Minggu, 7 Juli 2024

Peluncuran Buku Puisi Terbaru Marhalim Zaini

Memaknai Peribahasa dan Perjalanan Kepenyairan

Sastrawan Marhalim Zaini meluncurkan buku puisi terbaru. Sebuah upaya mencari makna pada peribahasa, agama, hikayat, hingga cinta.

RIAUPOS.CO – DALAM peta sastra Riau dan Indonesia, nama Marhalim Zaini menempati salah satu ruang penting. Jika dilihat dari jumlah karya yang dihasilkannya, rasanya tak ada seniman Riau yang bisa menandinginya karena dia berkarya di banyak genre. Ini berbeda dengan para seniman Riau atau Indonesia lainnya yang tunak pada satu atau dua genre saja. Tapi Marhalim tunak dan menguasai dengan baik hampir semua genre dalam karya seni.

- Advertisement -

Selain mampu menghasilkan karya yang relatif kuat pada semua genre sastra –cerpen, novel, puisi, dan lainnya— Marhalim juga seorang pekerja terater yang sangat tunak. Dia adalah seorang penulis naskah teater yang sudah diakui kualitasnya –tahun 2023 lalu meraih penghargaan dari Badan Bahasa lewat naskah berjudul “Api Semenanjung” yang dimuat dalam buku kumpulan naskah dramanya, Dilanggar Todak. Dia juga seorang sutradara yang sejak berkuliah di Institut Kesenian Indonesia (ISI) Yogyakarta sudah sering memimpin pementasan. Selain itu, lelaki kelahiran Bantan, Bengkalis, ini, juga seorang aktor yang sudah bermain di puluhan pementasan, baik yang dia tulis naskahnya dan distradarai sendiri, atau yang diarahkan orang lain.

Hingga kini, Marhalim sudah menerbitkan lebih dari 30 buku berbagai genre: novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, biografi, kiat menulis karya sastra, kumpulan naskah drama, dan yang lainnya. Marhalim juga menjadi pengajar mata kuliah menulis kreatif, sastra, hingga jurnalistik. Meski tidak terlalu tunak, Marhalim juga punya karya seni rupa berupa lukisan. Salah satunya yang menjadi sampul buku kumpulan cerpennya, Amuk Tun Teja.

Senin (15/1/2024), di Rumah Suku Seni Perum Gading Marpoyan, Siak Hulu, Kampar –bertepatan dengan peringatan 48 tahun usianya– Marhalim meluncurkan buku kumpulan puisinya, Yang Melimpah dari Cucuran Atap Peribahasa. Ini adalah buku kumpulan puisinya yang kelima setelah Segantang Bintang Sepasang Bulan (2003), Langgam Negeri Puisi (2004), Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (2013), dan Gazal Hamzah (2016).

- Advertisement -

Hadir dalam peluncuran tersebut puluhan seniman Riau termasuk Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispersip) Riau Dra Mimi Yuliani Nazir, aktor teater Rusmedie Agus, Budi Saputra, dan beberapa pegiat jurnalistik kampus dari Unri, UIR, dan UIN Suska. Acara yang dikemas dalam Malam Lentera Sastra itu juga menampilkan beberapa sastrawan yang membaca puisi-puisi Marhalim. Seperti Joni Hendri, Depri Ajopan, dan beberapa penampil lainnya.

Dalam kesempatan tersebut Mimi Yuliani menjelaskan bahwa dia beberapa kali diundang untuk hadir dalam kegiatan seni di Suku Seni, namun baru malam itu dia bisa hadir. Menurutnya, apa yang dilakukan Suku Seni selama ini yang terus bekerja keras membangun kebudayaan dalam arti yang sangat luas, termasuk literasi, adalah kerja besar yang harus didukung oleh siapa pun.

Baca Juga:  Riau Tuan Rumah ICCF 2021

Dia juga melihat sosok Marhalim yang menurutnya salah satu tokoh seni dan budaya Riau yang patut diapresiasi karena tidak hanya eksis di Riau, tetapi juga membawa nama baik Riau secara nasional. Menurut alumnus FMIPA Universitas Andalas (Unand) ini, kerja budaya yang dilakukan Marhalim dan Suku Seni perlu dukungan banyak pihak.

