifikan, hukumnya biasanya dimakruhkan. Namun, perlu diingat bahwa jika musik tersebut mengandung unsur negatif, maka hukumnya menjadi haram. Ketiga, jika musik mendorong kepada perbuatan maksiat atau kemaksiatan, maka hukumnya jelas haram.

Pandangan Majelis Tarjih ini sejalan dengan Imam Al Ghazali. Menurutnya, musik dianggap haram apabila membangkitkan atribut yang tercela dalam diri manusia. Namun, Imam Al Ghazali juga memberikan perspektif yang lebih nuansa terkait hukum ini. Baginya, musik hanya menjadi makruh apabila seseorang terlalu terbuai olehnya, sehingga melupakan kewajiban-kewajiban yang lain.

Lebih lanjut, jika musik hanya dinikmati sebagai bentuk kesenangan tanpa adanya efek negatif yang signifikan, maka statusnya menjadi mubah atau diperbolehkan. Imam Al Ghazali juga menyatakan bahwa musik dapat dianjurkan apabila mampu meningkatkan rasa cinta kepada Allah dan membangkitkan atribut yang terpuji dalam diri manusia. Para ulama menurut Ahmad Ali MD (2022)yang tidak membolehkan musik, nyanyian, dan seni, pada dasarnya karena ada faktor tertentu.

Baca Juga:  Pilihannya; Disrupting atau Disrupted?

Pertama, faktor eksternal, yaitu suatu permainan berupa kemungkaran yang menyertai atau diikuti nyanyian, musik dan seni. Artinya jika nyanyian sekadar nyanyian saja, dan bermusik sekedar bermusik saja, juga seni koreografi sekadar koreografi semata, yang di dalamnya tidak ada permainan berupa kemungkaran, seperti mabuk-mabukan, maka tidak apa-apa.

Kedua, karena adanya instrumen alat musik yang dilarang, yang sejatinya tidak semata-mata instrumen alat musik itu yang menyebabkan haramnya nyanyian, melainkan karena ilat (sebab)nya alat-alat itu identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk. Secara spesifik, ada yang melarang penggunaan alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar) ini berdasarkan teks hadis, dan ada pula yang melihat faktor alasannya, yaitu karena alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar), pada masa lalu sangat identik dengan musik-musik para pemabuk, pezina dan sebagainya (sya‘â’ir al-asyrâr).

Jadi, sudah maklum dalam hukum fiqih jika faktor alasannya hilang maka hukumnya juga berubah (al-hukmu yadru ma‘a ‘illatihi wujdan wa‘adaman). Hari ini gitar dan seruling, juga gendang dan drum saat ini tidaklah lagi identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk. Justru dipakai untuk mengiringi nyanyian yang bernuansa dakwah, misalnya digunakan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama dan Soneta, juga digunakan grup qasidah perempuan yang legendaris, bernama Nasidaria.

Oleh karena itu, pernyataan Imam al-Ghazâlî ini penting digarisbawahi: “Berdasarkan dalil qiyas dan dalil nash menunjukkan diperbolehkan nyanyian, menggerakkan tubuh atau koreografi (yang tidak menimbulkan syahwat), menabuh terbang di waktu bahagia yaitu hari raya, pernikahan, walimah, aqiqah, khitan, kedatangan tamu dan bentuk kebahagiaan yang lain.

Berdasarkan paparan di atas marilah kita saling menghormati perbedaan pendapat terkait musik sebagaimana yang telah diulas para ulama.***

Oleh : TGK HELMI ABU BAKAR EL-LANGKAWI

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari