Menjadi penyintas Coronavirus Disease (Covid-19) pasti tidak diharapkan semua orang. Harus menjalani isolasi, minum obat hingga dirawat di rumah sakit seorang diri. Meski begitu, di saat seperti itulah terasa dekatnya sang maut dan menyadari artinya taat protokol kesehatan.
PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Adalah Direktur Muhibbah Mulia Wisata H Ibnu Mas’ud yang pernah tertular wabah Covid-19. Akibat terlalu abai protokol kesehatan meski percaya adanya Covid-19, ia harus merasakan pahitnya ruangan isolasi dan bertarung nyawa demi bangkit dari Covid-19 tersebut.
"Iya saya abai protokol Covid-19. Waktu di Jakarta saya sering nongkrong tanpa menggunakan masker dan menjaga jarak. Malah seperti orang zaman sekarang. Saat ngumpul dengan teman langsung ngajak selfie," ujar Ibnu dalam kegiatan Riau Pos Focus Group Discussion (FGD) dengan tajuk; Titik Balik Penyintas Covid-19 di Ruang Rapat Redaksi Riau Pos, Rabu (2/12).
Pria itu mengisahkan pahitnya mendapatkan penyakit yang ditakuti manusia di seluruh dunia tersebut. Bahkan dia sempat tidak percaya virus itu mampu masuk ke dalam tubuhnya. Apalagi mobilitasnya yang sangat tinggi sebagai pengusaha treval agen haji dan umrah, membuatnya harus berkumpul dan bertemu dengan sejumlah orang yang ingin menggunakan layanan travel agennya.
Setelah pulang dari Jakarta, Ibnu merasakan kondisi tubuhnya mulai berbeda. Ia pun langsung berobat di salah satu rumah sakit swasta di Pekanbaru. Setelah mendapat penanganan intensif, dia pun akhirnya didiagnosa mengidap demam berdarah. Ia pun diminta berobat jalan. Namun, saat ditangani selama beberapa hari di rumah sakit itu, tubuhnya masih tak kunjung mengalami perubahan. Ia pun meminta dirawat dan melakukan rapid test dan hasilnya nonreaktif. Tapi setelah dokter berusaha menaikkan trombositnya, kondisi tubuh Ibnu masih belum pulih. Karena merasa ada yang salah pada tubuhnya, pria berusia setengah abad lebih itu pun meminta dokter yang menanganinya dilakukan pemeriksaan mendalam menggunakan rontgen serta melakukan uji swab di RS swasta tersebut. Dan hasilnya terdapat torak di dalam paru-parunya. Ibnu pun diminta isolasi mandiri di rumah sakit tersebut.
"Saat itu perasaan saya gelisah. Saya berpikir tentang istri saya, bagaimana nanti ke depannya. Malah dokter pun meminta istri saya dilakukan swab juga. Dan saya bilang ikuti saja pemeriksaan itu dan kami berpisah. Pas satu malam diisolasi di rumah sakit itu, saya berpikir pindah ke RSUD Arifin Achmad. Saya menghubungi kolega dan akhirnya diterima di sana," ucap Ibnu.
Setelah dipindahkan dan mendapatkan perawatan intensif di RSUD Arifin Achmad, perkembangan Covid-19 di tubuh Ibnu berlangsung sangat cepat. Dokter yang datang memeriksa kesehatannya setiap hari pun langsung memberikan obat-obatan dengan dosis tinggi guna meningkatkan sel imun dalam tubuhnya.
"Malam pertama saya isolasi di rumah sakit swasta itu sudah mulai terasa sesak napas. Rasa sesaknya itu bertahap, mulai dari menarik napas panjang sesak hingga memang tidak sanggup bernapas normal lagi," katanya.
Namun, semua itu tidak menunjukkan hasil yang baik. Dari hasil rontgen 10 kali serta swab yang dilakukan 12 kali di rumah sakit tersebut, menunjukan flek di saluran pernapasan Ibnu mulai banyak. Sehingga membuatnya susah bernapas dan harus menggunakan alat bantu pernapasan. Itu terjadi di hari kedelapan dia dirawat. Setelah diberikan alat bantu pernapasan berupa oksigen sungkup, dia tidak bisa lepas dari alat tersebut. Bahkan untuk makan pun rasanya sulit karena virus ini menyerang nafsu makannya. Tapi dia berusaha bangkit dari keterpurukan ini. Dokter yang selalu merawat dia juga memberikan semangat dan mengingatkannya untuk selalu berdoa.
"Saya pun mencoba mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Saya membaca Alquran setiap hari dan mencoba pasrah akan takdir Tuhan," katanya dengan suara yang mulai menurun.
Apalagi, saat dia dirawat di sana ada sekitar sembilan orang temannya yang meninggal akibat Covid ini.
"Ada sekitar satu jam saya merasa sesak kali. Saya memikir maut, saya memikir yang lain. Tapi saya berusaha untuk bangkit. Saya bilang ini kalau bukan ajalnya saya nggak bakal mati. Ya, sudah saya mencoba bangkit, dan saya teriak Allahu Akbar. Sampailah perawat yang menangani saya terkejut dan datang karena dengan suara saya itu. Setelah itu, petugas yang mau menambah oksigen saya pun terkejut melihat hasil oksigen saya naik dari batas 95 menjadi 96," jelasnya.
Setelah merasa pasrah dan menyingkirkan semua pikiran aneh di kepalanya, hasil pemeriksaan lanjutan di ruangan isolasi menunjukan perubahan membaik. Karena tidak memiliki penyakit bawaan dan hasil pemeriksaan semakin membaik. Ibnu akhirnya tidak jadi mendapatkan perawatan menggunakan ventilator.
"Sebenarnya pikiran buruk itulah yang membuat Covid-19 ini semakin berkuasa pada tubuh kita. Kalau kita bisa berpasrah dan berusaha bangkit menghilangkan pikiran buruk, virus ini pasti akan lemah pada sendirinya karena sel imun kita sudah bisa membentengi diri," jelasnya.
Setelah mendapatkan perawatan selama 30 hari, akhirnya Ibnu kini bisa berkumpul lagi dengan seluruh keluarganya. Ia pun sadar untuk tidak lalai dalam menerapkan protokol kesehatan seperti mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker serta menghindari kerumunan. Ibnu berharap dan mengimbau seluruh masyarkat tetap menaati dan melakukan pola hidup baru. Jangan sampai apa yang ia rasakan terjadi kepada masyarakat lain. Karena Covid-19 ini benar-benar ada.
Laporan: PRAPTI DWI LESTARI dan EDWAR YAMAN (Pekanbaru)