“Saya sangat mengapresiasi tinggi kerja budaya Bang Marhalim Zaini dan Suku Seni ini. Saya berharap Bang Marhalim mau menyumbangkan puluhan buku karyanya ke Perpustakaan Soeman Hs agar masyarakat Riau secara luas bisa membaca karya-karyanya,” jelas mantan Kepala Dinas Kesehatan Riau ini.

Dalam kesempatan yang sama, Rusmedie Agus menjelaskan bahwa dia adalah salah satu orang yang tahu sudah bekerja sama dengan Marhalim saat di ISI Yogyakarta. Dia pernah sama-sama bermain dalam pementasan teater bersama Marhalim, juga pernah bermain dalam pementasan yang naskah dan sutradaranya Marhalim. Menurutnya, Marhalim selalu memberi energi positif di mana pun berada, yang selalu menularkan ilmunya kepada siapa pun.

“Saya beruntung pernah kenal dengan Bang Marhalim, dan malam ini bisa berada di sini ikut dalam acara ini,” ujar lelaki kelahiran Padang, Sumatra Barat, ini, sebelum membacakan salah satu puisi yang ada dalam buku yang diluncurkan tersebut.

Marhalim menjelaskan, kata dalam judul “Yang Melimpah dari Cucuran Atap” itu adalah peribahasa, lalu ditambahkannya dengan kata “peribahasa” karena salah satu bab atau bagian dalam buku ini adalah puisi-puisi yang mengeksplorasi peribahasa sebagai potensi puitik dan tematik. Ada puisi lama dari beberapa buku terdahulu yang dia anggpa mewakili capaian kepenulisan puisinya yang dimasukkan dalam buku terbaru tersebut. Yang lainnya adalah puisi-puisi terbarunya setelah yang ada dalam buku Gazal Hamzah.

“Buku ini terbagi menjadi empat bagian yakni ‘Peribahasa’, ‘Agama’, ‘Hikayat’, dan ‘Cinta’. Tiga bagian pertama itu puisi baru dan pernah dimuat di media massa. Sementara puisi dengan tema cinta, sebagian besar puisi lama,” kata Marhalim kepada Riau Pos, Rabu (17/1/2024).

Secara lebih detil disebutkannya, beberapa puisi tentang agama pernah dimuat di Kompas dan Koran Tempo. Juga puisi-puisi tentang peribahasa, pernah dimuat media. Kemudian ada satu puisi yang menjadi juara 1 lomba menulis puisi nasional dalam helat Seratus Tahun Kematian Chairil, judulnya “Surat Chairil Kepada Jassin, Setelah Seratus Tahun Kematian”.

Marhalim menjelaskan empat tema besar di dalam buku ini. Peribahasa, menurutnya, adalah upaya dia mengembangkan pepatah lama dalam puisi baru, dengan suguhan makna baru. Tema agama, kegelisahan dia pada cara-cara orang beragama, yang kadang-kadang tanpa Tuhan, serta upaya dia untuk menunjukkan bahwa benda-benda juga bertuhan, tentu dengan caranya masing-masing. Untuk tema hikayat, lebih banyak bicara sejarah, khususnya dalam dunia Melayu.

Baca Juga:  Pelalawan Berbenah Sambut MTQ

“Sedangkan tema cinta itu membangkitkan romantisme dan menghangatkan kembali semangat untuk mengingat masa lalu, untuk gairah masa kini,” ujarnya.

Sutradara Opera Tun Teja ini mengaku tak punya target tertentu saat menerbitkan buku setebal 122 halaman tersebut. Karena memang sudah lama tidak menerbitkan buku puisi, sementara banyak pembaca yang bertanya dan ingin baca puisi-puisi dia. Dia juga merasa buku puisi kelimanya itu bukan capaian tertingginya sebagai seorang penyair. Dia selalu merasa tidak puas dengan capaian dan karya selama ini, dan selalu merasa harus membuat capaian baru.
Marhalim tidak yakin kapan pastinya dirinya merasa sudah menjadi penyair. Namun menurutnya, dia mulai mengirimkan karya-karyanya ke media massa dan dimuat ketika berkuliah di ISI Yogyakarta. Tahun 1990-an. Waktu itu dia merasa sedang sangat bergairah menulis dan menembus media, juga membaca puisi di banyak panggung. Saat awal pulang ke Riau di awal hingga pertengahan 2000-an, dia masih punya gairah tersebut. Namun lama-lama dia merasa gairahnya menurun. Ini ditambah dengan mulai menuju senjanya media massa cetak

“Ditambah lagi banyak orang merasa menjadi penyair saat baru belajar menulis puisi. Tapi saya terus menulis puisi dan genre sastra lainnya,” ujar suami Titin Kasmila Dewi yang juga sempat berkarya di bidang sastra ini.

Dalam kreativitas kepenyairannya, Marhalim mengaku tak memiliki guru secara spesifik yang mengajarkannya bagaimana caranya menulis puisi. Dia belajar sendiri dengan banyak membaca karya-karya penyair bagus yang didapatkannya dari buku maupun media massa. Dia suka puisi-puisi Amir Hamzah, Goenawan Mohamad, juga Chairil Anwar. Namun dia mengaku tak terpengaruh secara ketat dengan karya-karya mereka. Dia terus berusaha mencari dan terus berupaya menemukan bahasa ucap sendiri. Karena itu tugas penyair.

“Tapi saya tak tahu kalau orang membacanya, saya terpengaruh pada seseorang atau tidak,” jelas lelaki yang juga pernah tunak di Komunitas Paragraf ini.

Dia mengaku orang-orang dekatnya, yakni keluarga, juga kampung halamannya di Desa Teluk Pambang, Bantan, Bengkalis, yang mempengaruhi karya-karyanya, khususnya pengaruh dalam kecenderungan tematik puisi.

“Yang pasti, buku puisi bagi saya sebagai penanda dari perjalanan kepenyairan. Berbeda dengan buku novel atau prosa, buku puisi itu cederung sangat beragam, karena dia lahir tidak dalam satu situasi atau peristiwa. Jadi buku puisi dapat pula bertujuan dokumentatif, mengumpulkan puisi-puisi yang terserak,” ujar lelaki yang banyak mendapatkan penghargaan sastra dari berbagai lembaga di Riau maupun nasional ini.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Sastrawan Marhalim Zaini meluncurkan buku puisi terbaru. Sebuah upaya mencari makna pada peribahasa, agama, hikayat, hingga cinta.

RIAUPOS.CO – DALAM peta sastra Riau dan Indonesia, nama Marhalim Zaini menempati salah satu ruang penting. Jika dilihat dari jumlah karya yang dihasilkannya, rasanya tak ada seniman Riau yang bisa menandinginya karena dia berkarya di banyak genre. Ini berbeda dengan para seniman Riau atau Indonesia lainnya yang tunak pada satu atau dua genre saja. Tapi Marhalim tunak dan menguasai dengan baik hampir semua genre dalam karya seni.

Selain mampu menghasilkan karya yang relatif kuat pada semua genre sastra –cerpen, novel, puisi, dan lainnya— Marhalim juga seorang pekerja terater yang sangat tunak. Dia adalah seorang penulis naskah teater yang sudah diakui kualitasnya –tahun 2023 lalu meraih penghargaan dari Badan Bahasa lewat naskah berjudul “Api Semenanjung” yang dimuat dalam buku kumpulan naskah dramanya, Dilanggar Todak. Dia juga seorang sutradara yang sejak berkuliah di Institut Kesenian Indonesia (ISI) Yogyakarta sudah sering memimpin pementasan. Selain itu, lelaki kelahiran Bantan, Bengkalis, ini, juga seorang aktor yang sudah bermain di puluhan pementasan, baik yang dia tulis naskahnya dan distradarai sendiri, atau yang diarahkan orang lain.

Hingga kini, Marhalim sudah menerbitkan lebih dari 30 buku berbagai genre: novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, biografi, kiat menulis karya sastra, kumpulan naskah drama, dan yang lainnya. Marhalim juga menjadi pengajar mata kuliah menulis kreatif, sastra, hingga jurnalistik. Meski tidak terlalu tunak, Marhalim juga punya karya seni rupa berupa lukisan. Salah satunya yang menjadi sampul buku kumpulan cerpennya, Amuk Tun Teja.

