JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Mahkamah Agung (MA) kembali mendapat sorotan. Sebab, lembaga peradilan tertinggi itu kembali memberikan keringanan hukuman kepada koruptor yang ditangani KPK. Yang terbaru, MA mengorting hukuman advokat Lucas dari lima tahun menjadi tiga tahun penjara. Lucas sebelumnya dinyatakan bersalah atas perkara menghalangi penyidikan (obstruction of justice) mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro.
Pengortingan hukuman itu menambah panjang daftar koruptor yang mendapat pengurangan hukuman oleh MA. Sebelumnya, hukuman mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham juga dikurangi di tingkat kasasi. Yakni, dari 5 tahun (tingkat banding) menjadi 2 tahun (kasasi).
”Majelis hakim tentunya telah mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh sesuai tingkatannya,” jelas Karo Hukum dan Humas MA Abdullah kemarin (18/12). Meski disampaikan sejak Selasa (17/12), Abdullah menyatakan belum ada nomor putusan untuk amar kasasi Lucas. ”Jika sudah ada, nanti diberi tahu,” imbuhnya.
Menurut dia, pengurangan vonis bisa dilakukan jika sesuai dengan pasal yang terbukti. Misalnya, pada tingkat pertama dan banding, terdakwa dikenai pasal 12 UU Tipikor. Atau minimal empat tahun penjara. Namun, bisa jadi pasalnya berubah menjadi pasal 11 UU Tipikor di tingkat kasasi yang masa hukumannya paling singkat setahun.
”Kalau di tingkat PN disebut judex facti. Mengadili berdasar bukti di persidangan. Sementara MA judex juris. Faktanya tidak disentuh lagi. Kalau memang pasalnya benar, ya sama. Tapi, kalau beda ya di tingkat kasasi beda,” papar Abdullah. Perbedaan itulah, lanjut dia, yang menimbulkan disparitas putusan pengadilan tingkat pertama dengan banding dan kasasi.
Selain Lucas dan Idrus, sederet terdakwa korupsi ’’diuntungkan” MA di tingkat kasasi. Misalnya, terdakwa kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung. Mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu sebelumnya divonis 13 tahun penjara dan diperberat menjadi 15 tahun. Namun, MA malah memvonis lepas Syafruddin pada 9 Juli lalu.
Kemudian, mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Frederick S.T. Siahaan juga bebas di tingkat kasasi. Frederick dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi terkait investasi Blok Basker Manta Gummy pada 2019. MA mengabulkan kasasinya pada 2 Desember. Sebelumnya, dia divonis delapan tahun penjara.
Tren itu kerap disangkutpautkan dengan pensiunnya Artidjo Alkostar sebagai hakim agung pada 2018. MA tidak menanggapi secara spesifik anggapan tersebut. Menurut Abdullah, putusan peradilan lebih bersifat kualitatif. Karena itu, tidak bisa dikuantitatifkan semata dengan menghitung berapa putusan bebas atau ringan terhadap koruptor. ”Intinya, MA tetap berkomitmen melakukan pemberantasan tipikor mulai dari dirinya sendiri,” jelas Abdullah.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mempertanyakan komitmen MA dalam pemberantasan korupsi. Dalam vonis Lucas, misalnya, keputusannya berseberangan dengan upaya KPK membongkar mafia peradilan baru-baru ini. KPK menetapkan mantan Sekretaris MA Nurhadi sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi. Kasus Nurhadi beririsan dengan perkara Lucas. ”Jadi ironi, satu sisi KPK berupaya membongkar mafia peradilan, namun seakan dibalas MA dengan mengurangi hukuman terdakwa korupsi,” kata Kurnia.
Vonis ringan untuk koruptor, lanjut dia, membuktikan bahwa hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan ICW pada Oktober tahun lalu sangat relevan. Dalam survei itu, sekitar 70 persen publik tidak percaya pada MA.
Kurnia menyatakan, ada beberapa hal yang dapat menjadi pijakan untuk menyimpulkan bahwa komitmen MA terhadap pemberantasan korupsi lemah. Misalnya, vonis ringan koruptor yang menjadi tren di MA. Catatan ICW, sepanjang 2018 rata-rata vonis terdakwa korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun 5 bulan penjara. Tingkat peninjauan kembali (PK) pun sama. Mulai 2007 sampai 2018, ada 101 narapidana (napi) korupsi yang dibebaskan MA. Sedangkan pada 2019 ada dua putusan yang cukup kontroversial. Yaitu, vonis lepas Syafruddin Arsyad Temenggung di tingkat kasasi dan vonis bebas terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau Sofyan Basir di tingkat pengadilan pertama.
Menurut Kurnia, rentetan vonis ringan itu tidak bisa dipisahkan dari faktor pensiunnya Hakim Agung Artidjo Alkostar. ICW mencatat, setidaknya 7 terpidana telah diganjar vonis ringan pada tingkat PK dan 5 terdakwa divonis lebih rendah pada tingkat kasasi pasca Artidjo purnatugas. ”Ada fenomena baru, terpidana korupsi berbondong mencoba peruntungan dengan mengajukan PK pasca Artidjo pensiun,” ujarnya. Sampai saat ini, 23 terpidana kasus korupsi yang ditangani KPK sedang berproses di tingkat PK. ”Melihat kondisi seperti ini, mudah bagi publik membangun teori kausalitas antara pensiunnya Artidjo dan maraknya vonis ringan itu,” imbuh dia.
ICW meminta MA segera berbenah. Kondisi saat ini, kata Kurnia, menggambarkan bahwa negara tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi. ”KPK telah dilemahkan melalui proses legislasi revisi UU KPK dan hukuman para pelaku korupsi justru dikurangi di pengadilan. Situasi ini diprediksi terus-menerus terjadi,” tuturnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman