PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Restorative Justice belakangan ini sering jadi pemberitaan sebagai langkah yang diambil untuk menyelesaikan perkara oleh Kejaksaan RI. Restorative Justice sebagai penyelesaian perkara di luar persidangan dipandang sebagai solusi untuk mengurangi over kapasitas yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rutan).
Restorative Justice, Kamis (14/7) jadi bahasa utama dalam seminar hukum yang digelar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau sempena Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-62. Seminar menghadirkan tiga orang sebagai narasumber dan diikuti pula oleh praktisi, akademi hingga jurnalis.
Seminar ini dipusatkan di Aula HM Prasetyo Gedung Satya Adhi Wicaksana itu dibuka secara resmi oleh Kepala Kejati Riau Jaja Subagja. Hadir pula Wakil Kajati Akmal Abbas, para asisten, serta para undangan lainnya.
Dikatakan Kajati, seminar ini diselenggarakan dalam rangka peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-62. Tema yang diusung adalah Restorative Justice. "Tema tersebut menindaklanjuti dari kebijakan Jaksa Agung yang menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif," ujar Jaja.
Dikatakannya, seminar ini diikuti sejumlah perwakilan elemen masyarakat. "Saya selaku Kepala Kejaksaan Tinggi Riau beserta jajaran mengucapkan penghargaan dan rasa terima kasih kepada Prof Dr Dra Rd Siti Sofro Sidig MSi dan Dr Davit Rahmadan SH MH yang berkenan menjadi narasumber, untuk dapat memberikan ilmu atau sharing knowledge sehingga dapat memperkaya khazanah pengetahuan kita semua yang mengikuti seminar ini," sebutnya.
Ia juga berterima kasih kepada Sunandar Pramono SH MH selaku Koordinator pada Bidang Tindak Pidana Umum untuk mewakili kejaksaan yang akan memaparkan dan menyosialisasikan Restorative Justice. "Sebagaimana Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif," sambung mantan Kajati Gorontalo itu.
Dalam kesempatan itu, Kajati berharap semoga seminar ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan. "Kami memohon maaf apabila dalam menerima kehadiran bapak, ibu, saudara-saudara sekalian terdapat hal yang kurang berkenan," pungkas Kajati.
Menambahkan Kajati Riau, Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Risu Raharjo Budi Kisnanto pada Riau Pos menjelaskan , Restorative Justice adalah pelaksanaan Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15/2020. "Tujuannya untuk mengurangi over kapasitas LP dan rutan yang sudah over kapasitas. Sehingga jika perkara dilanjutkan over kapasitas akan terus terjadi, " jelasnya.
Dasar penerapan Restorative Justice sambung dia adalah pasal 139 KUHAP. "Distiu dikatakan jika perkara sudah tahap II, layak atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Inilah azas dominos litis yang dimiliki kejaksaan dalam hal ini. Karena itu di seminar kan hari ini (kemarin, red), " imbuhnya.
Dengan penerangan Restorative Justice, maka penegakkan hukum dalam hukum pidana bukan lagi semata-mata dipandang sebagai pembalasan. "Tapi juga mewujudkan keseimbangan. Contohnya seorang nenek yang mengambil kakao dan kakek yang menebang satu batang bambu apakah tiu harus dilimpahkan, padahal bisa didamaikan di luar pengadilan," jelasnya.
Para narasumber yang diundang dalam seminar yang digelar Kejati Riau kata Raharjo sepakat dengan alasan Jaksa dalam menerapkan Restorative Justice dalam penyelesaian perkara. "Sependapat dengan kita (narasumber,red). Sehingga Restorative Justice tinggal pelaksanaan saja," tambahnya.
Kepada Raharjo, Riau Pos menanyakan siapa saja pihak yang dapat mengajukan Restorative Justice dan dalan kondisi apa penyelesaian ini dapat diterapkan. "Ini (pengajuan,red) otomatis dari masing-masing pihak, apakah korban, atau tersangka yang berinisiatif. Silakan nanti kita pertemukan. Kalau mau didamaikan dan tidak ada tuntutan lagi, " urainya.
Kemudian Restorative Justice dapat diterapkan jika memenuhi unsur seperti kerugian yang ditimbulkan kurang dari Rp2,5 juta, dan antara para pihak sudah memaafkan. "Secara materil nilainya kurang dari Rp2,5 juta. Juga sepanjang misalnya ada perkelahian, tapi sudah saling maafkan," urainya.
Sebelum Restorative Justice ditetapkan dalam suatu perkara, para pihak terlebih dahulu akan dihadirkan ke kejaksaan. "Nanti ada surat ketetapan penghentian penuntutan. Prosesnya setelah dipertemukan, kita minta persetujuan pak jampidum (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum) Jadi wajib diketahui Kejaksaan Agung. Ini agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Kita laporan itu live lewat daring," tutupnya.(ali)