(RP) – Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila(HIP) mengundang protes dari berbagai kalangan dan juga organisasi keagamaan. Pemantiknya bukan karena RUU ini muncul di saat semua anak bangsa berjuang melawan Covid-19, tapi lebih kepada muatan RUU yang mencoba ‘mengusik’ Pancasila yang telah menjadi kesepakatan para founding fathers kala negara ini diproklamirkan dengan frasa yang multitafsir, dan juga tidak tercantumnya TAP MPRS No XXV/1966 terkait pelarangan PKI, Marxisme dan leninisme.
Upaya memberi ‘tafsir baru’ Pancasila itu terlihat dari pasal 7 yang memuat tiga ayat. Pada ayat 1 disebutkan bahwa ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. Pada ayat 2 pula disebutkan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan dan pada ayat 3, Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.
Muatan RUU HIP dalam pasal 7 itu sesungguhnya ada pengulangan perdebatan ideologi yang menjadi pancang negara di awal-awal Indonesia hendak di proklamirkan. Dalam lipatan sejarah disebutkan bahwa Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno menjadi pengusul rumusan Pancasila. Mohd Yamin mengusulkan pada tanggal 29 Mei 1945 secara lisan terkait dasar negara, yakni, Peri Kebangsaan, Peri kemanusiaan, Peri ketuhanan, Peri kerakyatan, Kesejahteraan Rakyat dan kemudian disusul dengan usulan tertulisnya yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa, Persatuan Indonesia, Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kemudian pada tanggal 1 Juni 1945 Ir Soekarno mengajukan usul mengenai dasar negara yaitu, Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), Internasionalisme (Perikemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kemudian Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu, Sosio nasionalisme, Sosio demokrasi, Ketuhanan. Selanjutnya oleh Bung Karno tiga hal tersebut masih bisa diperas lagi menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
Melihat catatan sejarah, sesungguhnya pasal 7 RUU HIP adalah pengungkapan kembali ide-ide Bung Karno. Padahal hadirnya rumusan Pancasila sekarang bukanlah tanpa perdebatan. Rumusan Pancasila hadir setelah pergumulan pemikiran dan kearifan dari pendiri bangsa. Membuat ‘tafsiran baru’ seperti yang diungkapkan Bung Karno dalam sidang BPUPKI hanya akan mengungkit luka lama dan membuat ikatan bangsa yang telah kuat dengan rumusan Pancasila sekarang akan menjadi longgar. Bahkan berpotensi akan memunculkan perdebatan kembali dan juga multi tafsir tentang Pancasila. Bukankah rumusan seperti sekarang merupakan lahir dari ragam pertimbangan dan kenegarawan para pendiri bangsa ini.
Menguatkan Pancasila bukan dengan cara ‘mengutak-atik’ dan mengaitkan dengan ide satu tokoh bangsa saja. Pancasila adalah nilai-nilai bangsa yang telah tumbuh dan mengakar dalam kehidupan rakyat Indonesia. Untuk itu, menjaga dan menguatkan Pancasila adalah dengan internalisasi nilai-nilainya dalam kehidupan kebangsaan dan juga keseharian sebagai sesama anak bangsa. Mencintai Pancasila bukan dengan menabik dada dan berteriak dalam kata ‘Saya Pancasila’ tetapi membuktikannya dalam kehidupannya nyata dan juga dalam tataran kebijakan dalam mengelola bangsa dan Negara. Menjadi sebuah ironi, bila ada yang menepuk dada dan berteriak Pancasila, tapi perilaku dan kebijakan yang dilakukaannya jauh dari nilai-nilai Pancasila.