Senin (15/1/2024), di Rumah Suku Seni Perum Gading Marpoyan, Siak Hulu, Kampar –bertepatan dengan peringatan 48 tahun usianya– Marhalim meluncurkan buku kumpulan puisinya, Yang Melimpah dari Cucuran Atap Peribahasa. Ini adalah buku kumpulan puisinya yang kelima setelah Segantang Bintang Sepasang Bulan (2003), Langgam Negeri Puisi (2004), Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (2013), dan Gazal Hamzah (2016).

Hadir dalam peluncuran tersebut puluhan seniman Riau termasuk Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispersip) Riau Dra Mimi Yuliani Nazir, aktor teater Rusmedie Agus, Budi Saputra, dan beberapa pegiat jurnalistik kampus dari Unri, UIR, dan UIN Suska. Acara yang dikemas dalam Malam Lentera Sastra itu juga menampilkan beberapa sastrawan yang membaca puisi-puisi Marhalim. Seperti Joni Hendri, Depri Ajopan, dan beberapa penampil lainnya.

Dalam kesempatan tersebut Mimi Yuliani menjelaskan bahwa dia beberapa kali diundang untuk hadir dalam kegiatan seni di Suku Seni, namun baru malam itu dia bisa hadir. Menurutnya, apa yang dilakukan Suku Seni selama ini yang terus bekerja keras membangun kebudayaan dalam arti yang sangat luas, termasuk literasi, adalah kerja besar yang harus didukung oleh siapa pun.

Baca Juga:  Pelalawan Berbenah Sambut MTQ

Dia juga melihat sosok Marhalim yang menurutnya salah satu tokoh seni dan budaya Riau yang patut diapresiasi karena tidak hanya eksis di Riau, tetapi juga membawa nama baik Riau secara nasional. Menurut alumnus FMIPA Universitas Andalas (Unand) ini, kerja budaya yang dilakukan Marhalim dan Suku Seni perlu dukungan banyak pihak.

“Saya sangat mengapresiasi tinggi kerja budaya Bang Marhalim Zaini dan Suku Seni ini. Saya berharap Bang Marhalim mau menyumbangkan puluhan buku karyanya ke Perpustakaan Soeman Hs agar masyarakat Riau secara luas bisa membaca karya-karyanya,” jelas mantan Kepala Dinas Kesehatan Riau ini.

Dalam kesempatan yang sama, Rusmedie Agus menjelaskan bahwa dia adalah salah satu orang yang tahu sudah bekerja sama dengan Marhalim saat di ISI Yogyakarta. Dia pernah sama-sama bermain dalam pementasan teater bersama Marhalim, juga pernah bermain dalam pementasan yang naskah dan sutradaranya Marhalim. Menurutnya, Marhalim selalu memberi energi positif di mana pun berada, yang selalu menularkan ilmunya kepada siapa pun.

“Saya beruntung pernah kenal dengan Bang Marhalim, dan malam ini bisa berada di sini ikut dalam acara ini,” ujar lelaki kelahiran Padang, Sumatra Barat, ini, sebelum membacakan salah satu puisi yang ada dalam buku yang diluncurkan tersebut.

Marhalim menjelaskan, kata dalam judul “Yang Melimpah dari Cucuran Atap” itu adalah peribahasa, lalu ditambahkannya dengan kata “peribahasa” karena salah satu bab atau bagian dalam buku ini adalah puisi-puisi yang mengeksplorasi peribahasa sebagai potensi puitik dan tematik. Ada puisi lama dari beberapa buku terdahulu yang dia anggpa mewakili capaian kepenulisan puisinya yang dimasukkan dalam buku terbaru tersebut. Yang lainnya adalah puisi-puisi terbarunya setelah yang ada dalam buku Gazal Hamzah.

“Buku ini terbagi menjadi empat bagian yakni ‘Peribahasa’, ‘Agama’, ‘Hikayat’, dan ‘Cinta’. Tiga bagian pertama itu puisi baru dan pernah dimuat di media massa. Sementara puisi dengan tema cinta, sebagian besar puisi lama,” kata Marhalim kepada Riau Pos, Rabu (17/1/2024).

