Dewasa ini, kata buzzer selalu dikaitkan dengan isu-isu politik yang dinilai mengandung hoaks, terlebih sejak ramai pemberitaan politisi-politisi yang menaikkan nama dengan menggunakan buzzer. Parahnya, beberawa peristiwa politik justru memberikan citra yang tidak baik di mata khalayak. Buzzer pun kini diangap sebagai kreator konten negatif media sosial yang dibayar untuk tujuan tertentu.
Berdasarkan riset dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), awal munculnya buzzer bersamaan dengan kelahiran Twitter pada 2009. Mulanya, buzzer berkembang menjadi sebuah strategi pemasaran untuk mempromosikan produk guna meningkatkan penjualan. Buzzer mulai terlibat dalam peristiwa politik di Indonesia pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, kemudian secara luas digunakan untuk kepentingan politik pada Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, hingga kepentingan Pemilihan Presiden 2019.
Tak hanya itu, buzzer juga kerap diidentikan sebagai penyebar hoaks, terkait isu-isu miring, mulai dari pemerintahan hingga isu yang menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Buzzer yang semula merupakan seseorang yang menyebarkan pesan tertentu kepada orang banyak dengan tujuan promosi, namun sekarang buzzer lebih cenderung dipandang negatif, terutama jika dikaitkan dengan politik. Hal Ini dikarenakan cara-cara yang digunakan cenderung mengarah ke penyebaran hoaks atau berita palsu dalam menyerang lawan politiknya hingga mengarah ke kampanye hitam.
Buzzer dinilai berperan dalam penyebaran berita-berita yang berpihak pada seorang calon dan menyebarkan berita-berita informasi palsu untuk menyerang calon yang lainnya. Di Indonesia, keterlibatan buzzer dalam beberapa peristiwa politik telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. Khalayak cenderung memaknai buzzer sebagai pihak yang dibayar untuk membuat dan menyebarluaskan konten-konten negatif di media sosial.
Padahal buzzer pada dasarnya tidak bertujuan negatif. Buzzer adalah individu ataupun akun yang memiliki kemampuan amplifikasi atau melibatkangandakan pesan dengan cara menarik perhatian khalayak dengan membangun percakapan di media sosial, mereka bergerak dengan motif dan ujuan tertentu.
Seiring berjalannya waku, terjadi proses transformasi akivitas buzzer yang pada awalnya untuk kepentingan bisnis kemudian digunakan sebagai sarana pemasaran politik. Sebenarnya, hal ini bukanlah suat hal yang salah, karena aktivitas kampanye juga menggunakan teori-teori pemasaran.
Masyarakat dewasa ini, tidak bisa jauh dari internet dan media sosial, dimana kemudian menjadi saluran informasi, pertemanan, hingga menjadi sarana pembuktian diri. Berdasarkan hasil polling yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), selama periode 2019 -2020, dari total populasi sebanyak 266,91 juta jiwa ada 196,71 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen yang sudah terhubung ke internet. Angka ini tumbuh 8,9 persen, saat angka penetrasi internet di Indonesia tercatat sebanyak 73,7 persen.
Lebih dari separuh masyarakat menggunakan internet tak terkecuali memanfaatkan media sosial untuk aktivitas kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan media sosial dipengaruhi oleh masyarakat digital atau lazim disebut warganet (netizen). Warganet ini yang sangat mempengaruhi peran media sosial. Oleh karena itu, banyak orang memanfaatkan media sosial untuk menarik opini masyarakat, dan membuat mereka setuju akan suatu hal demi tujuan tertentu.
Fenomena buzzer media sosial akan terus tumbuh seiring bertambahnya pengguanaan media sosial sebagai aktivitas keseharian, namun sekarang ini buzzer dianggap sebagai penyebar hoaks di duna maya. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah penggunaan buzzer hanya memproduksi konten-konten negatif?
Buzzer media sosial adalah sosok akun media sosial yang setiap saat menyebarluaskan, mengkampanyekan, dan mendengungkan suatu pesan dan konten dengan tujuan memperkuat suatu pesan dan konten, sehingga menjadi opini publik. Dengan demikian, apa yang dilakukan buzzer media sosial bisa dikatakan sudah sesuai dengan koridor dalam konteks komunikasi digital yang mengedepankan partisipasi.
Saat warganet telah melakukan aktivitas seperti mengunggah ulang (repost), retweet , reshare, akan membuat suatu pesan dan konten yang dibuat semakin kuat dan viral, tindakan seperti ini sudah masuk kategori buzzer. Teknik ini merupakan pengembangan dari teori-teori buzz marketing yang berupaya memasarkan suatu produk dari mulut ke mulut sehingga semakin banyak dibicarakan, dan secara otomatis akan semakin sukses.
Dalam konteks bisnis digital, buzzer dapat berperan memperkuat proses branding produk. Dalam pemerintahan, buzzer dapat menjadi sarana kuat untuk menyebarluaskan informasi dan edukasi positif untuk masyarakat.
Buzzer cenderung mengamplifikasi isu yang sudah ada. Dia tidak membuat isu sendiri. Buzzer biasa bekerja atas dasar pesanan isu yang dibawa suatu agensi kehumasan (public relation/PR), partai politik, pemerintah, perusahaan produk tertentu, selebritis, atau pihak lainnya. Secara personal, buzzer bukanlah siapa-siapa, bahkan anonim.
Dalam jurnal riset dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) meneliti tentang kampanye Petani Milenial yang diusung oleh Kementeran Pertanian melalui media sosial Twitter. banyak konten kreatif yang diunggah oleh akun Kementerian Pertanian sebagai akun influencer telah direspon dengan baik oleh buzzer. Para buzzer media sosial telah berkontribusi memperkuat kampanye petani milenial dengan berbagai kreasi masing-masing. Hal itulah yang kemudian memunculkan partisipasi digital di kalangan warganet.
Warganet cukup aktif dalam menganggapi isu-isu pertanian di media sosial. Bahkan banyak memberikan masukan dan saran agar isu-isu pertanian dapat bisa menarik perhatian generasi milenial. Banyak kendala mengenai kekurangan lahan hingga stigma yang buruk sebagai petani membuat generasi milenial tidak banyak yang berkeinginan berprofesi menjadi petani. Peran buzzer sangat berkontribusi positif dalam memperkuat pesan kampanye petani milenial yang ke depan akan bisa menarik perhatian generasi milenial.
Selain kampanye dan edukasi, buzzer juga dapat menjadi strategi komunikasi dan solusi penaganan krisis suatu organisasi. Contohnya, humas pemerintah dapat menggunakan jasa buzzer untuk memviralkan pesan atau program yang sedang disosialisasikannya agar menarik perhatian masyarakat dan membuatnya menjadi trending topik pemberitaan di media sosial.
Buzzer secara tidak langsung dapat dimanfaatkan untuk membangun citra organisasi, atau yang dinamakan dengan branding buzzer. Buzzer dinilai efektif dalam membangun opini publik terkait suatu informasi atau pesan yang dikehendaki dengan kemampuannya dalam amplifikasi pesan.
Dalam bentuk promosi suatu brand buzz marketing adalah cara yang baik untuk mengajak pengguna media sosial bekerja sama dan menjadi buzzer, kemudian menetukan waktu kapan akan mengunggah cuitan dengan tagar tertentu atau dengan kata kunci tertentu.
Selanjutnya buzzer bertugas membuat kehebohan dan pembicaraan di media sosial, dan menjadikan kata kunci yang dibuat menjad trending. Orang-orang akan penasaran dan akan banyak reaksi, mulai dari like, retweet, repost, reshare, dan lain-lain, yang secara langsung akan membuat akun-akun lain menjadi buzzer. Dengan demikian, target audiens di media sosial bisa tertarik tentang suatu produk, membeli, dan menyarankan orang lain untuk membeli.
Selain itu, tagar-tagar yang diusung oleh pemerintah untuk mengampanyekan suatu hal juga kerap di cuitkan oleh influencer yang kemudian berdengung dan mendapat beragam reaksi dari para follower, dan semakin meramaikan dan menyebarluaskan tagar tersebut, dan semakin banyak mendapatkan audiens, sehingga semakin banyak yang berpartisipasi dalam kampanye.
Tagar-tagar dari kampanye pemerintah yang pernah trending di antaranya adalah #VaksinPulihkanNegeri , #CoBrandWonderfulIndonesia, #WorldRoyalHeritageFestival, #EnjoyJakarta, dan lain-lain.
Oleh karena itu, stereotip buzzer penyebar hoaks harus diperbaiki, karena buzzer tak hanya ada di dunia politik, tapi juga marketing. Kehadiran buzzer harus dimanfaakan sebaik mungkin khususnya suatu hal yang baik, seperti branding, edukasi, sosialisasi, dan lain-lain. (anf)