Bu Jasmi merasa tidak percaya pemerintah membatalkan keberangkatan haji Indonesia tahun ini. Padahal ia masuk dalam kuota haji 2020, setelah sabar menunggu dalam penantian yang sangat panjang. Segala keperluan untuk keberangkatan ke Tanah Suci sudah disiapkan jauh-jauh hari.
Kebijakan pembatalan haji membuat persendiannya lemah. Air matanya jatuh meleleh di sudut pipinya yang keriput. Tangisnya hilir ke dalam, tersangkut dalam kerongkongannya. Tersedu sedan dalam tangis yang terisak senyap tanpa suara.
Pikirannya mulai menerawang. Usia yang semakin menua menerbitkan keraguan, apakah umurnya sampai di musim haji mendatang? Kalaupun iya, apakah kondisi kesehatannya masih memungkinkan safar untuk menyempurnakan rukun Islam kelima itu? Namun itulah kenyataan. Ia mesti menunggu keberangkatan haji tahun berikutnya.
Pandemi Covid-19 telah menggulung harapan Bu Jasmi, termasuk 221 ribu Jemaah Calon Haji (JCH) lainnya untuk berkunjung ke Haramain tahun ini. Kebijakan pemerintah telah bulat. Membatalkan keberangkatan JCH Indonesia pada musim haji 1441 H/2020 M. Kebijakan itu berlaku bagi seluruh WNI, baik bagi kuota haji pemerintah maupun visa haji mujamalah.
Kebijakan Pemerintah
Pembatalan haji Indonesia oleh Pemerintah tentunya punya alasan tersendiri. Impossible, bila perkara sangat penting sekelas haji yang melibatkan ratusan ribu orang diputuskan asal-asalan, tanpa pertimbangan yang komprehensif dan mendalam.
Sebaran wabah pandemi Covid-19 yang hampir melanda seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, dapat mengancam keselamatan jamaah. Beberapa literatur dan referensi data terkait informasi pelaksanaan haji ketika masa pandemi wabah pada waktu silam telah mengakibatkan terjadinya tragedi kemanusiaan luar biasa. Puluhan ribu jamaah haji menjadi korban dan meninggal dunia.
Sejarah kelam tersebut terjadi, diantaranya, seperti wabah Thaun (1814). Wabah meningitis (1987) yang menginfeksi sekitar 10.000 jamaah haji. Wabah kolera dari India (1831) yang meledak bertepatan saat pelaksanaan ibadah haji. Setidaknya 75 persen jamaah haji wafat, karenanya pelaksanaan ibadah haji dihentikan di tengah jalan. Wabah kolera ditemukan kembali di Arab Saudi (1846-1892), dan haji pun batal dilaksanakan pada 1850, 1865, dan 1883. Ibadah haji sempat dilaksanakan pada 1864, namun menelan 1.000 korban jiwa per hari karena terjangkit kolera.
Selain faktor wabah, pembatalan haji juga terjadi karena negara sedang dalam keadaan darurat, seperti Maklumat Menteri Agama, Fathurrahman Kafrawi, 1947, tentang penghentian ibadah haji di masa perang. Seiring berjalannya waktu, rencana awal keberangkatan kloter pertama 26 Juni 2020 tidak mungkin dilakukan.
Keselamatan Perioritas
Polemik penyelenggaran ibadah haji di tengah pandemi Covid-19 harus disikapi bijaksana dan pikiran yang jernih. Sebab menyangkut nasib dan keselamatan 221 ribu lebih jemaah. Keselamatan jemaah hari lebih perioritas dan di atas segala-galanya daripada mengejar kewajiban haji yang dituntut memenuhi kriteria manistatha’a, yakni sanggup dari berbagai aspek (QS. Ali Imran[3];97).
Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan mencatat jumlah jamaah haji dengan risiko tinggi mencapai 56,4 persen dari total jamaah yang melangsungkan ibadah haji.
Rekam medis jemaah secara umum ditemukan tiga penyakit yang paling banyak diidap jamaah haji, yakni hipertensi (35 persen), myalgia atau nyeri otot (17 persen), dan nyeri kepala (10 persen). Kondisi global kesehatan jemaah tersebut menjadi rentan tertular Covid-19 yang penyebarannya cepat secara kontak dari orang ke orang.
Syariat Islam memiliki prinsip bahwa keselamatan jiwa sangat perioritas. Bila JCH dipaksakan berangkat, ada risiko amat besar yang menyangkut keselamatan jiwa, plus kerumitan dan beribadah. Hemat penulis, meski Arab Saudi membuka akses layanan haji, namun demi kemasalahatan, JCH tetap tidak memungkinkan berangkat.
Amanat undang-undang jelas, bahwa selain persyaratan ekonomi dan fisik, kesehatan dan keselamatan jamaah haji harus diutamakan.
Syariat Islam sendiri mengajarkan bahwa menjaga mafsadah harus diutamakan. Kaidah fikih mengajarkan ‘daru al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menolak kebinasaan didahulukan daripada meraih kemaslahatan). Bila berhadapan dua keadaan, kemaslahatan dan kebinasaan pada waktu yang bersamaan, maka didahulukan menjaga kemaslahatan dan meinggalkan kebinasaan. Tidak memberangkatkan jemaah haji ke tanah suci lebih diperioritaskan daripada berangkat namun mengancam jiwa jamaah karena wabah Covid-19. Allah SWT melarang hambanya menjatuhkan diri pada suatu perkara yang bisa membinasakan dirinya sendiri (QS. al-Baqarah[2]:195).
Sangat tidak mungkin menerapkan protokol kesehatan dalam ibadah haji yang bersifat komunal. Keseluruhan kegiatan ibadah haji, sejak di embarkasi, arbain di Madinah, Wukuf di Arafah, Mabit di Muzdalifah, Jamarat di Minah dan Thawaf Ifadhah di Masjidil Haram dan lainnya, dilaksanakan secara berjamaah, berkelompok dan berkerumun. Demikian juga pergerakan jamaah dari satu lokasi ibadah ke lokasi lainnya, amat tidak memungkin untuk menerapkan physical distancing.
Memang kebijakan pembatalan haji membuat banyak orang sedih dan kecewa. Namun akan bertambah sedih dan kecewa bila pemerintah tetap memberangkatkan JCH, karena diprediksi akan menimbulkan banyak korban. Bahkan mungkin saja menjadi tragedi kemanusiaan luar biasa yang dikenang sebagai lembaran kelam historikal haji. Wallahu A’lam.***