Secara lebih detil disebutkannya, beberapa puisi tentang agama pernah dimuat di Kompas dan Koran Tempo. Juga puisi-puisi tentang peribahasa, pernah dimuat media. Kemudian ada satu puisi yang menjadi juara 1 lomba menulis puisi nasional dalam helat Seratus Tahun Kematian Chairil, judulnya “Surat Chairil Kepada Jassin, Setelah Seratus Tahun Kematian”.

Marhalim menjelaskan empat tema besar di dalam buku ini. Peribahasa, menurutnya, adalah upaya dia mengembangkan pepatah lama dalam puisi baru, dengan suguhan makna baru. Tema agama, kegelisahan dia pada cara-cara orang beragama, yang kadang-kadang tanpa Tuhan, serta upaya dia untuk menunjukkan bahwa benda-benda juga bertuhan, tentu dengan caranya masing-masing. Untuk tema hikayat, lebih banyak bicara sejarah, khususnya dalam dunia Melayu.

Baca Juga:  Bupati Kuansing Silaturahmi Dengan Mantan Kapolres di Makkah

“Sedangkan tema cinta itu membangkitkan romantisme dan menghangatkan kembali semangat untuk mengingat masa lalu, untuk gairah masa kini,” ujarnya.

Sutradara Opera Tun Teja ini mengaku tak punya target tertentu saat menerbitkan buku setebal 122 halaman tersebut. Karena memang sudah lama tidak menerbitkan buku puisi, sementara banyak pembaca yang bertanya dan ingin baca puisi-puisi dia. Dia juga merasa buku puisi kelimanya itu bukan capaian tertingginya sebagai seorang penyair. Dia selalu merasa tidak puas dengan capaian dan karya selama ini, dan selalu merasa harus membuat capaian baru.
Marhalim tidak yakin kapan pastinya dirinya merasa sudah menjadi penyair. Namun menurutnya, dia mulai mengirimkan karya-karyanya ke media massa dan dimuat ketika berkuliah di ISI Yogyakarta. Tahun 1990-an. Waktu itu dia merasa sedang sangat bergairah menulis dan menembus media, juga membaca puisi di banyak panggung. Saat awal pulang ke Riau di awal hingga pertengahan 2000-an, dia masih punya gairah tersebut. Namun lama-lama dia merasa gairahnya menurun. Ini ditambah dengan mulai menuju senjanya media massa cetak

“Ditambah lagi banyak orang merasa menjadi penyair saat baru belajar menulis puisi. Tapi saya terus menulis puisi dan genre sastra lainnya,” ujar suami Titin Kasmila Dewi yang juga sempat berkarya di bidang sastra ini.

Dalam kreativitas kepenyairannya, Marhalim mengaku tak memiliki guru secara spesifik yang mengajarkannya bagaimana caranya menulis puisi. Dia belajar sendiri dengan banyak membaca karya-karya penyair bagus yang didapatkannya dari buku maupun media massa. Dia suka puisi-puisi Amir Hamzah, Goenawan Mohamad, juga Chairil Anwar. Namun dia mengaku tak terpengaruh secara ketat dengan karya-karya mereka. Dia terus berusaha mencari dan terus berupaya menemukan bahasa ucap sendiri. Karena itu tugas penyair.

“Tapi saya tak tahu kalau orang membacanya, saya terpengaruh pada seseorang atau tidak,” jelas lelaki yang juga pernah tunak di Komunitas Paragraf ini.

Dia mengaku orang-orang dekatnya, yakni keluarga, juga kampung halamannya di Desa Teluk Pambang, Bantan, Bengkalis, yang mempengaruhi karya-karyanya, khususnya pengaruh dalam kecenderungan tematik puisi.

“Yang pasti, buku puisi bagi saya sebagai penanda dari perjalanan kepenyairan. Berbeda dengan buku novel atau prosa, buku puisi itu cederung sangat beragam, karena dia lahir tidak dalam satu situasi atau peristiwa. Jadi buku puisi dapat pula bertujuan dokumentatif, mengumpulkan puisi-puisi yang terserak,” ujar lelaki yang banyak mendapatkan penghargaan sastra dari berbagai lembaga di Riau maupun nasional ini.***

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari