JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kementerian Kesehatan mengantisipasi membeludaknya peserta kelas III imbas naiknya iuran BPJS Kesehatan. Salah satu langkahnya ialah memperbanyak fasilitas seperti tempat tidur bagi pasien peserta kelas III, terutama di rumah sakit milik pemerintah.
Bahkan, targetnya, 60 persen kelas di rumah sakit milik pemerintah digunakan untuk kelas III. ”Ada dana alokasi khusus (DAK) untuk membangun (fasilitas untuk, Red) kelas III,” kata Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin (6/11).
Menurut aturan, ujar Terawan, setidaknya rumah sakit harus mengalokasikan 30 persen untuk peserta kelas III.
Berdasar data Ditjen Pelayanan Kesehatan, saat ini rata-rata alokasi layanan untuk kelas III mencapai 42 persen dari jumlah total 291 ribu tempat tidur secara nasional. ”Memang akan terjadi tumpukan pasien di kelas III. Ini tergantung kesadaran rumah sakit,” ucapnya.
Kesadaran yang dimaksud adalah menggunakan kelas di atasnya apabila kelas III sudah penuh. Dengan demikian, tidak ada alasan pasien kelas III tidak terlayani. ”Butuh penyadaran untuk kegotongroyongan,” tuturnya.
Sejauh ini peserta BPJS Kesehatan golongan PBPU kelas III mencapai 20,2 juta orang. Sedangkan kelas I sebanyak 5,3 juta peserta dan kelas II ada 6,9 juta jiwa. Rencananya, dalam waktu dekat Terawan bertemu dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). Tujuannya, mengimbau rumah sakit menambah jumlah layanan untuk kelas III. ”Kuncinya cash flow rumah sakit,” katanya.
Menurut Terawan, hambatan rumah sakit untuk menginvestasikan lebih banyak kelas III adalah pendanaan. Ke depan, ketika pembayaran BPJS Kesehatan lancar, dia yakin rumah sakit menambah jumlah kelas III. Apalagi jika jumlah pasien akan lebih banyak.
Risiko membeludaknya peserta kelas III sebenarnya sudah diprediksi. Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto mengungkapkan, kenaikan iuran menciptakan peluang masyarakat dari golongan peserta bukan penerima upah (PBPU) berbondong-bondong turun kelas. Terutama turun menjadi peserta kelas III. Sebab, mereka tidak mampu membayar iuran tiap bulan. Apalagi jika peserta tersebut sudah berkeluarga dan memiliki anak, pengeluaran pun kian membengkak. ”Persoalannya, apakah kapasitas kelas III di rumah sakit cukup?” ujarnya.
Sementara itu, meski kenaikan iuran BPJS Kesehatan telah ditetapkan melalui peraturan presiden (perpres), keberatan tetap mengalir. Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh merasa pemerintah tidak menghargai keputusan bersama hasil rapat gabungan DPR dengan kementerian terkait yang membahas masalah tersebut 2 September lalu. Saat itu mereka menolak kenaikan premi BPJS Kesehatan mandiri kelas III.
”Jelas, pada 2 September, rapat gabungan DPR dengan beberapa kementerian memutuskan untuk tidak menaikkan (iuran) BPJS Kesehatan mandiri kelas III. Tapi ternyata tetap dinaikkan dengan keluarnya perpres,” ungkap Wafiroh.
Terawan pun merespons dengan langsung menghubungi Mensesneg Pratikno melalui aplikasi pesan WhatsApp. Sebab, dia tidak bisa memutuskan sendiri. ”Mensesneg membalas agar segera dibahas dengan Kemenko PMK, Kemenkum ham, dan Kemensos,” ucapnya.
Sebelum perpres keluar, iuran untuk kelas III non-PBI (penerima bantuan iuran) adalah Rp 25.500. Nah, sesuai dengan Perpres 75/2019, per Januari nanti iurannya naik menjadi Rp 42.000. ”Kami akan perjuangkan agar ada subsidi,” ucap Terawan. Subsidi yang dimaksud adalah selisih dari iuran semula dengan iuran baru sesuai dengan Perpres 75/2019.
Sumber: Sumutpos.co
Editor: E Sulaiman