TIDAK bisa dipungkiri bahwa pariwisata ini menjadi istilah yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita manusia modern. Bahkan pernyataan yang cenderung menempatkan pariwisata itu menjadi sebuah standar untuk hidup manusia modern adalah nyata. Oleh karenanya membangun kota tidak akan terlepas dari berbagai seluk beluk pandangan tentang kepariwisataan.
Konsep sebuah kota akan berbeda ketika kita membicarakannya dalam kepariwisataan, mengapa, karena kekuatannya sama-sama terletak pada semangat melayani atau services dan penghargaan. Berorientasi kepada nilai humanis dan masa depan telah menjadikan pariwisata banyak digandeng sebagai kebutuhan peradaban yang semakin memiliki arti penting.
Memang disadari dengan peran yang demikian akhirnya mampu menjadikan pariwisata selalu dibicarakan baik sebagai sebuah tradisi, perilaku dan kebiasaan hingga konsep-konsep pariwisata. Pada pariwisata sebagai sebuah teori, lebih mengarah kepada adanya peran-peran sebuah produk yang menjadi objek, sedangkan dalam pariwisata sebagai sebuah konsep, lebih mengarah kepada kekuatan daya dukung pariwisata sebagai sebuah mata rantai kebutuhan bersama yang harus dikelola.
Cara hidup konsep modern pariwisata lebih akrab dengan nilai personal yang universal melalui berbagai aktivistas sosial. Proses ini semakin penting sejalan dengan kebutuhan yang menuntut akan penghargaan.
Oleh karenanya pariwisata dalam kota harus mampu menjadi sebuah konektor “social brand” yang mampu merajut keperluan masyarakat. Pasca pendemi ini, banyak yang memperhitungkan kekuatan dari ekonomi pariwisata akan berperan sebagai penggerak diberbagai daerah. Di posisi ini peran pariwisata menggambarkan arti penting yang harus dikemas, dikelola sebagai proses atau menjadi solusi bagi kehidupan dalam suatu kota.
Tiga hal yang harus diperhatikan agar pariwisata menjadi solusi bagi sebuah kota. Pertama, strategi komunikasi pariwisata itu harus mampu merangkum apa yang dikatakan received pressure artinya dengan hidupnya pariwisata akan memberikan kesan bahwa semua komponen kehidupan sudah berjalan dengan baik hingga menjamin terjadinya hukum positif atau teraktualisasi tatanan kehidupan sebagai potensi membangun mampu menghindari ketidak pastian.
Kedua, aktivitas pariwisata adalah sejatinya merupakan peristiwa sosial, yang berkembang menjadi sebuah social brand. Peran ini menunjukkan bahwa kehidupan berwisata selalu akan menggambarkan “kematangan sosial” sebagai situasi tatanan sosial termasuk didalamnya untuk kehidupan secara luas.
Pada beberapa aspek tentang persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses kepariwisataan cenderung kita fokus kepada hal yang berada di luar pariwisata, sejatinya berwisata itu cenderung sederhana. Sering terlupa bahwa perilaku kita menggambarkan budaya yang merupakan keunikan sekaligus dasar kita memenuhi keperluan.
Ketiga, adalah dengan terbangunnya dan berkembang pariwisata dalam suatu kota maka akan memberikan sebuah benefit. Secara psikologis dipandang mampu “menggerakkan orang” untuk beraktivitas lebih banyak.
Misalnya secara digital godaan FoMo saat ini terbukti mampu menginspirasi banyak aktivitas ekonomi pada berbagai lapisan dan kalangan di masyarakat yang bukan hanya lokal, nasional hingga internasional.
Keperluan itu pada hilirnya menciptakan tatanan keperluan baru, ekonomi baru dan sosial baru. Hal tersebut menjadi mata rantai ekonomi yang besar. Pada posisi ini kekuatan pariwisata telah menjadi sentral pelayanan dalam kota modern yang harus dikemas sebagai semangat untuk melayani.
Oleh karenanya kekuatan dasar melayani itu dapat kita pahami adalah bersumber pada cara kita tentang bagaimana mengemas dan mengkomunikasikan berkehidupan sebagai brand value sebuah kota agar menjadi tempat yang dicintai warganya dan dirindukan siapasaja.(nto/c)