Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Survei, 44 Persen Tidak Puas dengan Demokrasi 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Lembaga survei Indikator Politik menemukan 44 persen masyarakat tidak puas dengan jalannya demokrasi selama pandemi Covid-19. Angka ini merupakan salah satu dari data hasil survei yang dipaparkan Indikator Politik terkait pandemi pada Ahad (26/9).

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyampaikan, jumlah responden yang puas dan tidak puas dengan demokrasi semasa pandemi hampir imbang. Sebanyak 47 persen menyatakan puas, 44 persen tidak puas, dan sisanya menjawab tidak tahu.

Ketidakpuasan itu bukan dari segi sistem demokrasi, tetapi lebih kepada pelaksanaannya. Jadi, data tersebut tidak menunjukkan bahwa masyarakat ingin alternatif selain sistem demokrasi. "Saya kira ini penting supaya aspirasi publik bisa ditangkap dan penurunan demokrasi bisa direspons oleh para pemangku kebijakan," ujarnya dalam diskusi virtual kemarin.

Baca Juga:  AHY Ketemu Presiden Jokowi Bicarakan...

Secara lebih rinci, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberikan catatan tingginya ketidakpuasan masyarakat terhadap demokrasi semasa pandemi. Ketua Umum YLBHI Asfinawati menyampaikan tiga poin yang perlu dikritisi. Pertama, penanganan pandemi di lapangan yang didominasi oleh TNI/Polri.

"Misalnya, BLT disalurkan melalui TNI/Polri, itu agak jauh dari fungsi mereka. Juga Badan Intelijen (BIN), untuk apa badan intelijen sempat mengeluarkan obat. Kita perlu melihat apakah ada nuansa ekonomi politik di situ," terang Asfinawati dalam forum diskusi virtual.

Dia menegaskan bahwa semestinya TNI/Polri maupun badan intelijen berperan sebagai perbantuan, bukan pelaksana utama. Pelaksana tetap dari otoritas kesehatan. Harus menjadi pertanyaan juga mengapa sistem otoritas kesehatan tidak cukup kuat sehingga TNI/Polri harus turun tangan dalam vaksinasi, misalnya.

Baca Juga:  KIB Kepri Tegaskan Siap Menangkan Airlangga Jadi Presiden 2024

Kemudian, penegakan aturan pembatasan sosial juga dirasa diskriminatif. Tindakan penertiban kerap dilakukan kepada aksi-aksi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, tetapi tidak berlaku sama untuk kegiatan kampanye politik. Aparat penegak hukum juga melakukan penangkapan terhadap masyarakat yang menggelar aksi tanpa adanya kasus pidana.

"Padahal penangkapan itu hanya untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana. Kalau nggak ada ya nggak boleh ditangkap," tegasnya. Penurunan indeks demokrasi juga ditengarai terjadi karena salah kaprah penanganan ujaran kebencian atau hate speech. Terakhir, adanya kasus korupsi terkait penanganan pandemi yang melanggar hak masyarakat atas kesehatan dan kualitas hidup.(deb/fat/jrr)

Laporan JPG, Jakarta

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Lembaga survei Indikator Politik menemukan 44 persen masyarakat tidak puas dengan jalannya demokrasi selama pandemi Covid-19. Angka ini merupakan salah satu dari data hasil survei yang dipaparkan Indikator Politik terkait pandemi pada Ahad (26/9).

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyampaikan, jumlah responden yang puas dan tidak puas dengan demokrasi semasa pandemi hampir imbang. Sebanyak 47 persen menyatakan puas, 44 persen tidak puas, dan sisanya menjawab tidak tahu.

- Advertisement -

Ketidakpuasan itu bukan dari segi sistem demokrasi, tetapi lebih kepada pelaksanaannya. Jadi, data tersebut tidak menunjukkan bahwa masyarakat ingin alternatif selain sistem demokrasi. "Saya kira ini penting supaya aspirasi publik bisa ditangkap dan penurunan demokrasi bisa direspons oleh para pemangku kebijakan," ujarnya dalam diskusi virtual kemarin.

Baca Juga:  Lagi, Atribut Partai Demokrat Dirusak

Secara lebih rinci, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberikan catatan tingginya ketidakpuasan masyarakat terhadap demokrasi semasa pandemi. Ketua Umum YLBHI Asfinawati menyampaikan tiga poin yang perlu dikritisi. Pertama, penanganan pandemi di lapangan yang didominasi oleh TNI/Polri.

- Advertisement -

"Misalnya, BLT disalurkan melalui TNI/Polri, itu agak jauh dari fungsi mereka. Juga Badan Intelijen (BIN), untuk apa badan intelijen sempat mengeluarkan obat. Kita perlu melihat apakah ada nuansa ekonomi politik di situ," terang Asfinawati dalam forum diskusi virtual.

Dia menegaskan bahwa semestinya TNI/Polri maupun badan intelijen berperan sebagai perbantuan, bukan pelaksana utama. Pelaksana tetap dari otoritas kesehatan. Harus menjadi pertanyaan juga mengapa sistem otoritas kesehatan tidak cukup kuat sehingga TNI/Polri harus turun tangan dalam vaksinasi, misalnya.

Baca Juga:  DPR Sambut Revisi Undang-Undang Pilkada

Kemudian, penegakan aturan pembatasan sosial juga dirasa diskriminatif. Tindakan penertiban kerap dilakukan kepada aksi-aksi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, tetapi tidak berlaku sama untuk kegiatan kampanye politik. Aparat penegak hukum juga melakukan penangkapan terhadap masyarakat yang menggelar aksi tanpa adanya kasus pidana.

"Padahal penangkapan itu hanya untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana. Kalau nggak ada ya nggak boleh ditangkap," tegasnya. Penurunan indeks demokrasi juga ditengarai terjadi karena salah kaprah penanganan ujaran kebencian atau hate speech. Terakhir, adanya kasus korupsi terkait penanganan pandemi yang melanggar hak masyarakat atas kesehatan dan kualitas hidup.(deb/fat/jrr)

Laporan JPG, Jakarta

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari