Jumat, 18 Oktober 2024

Surplus Gas Diprediksi Terjadi 2025

- Advertisement -

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketersediaan stok gas akan semakin besar seiring dengan terus ditemukannya cadangan gas. Bahkan berdasarkan neraca gas bumi 2023-2032 terungkap bahwa surplus gas bisa terjadi mulai 2025.

Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rizal Fajar Muttaqien mengungkapkan, untuk mengatasi kelebihan pasokan yang sangat berpotensi terjadi mulai 2025 perlu disiapkan calon pembeli gas dari dalam negeri. Sehingga gas bisa dimanfaatkan tidak langsung dijual atau diekspor.

- Advertisement -

‘’Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh, serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri,’’ kata Rizal dalam webinar “Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik”, yang di selenggarakan oleh Forum Wartawan Energi di Jakarta, Rabu (28/2).

Konektivitas kini menjadi isu utama dalam penyaluran gas di tanah air. Menurut dia, pemerintah sebenarnya sudah berinisiatif mengisi gap antara sumber pasokan gas dan wilayah yang memerlukan gas.

Baca Juga:  Bantu Masyarakat Anambas, Bank Riau Kepri Salurkan Program CSR

Ini bisa dilihat dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon–Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus nanti untuk tahap I. ‘’Sekarang hampir tersambung dari Sumatera hingga ke Jawa,’’ ujar Rizal.

Keperluan gas domestik sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan. Penurunan ekspor gas dimulai 2012, sejalan penggunaan gas untuk dalam negeri juga mulai meningkat, namun pertumbuhannya sejak saat itu hanya dikisaran satu persen setiap tahunnya.

Tahun 2022 dari total produksi gas sebesar 5.474 ribu kaki kubik per hari (MMscfd), sebanyak 68 persen diantaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sisanya atau sebesar 32 persen diekspor.

- Advertisement -

Rizal mengungkapkan, gas memiliki peran penting termasuk dalam pemenuhan energi pada masa depan. Apalagi dengan emisi yang lebih rendah otomatis dengan peningkatan penggunaan gas maka emisi secara keseluruhan juga bisa ditekan.

‘’Gas bisa memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL, tapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih,’’ jelas Rizal.

Baca Juga:  Buka Bersama PT Capella Dinamik Nusantara dengan Wartawan

Penerimaan
Negara Turun

Diimplementasikannya harga gas bumi murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor industri telah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara. Deputi keuangan dan komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi menuturkan, penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar 6 dolar AS per MMBTU dan mencapai lebih dari 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,68 triliun.

Namun, menurut Rizal, pihaknya masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu. ‘’Kemenperin juga sudah mengsulkan usulan untuk perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT,hanya kami dari ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini,’’ tegasnya.

Sementara itu, Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya membeberkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi RI dalam pengembangan gas dalam negeri. Menurut Aris, tantangan yang dimaksud berasal dari sektor hulu, hilir, hingga regulasi. Dari sektor hulu, Aris menyebut tingginya risiko pengembangan hulu migas berdampak terhadap rendahnya investasi yang masuk.(jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketersediaan stok gas akan semakin besar seiring dengan terus ditemukannya cadangan gas. Bahkan berdasarkan neraca gas bumi 2023-2032 terungkap bahwa surplus gas bisa terjadi mulai 2025.

Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rizal Fajar Muttaqien mengungkapkan, untuk mengatasi kelebihan pasokan yang sangat berpotensi terjadi mulai 2025 perlu disiapkan calon pembeli gas dari dalam negeri. Sehingga gas bisa dimanfaatkan tidak langsung dijual atau diekspor.

‘’Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh, serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri,’’ kata Rizal dalam webinar “Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik”, yang di selenggarakan oleh Forum Wartawan Energi di Jakarta, Rabu (28/2).

Konektivitas kini menjadi isu utama dalam penyaluran gas di tanah air. Menurut dia, pemerintah sebenarnya sudah berinisiatif mengisi gap antara sumber pasokan gas dan wilayah yang memerlukan gas.

Baca Juga:  Mal Pekanbaru Gelar Wedding Expo 2019

Ini bisa dilihat dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon–Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus nanti untuk tahap I. ‘’Sekarang hampir tersambung dari Sumatera hingga ke Jawa,’’ ujar Rizal.

Keperluan gas domestik sebenarnya sudah mengalami pertumbuhan. Penurunan ekspor gas dimulai 2012, sejalan penggunaan gas untuk dalam negeri juga mulai meningkat, namun pertumbuhannya sejak saat itu hanya dikisaran satu persen setiap tahunnya.

Tahun 2022 dari total produksi gas sebesar 5.474 ribu kaki kubik per hari (MMscfd), sebanyak 68 persen diantaranya digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Sisanya atau sebesar 32 persen diekspor.

Rizal mengungkapkan, gas memiliki peran penting termasuk dalam pemenuhan energi pada masa depan. Apalagi dengan emisi yang lebih rendah otomatis dengan peningkatan penggunaan gas maka emisi secara keseluruhan juga bisa ditekan.

‘’Gas bisa memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL, tapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih,’’ jelas Rizal.

Baca Juga:  Ini Wujud Royal Enfield Himayalan 2021

Penerimaan
Negara Turun

Diimplementasikannya harga gas bumi murah atau harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor industri telah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara. Deputi keuangan dan komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi menuturkan, penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar 6 dolar AS per MMBTU dan mencapai lebih dari 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,68 triliun.

Namun, menurut Rizal, pihaknya masih harus mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan itu. ‘’Kemenperin juga sudah mengsulkan usulan untuk perpanjangan atau keberlanjutan kebijakan HGBT,hanya kami dari ESDM masih menunggu evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan HGBT yang sudah berjalan selama ini,’’ tegasnya.

Sementara itu, Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya membeberkan sejumlah tantangan yang masih dihadapi RI dalam pengembangan gas dalam negeri. Menurut Aris, tantangan yang dimaksud berasal dari sektor hulu, hilir, hingga regulasi. Dari sektor hulu, Aris menyebut tingginya risiko pengembangan hulu migas berdampak terhadap rendahnya investasi yang masuk.(jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari