JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Sitorus mempertanyakan logika dan regulasi terkait pernyataan Luhut Panjaitan yang menyatakan bahwa kantor pusat perusahaan sawit harus berada di Indonesia.
"Saya sih senang dengan pernyataan Pak Luhut itu, tetapi apa memang ada regulasinya? Apakah memang ada UU atau aturan pemerintah yang menyatakan dan mengharuskan semua investor yang berinvestasi harus berkantor pusat di Indonesia? Atau kah itu hanya berlaku untuk perusahaan perkebunan sawit saja, tidak untuk perusahaan smelter, pembangkit listrik, tambang, migas, konsultan, lawyer, rumah sakit, telekomunikasi dan sebagainya?"
Menurut Anggota Fraksi PDI Perjuangan dari Dapil Kalimantan Utara tersebut mengakui, pernyataan dan niat Pak Luhut itu sangat populis, progressif dan heroik. Tetapi tanpa landasan hukum, kesannya jadi sekedar gertak sambal belaka.
"Saya pribadi akan mendukung bila kebijakan itu serius mau dilakukan, tetapi perlu dipikirkan apakah hal itu tidak akan berdampak kepada iklim investasi di Indonesia?" tuturnya.
Deddy juga mempertanyaakan, apakah dulu Exxon dan Freeport kantor pusatnya ada di Indonesia atau apakah sekarang PWC, McKenzie, Huadian, Newmont, Chingsan, Huawei, Virtue Dragon, Obsidian, Silk Road dan sebagainya itu juga harus berkantor pusat di Indonesia, tanya Deddy. "Menurut saya LBP harusnya tidak menerapkan standar ganda, sehingga tersirat ada agenda tersembunyi dan merusak iklim berinvestasi di Indonesia," ujarnya.
Menurut Deddy Sitorus, ada banyak persoalan hulu dalam industri sawit yang seharusnya diurusi oleh LBP sebagai orang yang ditugasi membereskan sengkarut minyak goreng. Ambil contoh yang paling hulu adalah soal DPO meliputi penetapan harga Tandan Buah Sawit (TBS) dan CPO dan produk minyak goreng yang masih mengacu pada harga internasional.
"Mekanisme pemungutan dan kontrol CPO hasil DMO, kemampuan pemerintah menyiapkan fasilitas cadangan nasional hingga distribusi," ujar Deddy.
Masalah hulu lain yang jauh lebih penting, lanjut Deddy adalah soal jangka waktu HGU dan pengembalian asset itu kepada negara, soal plasma dan luasan HGU yang merugikan bahkan mengorbankan petani kecil pemilik lahan dan masyarakat adat hingga sering menimbulkan konflik di mana-mana. termasuk soal banyaknya perkebunan sawit yang belum memberikan upah buruh sesuai ketentuan.
"Kenapa soal-soal hulu yang fundamental seperti itu tidak dipikirkan oleh LBP, ujar pria kelahiran Pematang Siantar tersebut. Kalau itu yang dia ingin selesaikan, saya angkat topi dan bangga," ujarnya.
Selanjutnya Deddy mengatakan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sekali masalah dalam perkebunan sawit terkait luasan lahan. Hal itu merugikan keuangan negara dari sektor penerimaan pajak, manipulasi pajak juga. Kalau kelebihan lahan hasil caplokan perusahaan itu diberikan kepada masyarakat lokal atau masyarakat adat, akan memberikan kesejahteraan.
"Tapi kok Luhut tidak berpikir membereskan masalah lahan ini yang sudah merupakan konflik bersifat manifes dan sering memakan korban jiwa rakyat kecil. Saya ajak Pak Luhut ke Dapil saya di Kalimantan Utara bertemu dengan ribuan rakyat yang dirugikan oleh perusahaan sawit dengan sistem plasma, melihat barak-barak buruh sawit yang diperlakukan seperti budak. Itu semua persoalan bulu," ujar Deddy.
"Saya tidak berniat membela pengusaha sawit, bisa dikatakan saya anti perkebunan monokultur skala besar yang merusak lingkungan. Tapi sebagai Anggota DPR RI, saya mengatakan bahwa Pak Luhut itu salah fokus atau punya agenda lain," pungkas Deddy.(jpg)