PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Saat hendak bepergian maupun pulang, tak dapat dipungkiri harus berhenti di lampu Apill atau lampu merah. Jika dicermati tampak anak-anak, remaja maupun orangtua mengadu nasib di sana. Bila sudah malam tiba, maka lampu merah menjadi peraduan untuk bertahan hidup. Ada yang berjualan tisu, kerupuk dan lainnya.
Ada yang memetik gitar dengan lagu yang asal ucap, menyapu mobil dengan kemoceng, bahkan parahnya ada yang sekadar meminta-minta.
Lebih dari itu, terik maupun hujan diterjangnya. Tubuhnya yang seharusnya istirahat tak memedulikan itu. Kesehatan pun menjadi tantangan utamanya. Belum lagi jika pihak Satpol PP datang. Mereka berhamburan entah kemana.
Adanya rumah singgah di setiap persimpangan jalan menjadi hal yang seharusnya mulai dipandang pemerintah. Dengan demikian, para manusia yang berjibaku mencari nafkah di lampu merah bisa lebih nyaman. Dengan catatan, adanya pembinaaan khusus bagi mereka.
Bahkan, para influencer literasi bisa berbagi ilmu pendidikan. Influencer media berbagi tips kesehatan, influencer psikolog membantu membentuk jati diri dan bila ditemukan adanya yang tidak memiliki surat kependudukan Disdukcapil bisa membantu.
Sehingga, menurut Konselor Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2A) Herlia Santi, masalah seperti itu bisa diatasi. Tidak hanya diberi teguran saja dan mengulangi lagi. “Semua saling bekerja sama. Sehingga program dari masing-masing OPD berjalan. Dengan adanya Rumah Singgah bisa mengurangi waktu mereka di jalan. Apalagi jika anak-anak yang tidak sekolah dibenahi dengan bimbingan belajar ataupun keterampilan menjadikan mereka akan lebih berkreasi saat bekerja bahkan meminimalisir kegiatan seperti itu lagi,” jelasnya.
Pun jika benar terbangun Rumah Singgah para gepeng bisa diawasi oleh sekuriti serta adanya pekerja logistik. Rumah Singgah pun bisa memudahkan untuk menjangkau dan mendalami para gepeng.
“Dengan adanya pendekatan bisa diketahui latar keluarga gepeng. Jika mereka masyarakat miskin, masyarakat miskin seperti apa, jadi tahu seluk beluknya,” ucapnya.
Sementara Kepala Dinas Sosial Kota Pekanbaru Chaerani mengatakan, untuk penertiban menjadi ranah Satpol PP sesuai Perda Ketertiban Sosial Nomor 12/2008. Sementara Dinas Sosial pada tataran pembinaan di saat ada PMKS dari hasil penertiban.
“Kalau sanksi dalam perda cukup jelas, namun semuanya kembali pada kondisi di lapangan dan kerja sama dari seluruh lapisan masyarakat untuk tidak lagi membudayakan memberi uang kepada mereka di jalanan. Karena tanpa kerja sama masyarakat, sulit untuk memberantas hal ini,” ucapnya.(*3)