JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota (Wako) Medan, Dzulmi Eldin sebagai tersangka. KPK menduga, Dzulmi menerima suap terkait proyek dan jabatan pada Pemerintahan Kota Medan tahun 2019. Selain Dzulmi, lembaga antirasuah juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka. Mereka di antaranya Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari, dan Syamsul Fitri Siregar selaku Kepala Bagian Protokoler Pemkot Medan.
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (16/10).
Saut menjelaskan, Dzulmi merupakan Wako Medan periode 2016-2021 yang dilantik pada 17 Februari 2016. Sebelum menjabat sebagai wali kota dia juga pernah menjabat sebagai Wako Medan di sisa periode 2010-2015 sejak 18 Juni 2014 untuk menggantikan wako sebelumnya yang terkena kasus korupsi. Kemudian, pada 6 Februari 2019, Dzulmi sebagai atasan mengangkat Isa sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Medan. Setelah Isa dilantik, Dzulmi diduga menerima sejumlah pemberian uang.
"Isa diduga memberikan uang tunai sebesar Rp20 juta setiap bulan pada periode Maret-Juni 2019. Kemudian pada 18 September 2019, Isa juga memberikan uang senilai Rp 50 juta kepada Dzulmi," ucap Saut.
Tak hanya itu, Dzulmi juga menerima suap dari Kadis PUPR mengirim Rp200 juta ke Wali Kota atas permintaan melalui protokoler untuk keperluan pribadi Wali Kota. Uang suap itu untuk memperpanjang perjalanan dinas Dzulmi bersama keluarganya di Jepang. Pada 10 Oktober 2019, Syamsul menghubungi ajudannya dan menyampaikan adanya keperluan dana sekitar Rp800-900 juta untuk menutupi pengeluaran di Jepang. Syamsul kemudian membuat daftar target kepala-kepala dinas yang akan dimintakan kutipan dana, termasuk di antaranya adalah kadis-kadis yang ikut berangkat ke Jepang.
Dalam daftar tersebut, Isa ditargetkan untuk memberikan dana sebesar Rp250 juta. Kemudian pada 13 Oktober 2019, Syamsul menghubung Isa untuk meminta bantuan dana sebesar Rp250 juta. Sebagai pihak yang diduga menerima suap, Dzulmi bersama Syamsul disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, Isa selaku pemberi suap, dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(jpg)