JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Desakan agar Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK yang dinilai melumpuhkan agenda pemberantasan korupsi terus bertambah. Dua saksi tambahan yang dihadirkan dalam sidang lanjutan di MK menilai UU tersebut cacat secara formil.
Dua ahli itu adalah Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar dan Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti membedah hal ini. Dalam paparannya, Zainal meminta MK menilai, apakah UU KPK yang disusun pemerintah dan DPR sesuai dengan keinginan rakyat?
Jika mengacu pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945, konstitusi menegaskan kedaulatan ada di tangan rakyat. Oleh karenanya, pembentukan UU harus memperhatikan dua hal. Yakni kewenangan yang dimiliki lembaga pembentuk UU dan apa yang diingnkan oleh rakyat.
Zaenal mengaku khawatir, dalam praktiknya, DPR dan pemerintah mengabaikan keinginan rakyat. "Rakyat tinggal menunggu saja apa yang akan diserahkan kepada mereka dan mereka pakai," ujarnya di hadapan hakim MK, kemarin (19/2).
Selain itu, lanjut dia, pemerintah dan DPR mengabaikan syarat pembentukan UU. Misalnya soal partisipasi publik. Jika melihat prosesnya yang cepat dan mengabaikan desakan publik, Zaenal menilai syarat partisipasi tidak dipenuhi. "Dalam banyak hal UU ini jelas menerabas partisipasi itu," tuturnya.
Kemudian, lanjut dia, secara formil sebuah UU harus punya kejelasan pada semua normanya. Namun dia tidak melihat dalam UU KPK. Keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) misalnya, menciptakan dualisme struktural dengan pimpinan. Situasi itu, dinilai mirip dengan apa yang ada di TVRI. Di mana Dewas memiliki kewenangan setara dengan pimpinan.
"Dan kita lihat hasilnya sekarang, tvri berantem di internal," ungkapnya. Dengan banyaknya cacat formil dan materiil, Zaenal berharap MK dapat mengoreksi kesalahan tersebut.
Bivitri Susanti menambahkan, problem formil lain yang dilanggar adalah ketentuan kuorum. Berdasarkan data yang ada, Bivitri menyebut sidang paripurna dalam pengesahan UU KPK tidak memenuhi syarat kuorum. Sebab, daftar hadir yang menjadi acuan DPR tidak sesuai dengan kehadiran fisik di sidang.
"Mengenai kehadiran secara fisik yang harus disadari oleh para politisi adalah prinsip dalam demokrasi keterwakilan itu sendiri," ujarnya.
Dia menambahkan, kerja legislasi tidak bisa disamakan dengan kerja professional berdasarkan performance indicator. Karena memiliki kuasa untuk berbicara dan berpendapat, anggota dpr harus hadir dalam rapat pengambilan keputusan. ”Kata parlemen sendiri kata asalnya parle artinya to speak untuk berbicara bukan untuk menandatangani daftar hadir,” imbuhnya.
Bivitri berharap, MK perlu meninjau bagaimana proses pembentukan UU KPK yang bertantangan secara prosedur. "Ini bertentangan dengan aturan mengenai proses legislasi. Sehingga ia mempunyai masalah fundamental dalam hal daya laku, validitas. Sehingga ia berdampak pula pada kepastian hukum," ujarnya.(far/jpg)
Laporan JPG, Jakarta