GAZA CITY (RIAUPOS.CO) – Hamas telah memberikan tanggapan atas proposal gencatan senjata yang dibahas di Paris, Prancis. Amerika Serikat (AS), Israel, dan beberapa pihak terkait masih mempelajari respons Hamas tersebut.
Ada tiga fase gencatan senjata yang diinginkan Hamas. Masing-masing waktunya adalah 45 hari. Fase pertama akan mencakup pembebasan sandera Israel, termasuk perempuan dan anak-anak di bawah 19 tahun yang terdaftar sebagai tentara, lansia, dan orang sakit.
Sebagai imbalannya, semua tahanan Palestina yang perempuan, remaja, orang sakit, dan lanjut usia serta 500 tahanan yang disebutkan oleh Hamas harus dibebaskan. Itu termasuk mereka yang dijatuhi hukuman seumur hidup dan dihukum karena kejahatan berat.
Pada tahap ini, bantuan kemanusiaan diintensifkan, merelokasi pasukan Israel di luar daerah berpenduduk, memungkinkan dimulainya pekerjaan rekonstruksi rumah sakit, rumah, dan fasilitas di seluruh wilayah Jalur Gaza. Selain itu memberikan kesempatan kepada PBB dan badan-badannya untuk memberikan layanan kemanusiaan dan mendirikan kamp permukiman bagi penduduk.
Fase ini juga akan mencakup penghentian sementara operasi militer dan pengintaian udara. Hal itu juga akan memungkinkan kembalinya warga Palestina yang telantar ke rumah mereka di seluruh wilayah Jalur Gaza dan akan menjamin kebebasan bergerak tanpa hambatan. Pada tahap ini, akan dimulai pembicaraan tidak langsung mengenai persyaratan terkait gencatan senjata sepenuhnya.
Pada fase kedua, semua sandera laki-laki yang ditahan di Gaza akan dibebaskan dengan imbalan sejumlah tahanan Palestina. Langkah-langkah kemanusiaan di tahap pertama akan dilanjutkan. Itu termasuk rekonstruksi menyeluruh terhadap rumah, fasilitas, dan infrastruktur yang hancur di seluruh wilayah Jalur Gaza. Pasukan Israel juga harus keluar sepenuhnya dari Jalur Gaza.
Pada fase ketiga, akan ada pertukaran jenazah dari kedua pihak. Israel pada Selasa (6/2) mengonfirmasi bahwa 31 dari 136 tawanan yang ada di Gaza telah terbunuh. Bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi di tahap ini terus berlanjut. Hamas mengusulkan agar penjamin perjanjian tersebut adalah Mesir, Qatar, Turki, Rusia, dan PBB. AS tidak termasuk.
Hamas menegaskan bahwa respons mereka itu masuk akal dan realistis. Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani juga menyatakan optimisme atas jawaban positif Hamas. Namun, berbeda halnya dengan Israel dan sekutunya, AS.
Kelompok sayap kanan Israel yang merupakan koalisi PM Benjamin Netanyahu berambisi menguasai Gaza sepenuhnya dan membangun permukiman Yahudi di sana. Israel sebelumnya juga pernah mengatakan tidak akan menarik pasukannya keluar dari Gaza sampai Hamas dilenyapkan.
Saat ini mereka bahkan bersiap menyerang Rafah yang berbatasan dengan Mesir. Pejabat senior Israel mengatakan kepada Channel 13 bahwa beberapa tuntutan Hamas tidak dapat diterima.
Presiden AS Joe Biden berpendapat sama. ”Tanggapan Hamas terhadap proposal kesepakatan penyanderaan terbaru tampaknya sedikit berlebihan,” ujarnya seperti dikutip Axios.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken kemarin (7/2) berada di Israel dan bertemu Netanyahu. Besar kemungkinan mereka akan membahas tanggapan Hamas tersebut.
Di pihak lain, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi kemarin menyatakan kepada AS bahwa pihaknya tetap teguh terhadap keputusan. Saudi memastikan tidak akan ada hubungan diplomatik dengan Israel kecuali negara Palestina merdeka diakui berdasar perbatasan tahun 1967 dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Selain itu, agresi Israel di Jalur Gaza harus dihentikan.
Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah Juru Bicara Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby membuat pernyataan yang mengandung propaganda. Yaitu, pemerintahan Biden telah menerima tanggapan positif bahwa Arab Saudi dan Israel bersedia untuk terus melakukan diskusi normalisasi.(sha/c9/bay/jpg)